Chapter 8 : Anak Siapa?

1269 Words
Digo bersiul kecil saat matanya menangkap bayangan wanita cantik dengan blazer pink memasuki ruang rapat pagi ini. Seringai kecil seketika muncul di bibirnya. Si seksi lagi, batinnya. Mata hitam dan tajamnya dengan nakal menelusuri lekuk tubuh wanita itu. Mengamati tanpa putus dari atas ke bawah, ke atas lagi, ke bawah lagi dan sampai tanpa sadar wanita itu berhenti di sampingnya, menarik kursi lalu duduk tepat bersebelahan dengannya. Digo menggigit bibirnya gemas saat tanpa sengaja melihat rambut panjang wanita itu disibakkan oleh pemiliknya. Lalu wanita itu mendesah kecil yang membuat rasa tertarik Digo semakin menjadi. Entahlah, sejak awal wanita itu sudah berhasil menarik dirinya, selera dan semangatnya untuk berada disana. Meskipun jujur saja Digo sedikit tidak suka dengan keputusan sang Mama untuk mengisi posisi direktur utama semenjak Omnya pensiun. Saat hari penyambutan itu dia berniat kabur tapi malang baginya karena rupanya sang Mama memahaminya dengan baik. Wanita itu dengan perasaan bahagia mengantar Digo ke kantor dan membuat Digo kesal setengah mati. Untung saja kehadiran wanita di sebelahnya itu bisa membuat Digo terhibur. Digo tersenyum tipis ketika mengamati wajah cantik Siera dari samping. Dia tidak akan lupa saat wanita itu memeluknya erat di hari pertama pertemuan mereka. Siera sungguh menarik. Apalagi saat sedang serius seperti sekarang. Wanita itu membaca berkas di tangannya dengan seksama. Sejenak mengernyit, lalu kembali serius. Lagi-lagi Digo tersenyum. Siera seperti boneka. Boneka tercantik dan juga seksi yang pernah ada. Pria itu tersenyum licik. Sebuah ide cerdas langsung muncul ketika melihat Siera menaikkan lengan blazernya. Digo menarik kursinya mendekat pada Siera dengan begitu pelan dan hati-hati agar tidak ketahuan orang. "Hari yang panas ya?" Dengan kurang ajarnya dia berbisik pelan di telinga Siera sehingga wanita itu terjingkat. Dan seperti yang sudah diduga oleh Digo, lagi-lagi wanita itu terkejut begitu melihatnya. Wajah Sisi langsung syok, seperti melihat hantu. Selalu begitu. "P-Pak Digo?" ujar wanita itu terbata. Digo menyeringai. "Yes, Honey?" bisiknya lirih. Dalam hatinya Digo sangat bersyukur. Bahagia rasanya bisa mendapatkan 'barang bagus' sepagi ini. Seandainya saja mereka sedang berada di Crown, dia pasti akan langsung 'membungkus' wanita itu. Digo begitu gemas dengan ekspresi Siera. Apalagi saat sedang memandangnya seperti sekarang. Digo sangat senang dipandangi intens oleh wanita itu. Tapi tidak untuk sekarang. Dia sadar situasi tidak memungkinkan untuk meneruskan idenya menggoda Siera. Jadi dia menunggu rapat selesai meski setiap detiknya dia tidak lepas melirik wanita itu. Namun malang baginya, setelah rapat usai Siera malah keluar ruangan dengan terburu-buru. Bahkan dia tidak menoleh sedikitpun pada Digo. Padahal staf yang lain mengantri untuk bersalaman dan berpamitan padanya. Digo berdecak dalam hati. Dia tidak suka seperti ini. Padahal setengah mati dia menunggu rapat selesai untuk bisa merayu wanita itu. Tapi sialnya Siera malah mengabaikannya. Digo menyipitkan matanya, dengan langkah kesal dia berusaha mengejar langkah Siera dan mengabaikan beberapa staf tertinggi di perusahaan yang sedang mengajaknya mengobrol. Sampai di lorong, langkahnya terhenti. Seketika dia menggeram kesal saat melihat Siera sedang dihadang oleh seseorang yang kini menjabat sebagai direktur administrasi dan keuangan, Adam. Pria itu memberikan sebuah paperbag berwarna hitam pada Siera dan sontak membuat Digo mengumpat. "Sial! Itu si tua bangka ngapain nyamber cewek inceran gue sih!" gerutunya. Dan hatinya yang dongkol semakin dongkol saat melihat senyum Siera. Digo tidak terima, dengan langkah cepat dia berjalan menuju ke arah mereka untuk menemui Siera. Tapi lagi-lagi malang baginya karena rupanya Siera sudah lebih dulu beranjak dari tempatnya dan masuk ke dalam lift dengan buru-buru dan membuatnya kecewa. Digo tersenyum kecut melihat mangsanya lepas. "Pak Digo sedang apa disini?" Pertanyaan ramah Pak Adam membuat Digo seketika menoleh. Senyum manis pria itu seketika musnah melihat wajah masam Digo. "Pak Adam sendiri sedang apa disini? Bukannya Pak Adam harus kembali bekerja?" Pria paruh baya itu meringis kecil. "Maaf, Pak. Saya tadi cuma-" "Pak Adam disini digaji untuk bekerja. Bukan untuk menggoda wanita. Apalagi Siera itu masih muda. Memangnya Pak Adam nggak malu apa ngejar