“Jangan pernah membuat keputusan dalam kemarahan dan jangan pernah membuat janji dalam kebahagiaan,” Ali bin Abi Thalib.
***
Ada beberapa orang yang menikmati saat-saat kesendirian, bukan karena tidak ada orang-orang yang mau mendekatinya, hanya saja dirinya tidak ingin diusik, tidak ingin membuat hati kembali gundah, dan tidak akan ada lagi hal yang membuat hatinya cemas dan sebagainya.
Seperti sosok yang tengah mengendarai motor besarnya ini dengan helm hitam pada kepalanya. Rahang kokohnya semakin menegaskan betapa pemuda itu jarang membuka mulut dan mengobrol dengan orang-orang yang ia temui. Tidak jarang ada yang terlihat kecewa saat kalimat mereka sama sekali tidak digubris oleh sosok jangkung bertubuh tegap itu.
Ia sudah memasukan motornya ke dalam tempat parkir sembari melepas helmya membuat beberapa orang yang berlalu-lalang di sana sontak melemparkan senyum dan juga berbinar melihat sosok tampan di hadapan mereka.
Pemuda itu sesaat merapikan rambutnya yang berjatuhan pada kening, kemudian melangkah besar berbelok masuk ke gedung perusahaannya.
“Morning, Alfi!”
Alfi menolehkan kepala pada sosok berambut panjang dengan rok sepahanya itu kini tersenyum manis padanya. “Kenapa gak angkat telepon aku tadi, padahal aku mau minta dijemput.” Ujarnya sudah mendekat dan tanpa basa-basi mengalungkan tangannya pada lengan besar Alfi yang sontak mendecak tak suka. “Kenapa sih? Kan aku pengen gandeng kamu, masa gak boleh?” Rengkeknya dengan mengerucutkan bibirnya.
“Kamu cuma mantan, jadi gak usah sok manja!” Karin sontak menggeram kesal mendengar ucapan pedas dari sang mantan yang memang sudah hampir 2 tahun putus dengannya. Walau kembali mengekori Alfi yang sudah berbelok masuk ke dalam lift, cuma ada mereka berdua di sana.
“Al, aku gak mau kita berdua putus. Aku mau kita balikan, aku gak masih sayang sama kamu.” Kata Karin masih belum menyerah bahkan sudah menarik-narik lengan Alfi yang sudah memejamkan matanya berusaha keras untuk tidak menepis gadis itu sampai terbentur ke dinding lift.
Pintu lift terbuka membuat mereka kedua mengangkat wajah dan kompak melengos melihat pemuda dengan rambut acak-acakannya itu masuk bersama mereka di dalam lift.
“Kamu masih ngemis cintanya, Alfi?” Sindir Aditya dengan menggelengkan kepalanya heran.
“Itu bukan urusanmu, jadi gak usah ikut campur.” Balas Karin dengan nada ketusnya.
“Lah, aku emang harus ikut campurlah. Alfi sahabat aku, kamu mah cuma mantan jangan berlebihan.” Cibir pemuda itu dengan terkekeh renyah sengaja memancing emosi Karin yang memang sensitive.
Alfi yang berada di antara mereka berdua hanya diam saja tanpa berbicara banyak. Tatapannya mengarah saja pada pintu lift yang tertutup sedari tadi, sesaat kemudian pintu lift kembali terbuka menampilkan seorang perempuan dengan kerudung hitamnya yang menjulur sampai perut, dengan memakai hoodie krem kebesaran dipadukan dengan rok hitamnya membuat ketiga orang di dalam sana termasuk Alfi mengernyitkan dahi ke arahnya.
Alfi untuk beberapa saat belum mengalihkan pandangannya masih memandangi gadis itu yang kini berdiri di sudut agak menjauhkan diri. Ia merasa familiar dengan wajah bulat itu, seperti pernah melihatnya di suatu tempat. Tapi, ia lupa dimana.
“Hai, kamu datang juga ternyata.” Alfi yang mendengar sapaan Aditya pada gadis yang baru masuk itu sontak menoleh dan makin menajamkan pandangannya saat perempuan itu membalas senyuman Adit.
“Kan bapak sendiri yang suruh saya ke sini,”
“Ya, saya gak nyangka aja kamu datang secepat ini. Baguslah, saya emang udah tunggu kamu dari kemarin-kemarin.”
Alfi diam saja dengan berusaha tidak terusik, walau ekor matanya berulang kali melirik ke arah perempuan berkerudung itu.
Beberapa menit kemudian pintu lift terbuka dan mereka semua sampai di lantai 12 membuat Alfi kembali menolehkan kepala ke arah Adit dan perempuan tadi sudah mengobrol pelan di belakangnya.
“Al, nanti kita bicara lagi ya … aku harus kerja dulu, bye sayang!”
Alfi mendengus saja merasa lelah dengan sikap Karin yang seenaknya, padahal mereka sudah tidak ada hubungan tapi tetap saja Alfi masih diteror oleh sikap annoying Karin yang membuatnya frustasi sendiri.
“Eh, Al … kenalin ini asisten baru kamu.”
Alfi menaikan alisnya tinggi tidak paham dengan apa yang baru saja Adit lontarkan padanya, “asisten aku? Kenapa kamu yang nentuin siapa yang jadi asistenku?” Tanya pemuda itu dengan nada dinginnya. “Ya, kan kemarin-kemarin asisten kamu selalu kamu pecat. Rata-rata dari mereka tidak bisa bertahan lama bekerja dengan kamu yang memang temperamen begini, makanya aku cari orang yang bisa bersabar hadapin tingkah laku kamu.” Alfi memijat pelipisnya sesaat dengan menatap dingin pada sosok berkerudung yang sontak mengalihkan pandangannya karena takut. “Bukan berarti kamu bisa seenaknya begitu dong, dan lagipula siapa yang butuh asisten?”
Adit tersenyum saja dengan menolehkan kepala pada perempuan yang masih berdiri menciut di belakang keduanya. “Good luck, dia emang begitu … tapi aslinya baik kok, aku ke ruanganku dulu ya.” Pamit Adit melambai pergi begitu saja meninggalkan Alfi dan sosok perempuan yang sudah membeku di tempatnya.
Alfi sudah melangkah lebih dulu membuat sosok yang tidak lain adalah Annita itu meneguk ludahnya berulang kali merasa jantungnya berdegup kencang sedari tadi karena merasa takut. Apalagi kedatangannya seperti tidak diharapkan begini. Dan orang yang mengajaknya untuk kerja di perusahaan ini malah pergi meninggalkannya tanpa bertanggung jawab.
Annita sudah ingin menangis saja, karena pemuda jangkung dengan pakaian rapi di depannya sama sekali tidak menoleh sedikit pun. Padahal kan hari ini adalah hari pertama Annita ke sana tapi sudah mendapat cobaan besar begini.
“Eh!” Annita hampir menubruk tubuh jangkung di depannya yang mendadak berhenti dan terlihat melangkah masuk ke dalam salah satu ruangan.
Annita berdiri saja di depan pintu yang sudah tertutup, enggan melangkah masuk. Gadis itu hanya merunduk dengan mencengkram roknya kuat. Ingin pulang saja dari pada bingung harus melakukan apa di sana.
“Apa pulang saja?” lirihnya dengan menoleh kanan-kiri, tidak ada satu pun orang di sana yang bisa ia tanyai. Setidaknya ia tidak kebingungan setengah mati di sana. Pintu kembali terbuka membuat Annita sontak mengangkat kepalanya dan mengerjap-ngerjapkan matanya saat melihat sosok berahang kokoh itu menatapnya datar.
“Mau sampai kapan berdiri di situ?”
“Eh? Iya, pak.”
Annita sudah masuk dengan masih berdiri, sedangkan Alfi sudah duduk di sofa sembari mendecak samar. “Duduk,” titahnya dingin. Annita menurut dengan mendudukan diri di hadapan Alfi yang kini menatapnya lurus membuat ia sama sekali tidak bisa mengangkat kepalanya.
“Kamu kenal sama Adit?” Tanya Alfi sudah membuka obrolan.
“Tidak terlalu kenal, pak. Beliau cuma kasih kartu namanya ke saya dan katanya ada pekerjaan yang cocok buat saya di sini.”
“Dan kamu datang begitu saja? Tanpa curiga?”
Annita mengernyitkan dahinya tak paham, “kalau dia orang jahat gimana, bisa saja kan pelaku penculikan yang mengambil organ manusia untuk dijual.” Kata Alfi asal dengan muka datarnya membuat Annita tersenyum kikuk tidak tahu harus membalas apa.
“Kau kuliah dimana?”
“Saya gak kuliah, pak.”
Alfi mendecak samar berusaha bersabar, “kau pernah bekerja sebelumnya?” Annita mengangguk membenarkan, “dimana?” Tanya Alfi lagi masih bertanya. “Di restoran ayam goring, pak.”
“Kamu di sana jadi manager?”
“Bukan, pak … saya bagian yang di dinning.”
“Dinning?”
“Iya, yang bagian nyapu sama ngepel dan layani cust—“
“Kamu datang ke sini dengan pengalaman kerja seperti itu? Dan sekarang kamu mau jadi asisten saya? Dengan pengalaman ngepel?!” Annita menelan ludah kasar dengan mengerjap-ngerjapkan matanya kaget karena omongan dipotong begitu saja, apalagi tatapan sosok di hadapannya itu seperti orang yang sudah ingin menelannya bulat-bulat.
“Sa-saya juga gak tahu, pak. Tapi, pak Adit bilang ad—“
“Yang butuh pembantu siapa?”
“Pem-bantu?”
“Iya, saya butuhnya asisten bukan pembantu buat ngepel dan nyapu ruangan saya. Paham?”
Annita menipiskan bibirnya dengan kepala merunduk, berulang kali menghela napasanya samar dengan berusaha menarik kembali bulir hangat pada pelupuk matanya. Karena dia emang tipe orang yang paling tidak bisa dibentak.
“Kalau emang bapak tidak membutuhkan asisten seperti saya, bapak bisa langsung bilang saya dengan baik-baik kan, pak. Tidak perlu sampai membentak seperti itu,” ujar Annita dengan tersenyum miris, “saya juga ke sini karena Pak Adit yang mengatakan ada pekerjaan yang cocok untuk saya. Dan saya tidak tahu kalau pekerjaan itu adalah sebagai asisten bapak.” Lanjutnya dengan meneguk ludahnya getir, “kalau saya tahu pekerjaannya sebagai asisten saya tidak akan berani ke sini, pak. Karena saya tahu diri, saya tidak cocok apalagi saya cuma tamatan SMA.” Annita beranjak berdiri dengan menganggukan kepalaya sopan.
“Maaf kalau kedatangan saya membuat bapak kurang berkenan, saya permisi. Assalamu alaikum,” pamit Annita dengan berlalu pergi membuat Alfi menegakan tubuhnya masih dengan rahangnya yang mengeras.
Annita sudah melangkah di koridor dengan mengusap-ngusap dadanya untuk berusaha bersabar. Matanya pun sudah memerah namun ia berusaha menahan air matanya yang sudah ingin menyeruak keluar.
“Loh, Annita? Kenapa mau pulang?”
Annita menoleh ke arah pintu ruangan di sampingnya dimana ada Adit di sana. “Saya tidak dibutuhkan di sini, pak. Lagian bapak kenapa gak bilang kalau pekerjaannya adalah sebagai asisten begitu?” Adit mengangguk dengan menghela samar.
“Aku sudah tahu kalau hal seperti ini bakalan terjadi,”
“Iya?”
“Kalau begitu, kamu jadi asisten saya saja.”
Annita mengerjapkan matanya tidak mengerti dengan maksud sosok di depannya itu, “kita berdua harus jadi partner kerja yang harmonis biar nanti ada orang yang bakalan nyesal karena nolak kamu.” Kata Adit dengan tersenyum ambigu membuat gadis berkerudung itu menatapnya bingung.
“Besok mulai datang ke kantor ya, kamu diterima jadi asistennya saya. Selamat!”
“Eh? Beneran semudah itu, pak?”
Adit tersenyum lalu menganggukan kepalanya, “iya, karena bakalan menyenangkan kayaknya.”