cewek seusia anak Bapak?" Pak Adam terlihat kaget dengan ucapan Digo. "Pak Digo, saya nggak-" "Awas kalau sekali lagi saya lihat Pak Adam dekat-dekat dengan Siera! Saya bisa langsung memecat Anda tanpa pertimbangan!" ancam Digo lalu meninggalkan pria itu untuk kembali ke ruangannya. "Sialan! Gue ditikung kakek-kakek." *** Digo mengumpat pelan, menyuraikan rambutnya yang hitam ke belakang. Matanya berkeliling, mencari-cari sosok yang ditunggunya sejak tadi. Cuaca terik dan bising kendaraan yang berlalulalang tepat di depannya membuat dia gusar. Pria itu mengambil ponselnya lalu menghubungi kembali sopirnya untuk yang kesekian kalinya. "Pak Sam masih lama?" teriaknya tak sabar. "Astaga! Saya udah panas-panasan disini Pak Sam malah masih di rumah? Udah bosen kerja ya?" hardiknya. Hatinya sontak memanas karena sopir yang diharapkan malah masih berada di rumah sementara dia sedang menunggu di pinggir jalan seperti orang bodoh. Astaga! Digo menggeram kesal. Entah kenapa sopirnya itu semakin lama semakin menyebalkan. Sama seperti mamanya. Digo hanya minta diantarkan mobil lain untuk ke kantor. Ban mobil yang dipakainya sekarang sedang kempes dan pria itu tidak sudi repot-repot menggantinya. "Pokoknya saya nggak mau ada alasan lagi. Lima menit dari sekarang Pak Sam nggak tiba disini, lebih baik besok Pak Sam nggak usah kerja!" kesalnya lalu mematikan ponsel. Digo menggeleng pelan. Hari ini dia melalui hari yang berat. Mulai dari mangsanya yang terlepas sampai terjebak dengan ban kempes. Pria itu menyandarkan punggungnya ke sisi mobil sambil melipat tangannya kesal dan menunggu sopirnya datang. Di saat-saat yang membosankan itu dia justru teringat pada Sisi. Seketika senyumnya mengembang saat membayangkan wanita itu. "Hei!" Lamunannya tentang Siera terhenti saat merasakan perutnya dipeluk kencang. Digo menunduk, melepas kacamatanya untuk memperjelas pandangannya. Dilihatnya seorang makhluk kecil berseragam kuning dengan tas Hello Kitty memeluknya erat. Digo mengerutkan keningnya, tangannya bergerak mendorong makhluk kecil itu menjauh, tapi tidak bisa. Pelukannya terlalu erat. Digo yang risih berusaha melepaskan diri. Tapi rupanya makhluk kecil itu tidak mau melepaskannya. Dengan senyum bahagia dia menggenggam tangan Digo. "Papa!" Digo mengerjap, keningnya mengkerut heran. "Papa?" "Saski kangen banget sama Papa." Digo mengibaskan tangan anak itu dan mendorongnya menjauh. "Hei, bocah-" "Papa kenapa nggak pulang-pulang? Bunda nangis terus kalau inget Papa." "Hei!" Digo kembali menjauhkan anak itu. Tapi lagi-lagi anak itu kembali memeluknya. Hal itu terjadi berulang-ulang sampai Digo lelah. Dengan wajah frustrasi, pria itu berjongkok di depan si bocah mungil berkuncir dua itu. "Bocah, saya ini bukan Papa kamu. Kamu cepet pulang sana!" suruhnya. Anak itu menggeleng cepat. "Saski mau pulang sama Papa." "Hei, saya bukan Papa kamu!" bantah Digo. "Papa itu Papa Saski!" "Saya bukan-" Ucapan Digo terhenti saat bocah itu membuka kalungnya dan menunjukkan wajah orang yang berada di foto dalam kalung berbentuk hati yang menggantung di lehernya. "Papa itu Papa Saski!" Mata Digo melebar kaget. Dengan cepat dia menyahut benda itu dari tangan si bocah. Foto pria di dalam kalungnya memang benar dirinya. Digo memekik kaget. Lalu mundur ke belakang beberapa langkah dengan wajah panik. "Nggak mungkin!" gumamnya. "Nggak... nggak... Gue selalu pake pengaman kok!" ujarnya pada bocah itu. Dengan kasar, Digo mengusap wajahnya. Rasa panik, bingung, kaget langsung menyerangnya. "Nggak... Nggak mungkin!" serunya frustrasi. Pria itu mengamati bocah kecil di depannya dengan seksama. "Hei Bocah! Kamu beneran anak saya?" tanyanya yang dijawab anggukan oleh bocah itu. "Kamu yakin?" Bocah itu kembali mengangguk. "Kata Bunda, ini Papa Saski," ucapnya sambil menunjukkan foto Digo di kalungnya. Digo menepuk dahinya pelan. "Mati gue!" Pria itu membiarkan si bocah memeluknya tanpa menghindar lagi. Satu yang dia pikirkan, mamanya. Wanita itu pasti akan menguliti Digo hidup-hidup kalau sampai tau Digo mempunyai seorang anak di luar nikah. "Digo bego!" maki Pria itu pada dirinya sendiri. Harusnya dia tidak nakal. Harusnya dia tidak berkencan dengan sembarang wanita. Dan sekarang dia tidak punya pilihan lain selain menerima akibat dari kenakalannya. "Mampus beneran gue," gumam pria itu sambil menggandeng lengan sang bocah dan mengajaknya naik taksi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD