Buah dari Sabar

1734 Words
"Balas dendam terbaik adalah menjadikan dirimu lebih baik." _Ali Bin Abi Thalib_ *** Gadis berkerudung itu masih menatap pantulan dirinya yang mengenakan hoodie hitam pekatnya, yang dipadukan dengan rok polos warna krem. Bibirnya terlihat menghela napas samar sembari merapikan kerudung segi empatnya yang hitam polos itu. Hari ini ia akan berusaha mencari lowongan pekerjaan dan berkeliling di tempat-tempat tertentu, seperti supermarket, kafe, restoran, toko roti, atau bahkan minimarket. Dimana pun itu tempatnya yang terpenting ia bisa mendapat pekerjaan dengan catatan diperbolehkannya memakai kerudung dan juga rok panjang. Annita masih merasa heran kenapa beberapa perusahaan malah memasukan persyaratan yang menurutnya sama sekali tidak bisa diterima oleh akal sehatnya. Tidak boleh memakai kerudung. Aneh. Padahal memakai atau tidak memakai kerudung sama sekali tidak ada hubungannya dengan giatnya orang tersebut bekerja. Dan terlebih lagi, katanya indonesia itu mayoritasnya muslim tapi dalam hal pekerjaan begini, kerudung masih dianggap tabu dan tidak diperbolehkan. Seperti beberapa hari yang lalu, Annita tidak sengaja melihat lowongan pekerjaan pada hapenya lewat komunitas f*******: yang memang akan membagikan informasi tentang ada dan tidaknya lowongan pekerjaan di daerahnya. Annita merasa senang saat mengetahui ada satu lowongan di salah satu konter hape. Karena memang sudah sangat membutuhkan pekerjaan, ia pun mengirim pesan pada orang yang baru saja memposting lowongan tersebut di komunitas yang ia ikuti. Dan sekali lagi, persyaratannya tidak boleh memakai kerudung. Apa sesusah itu mencari pekerjaan yang bisa memakai kerudung? Padahal kerudung itu bukan style dan juga bukan sesuatu yang bisa dilepas seenaknya hanya karena persyaratan sebuah pekerjaan. Kerudung itu adalah identitasnya seorang muslimah. Sudah sepantasnya seorang perempuan mengenakan kain yang menjulur dari atas kepalanya sampai d**a itu. Lalu, apa lagi yang harus diperdebatkan. Annita kembali menghela napas panjang sembari meraih ranselnya yang tersampir pada paku dekat pintu. Ia pun mengisi hape, charger, note book dengan pena, dan juga beberapa permen kopi di dalam ransel putihnya. Gadis itu melangkah keluar dan tidak sengaja berpapasan dengan sang kakak yang baru selesai mandi. "Kamu mau kemana? Keluyuran lagi?" "Cari kerja," balas Annita seadanya karena memang tidak mau berdebat pagi-pagi begini. "Ya, semoga memang ada yang bisa terima kamu yang memakai pakaian seperti itu." Annita ingin membalas namun ia lebih menelan kembali kalimatnya dan berpamitan saja mengucapkan salam. Saat di dekat pintu ia merunduk pada tempat sepatu, mengambil sepatu talinya dan memakainya dalam posisi duduk. Saat sedang mengikat sampul sepatunya ia melihat tantenya kini berdiri berkacak pinggang di depannya dengan tatapan tidak bersahabatnya. "Bagus ya, bukannya masak atau mencuci ... kamu malah keluyuran pagi-pagi begini." Kata perempuan yang memakai daster itu. "Tadi sebelum shubuh aku sudah mencuci kok, tante. Makanan dan lauk juga sudah aku siapkan di meja makan," jelasnya berusaha sesopan mungkin. "Oh, Rahmah bilang dia yang bangun shubuh-shubuh dan masak ... bukan kamu, kok." Annita meneguk ludahnya getir, sebenarnya ia tidak masalah kalau harus capek kerja di rumah tantenya itu. Tapi, ia paling tidak bisa terima kalau ada yang mengaku-ngakui pekerjaan yang sudah ia lakukan sebelum shubuh itu. Ia hanya bisa tersenyum kecut, karena mau membela diri saja mereka tidak akan mau percaya padanya. "Annita kok yang masak, tadi shubuh mas mau pergi sholat ... dia sudah sibuk di dapur," sahut suaminya yang sedang menyapu di halaman samping rumah. "Oh ya? Berarti bukan Rahmah ya?" Gagapnya dengan berdehem samar lalu berbalik begitu saja. "Terima kasih, om." Tutur Annita dengan tersenyum samar pada suami tantenya. Padahal tantenya adalah adik kandung sang mama yang sudah lama meninggal, tapi yang lebih bisa bersikap baik padanya malah suami tantenya. Beliau selalu menyempatkan membela Annita dan berusaha melerai kalau istrinya dan Annita sedang berdebat. Lebih tepatnya Annita yang sedang diamuk dengan segala macam perkataannya yang menyakitkan. "Kalau begitu, Annita berangkat dulu ya, om. Semoga ada lowongan kerja nanti," "Aamiin, hati-hati ya di jalan. Tetap semangat, jangan nyerah hanya karena omongan orang. Semangat," "Iya, om. Annita pamit, assalamu alaikum." "Waalaikumussalam." Annita pun sudah melangkahkan kakinya dengan langkah panjangnya. Ia menuruni jalan di kompleks kostannya. Ia menghindar jauh saat melihat ada dua ekor anjing yang sedang menggerak-gerakan ekornya di tengah jalan sana. Ia berusaha menghindar karena memang takut dengan binatang mamalia itu. Setelah berhasil melewati jalan yang menurun itu, Annita mendudukan diri pada halte sembari menunggu angkot di sana. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya dengan kembali menghela napas panjang. Ternyata tidak gampang menjadi manusia yang bisa bersabar. Apalagi harus bisa bersabar dari omongan orang-orang terdekatnya sendiri. Padahal ia menginginkan support dari mereka entah dari bentuk doa ataupun kata-kata yang setidaknya bisa melegakan rasa sesaknya selama beberapa bulan ini. Ia hanya berharap, tante dan kakak kandungnya bisa bersikap baik padanya. Walau pun itu harus membutukan waktu yang lama. Annita beranjak berdiri saat melihat angkot dari jauh sedang melaju ke arahnya. Tanpa ia hentikan pun, supir angkot sudah menghentikan angkot karena melihat Annita yang sudah berdiri dan memandangi angkotnya sedari jauh. Ia pun melangkah naik dengan mengangguk sopan pada beberapa penumpang yang sudah mengisi bangku di dalam sana. Setelah duduk, ia memeluk ranselnya sembari menatap keluar jendela dengan tatapan nanarnya. Semoga saja ada kabar baik hari ini. Agar penantiannya selama ini tidak mengecewakan. Ia tersentak kecil saat supir angkot menyalakan musik dengan kerasnya, lagu dangdut koplo yang dentuman musiknya bisa sampai menghantam d**a. Annita paling tidak menyukai satu hal ini kalau sedang diangkot, tapi ia berusaha memasang ekspresi biasa saja karena tidak terlalu berani menegur. Beberapa menit kemudian, Annita menghentikan angkot saat sudah sampai di tempat tujuannya. Ia menyerahkan selembar uang lima ribuan lalu mengucapkan terima kasih pada supir. Annita pun berbalik, berdiri pada bahu jalan dengan memandangi kafe di hadapannya yang sudah buka itu. Ia menipiskan bibirnya sembari memakai ranselnya, netra cokelatnya masih enggan berkedip memandangi kafe yang terlihat ada beberapa pengunjung di sana. "Apa sebaiknya tidak usah masuk saja?" Lirihnya masih berdiri di depan pintu dengan memegang tali ranselnya erat. "Kalau tidak masuk nanti tidak tahu di dalam sana ada lowongan atau tidak," gumamnya sendiri masih bermonolog sembari sekilas mengusap wajahnya kasar. Annita menganggukan kepalanya pelan dengan yakin, "bissmillah." Ucapnya sembari menjulurkan tangan bertepatan dengan seseorang yang juga hendak meraih gagang pintu kafe membuat ia langsung terlompat kecil karena tangannya hampir saja dipegang oleh sosok jangkung di sampingnya itu. Sosok jangkung di sebelahnya hanya menaikan alisnya tinggi melihat ia yang nampak kaget berlebihan itu. "Silahkan masuk lebih dulu," ujarnya dengan melemparkan senyumnya. Annita pun sontak mengangguk sopan dengan melangkah masuk lebih dulu. Ia mengusap-ngusap hidungnya karena aroma kuat dari parfum cowok di belakangnya. Aroma mint yang memang tidak terlalu ia sukai, terlalu nyengat sampai kepalanya terasa pening. Annita sudah berdiri di depan konter kasir, mengantri bersama beberapa pengunjung di sana yang mungkin datang untuk sekedar minum kopi sebelum melakukan aktifitas kerja. Agar tidak mengantuk nantinya, beda dengan dirinya yang hanya datang untuk mencari pekerjaan. "Silahkan, mbak." Kata mbak kasirnya mempersilahkan membuat ia berdehem samar, ia mengerjap kaget saat sosok jangkung tadi sama-sama melangkah maju dengannya. Karena kasir di sana ada dua, jadinya ia kini berdiri satu barisan dengan sosok yang memekai jas rapi itu. "Pesan lattenya satu ya mbak, sama croissant satu." Ujar sosok di sebelahnya, Annita melirik sekilas dengan mendengar pesanan pemuda itu. Pesanannya kopi latte dengan croissant yang merupakan pastry asalnya dari Austri namun lebih terkenal di perancis sehingga menjadi kue khas perancis. Annita bukannya iri, hanya saja ia belum pernah mencoba pastry berbentuk seperti bulan sabit dengan tekstur berlapis itu. "Mbak, mau pesan apa?" Suara mbak kasir di depannya membuat lamunan Annita buyar, ia tersenyum samar dengan melangkah lebih dekat sembari berbisik. "Di sini ada lowongan kerja gak, mbak?" Tanyanya dengan muka penuh harapnya, sosok di sampingnya hanya melirik kecil sembari menunggu pesanannya. "Tidak ada, mbak." Balas mbak kasir sembari menyuruh Annita menepi karena perempuan itu sudah ingin melayani customer lain. Annita sontak menarik diri dengan perlahan melangkah keluar, bahunya melemas dengan menghela napas panjang merasa langkahnya makin memberat. Ternyata memang sulit untuk mencari yang namanya pekerjaan. Apa pilihannya resign dari kerjaannya yang lama adalah suatu kesalahan? Kalaupun tidak, kapan ia akan terus menunggu dengan ketidakpastian ini. "Gak boleh, gak boleh pesimis ... yang penting kan sudah ikhtiar sisanya pasrahkan saja sama Allah," katanya berusaha menyemangati diri sendiri. Annita sudah melangkah keluar dan berdiri di depan kafe, hendak berlalu pergi namun langkahnya terhenti saat seseorang memanggilnya dan kini mendekat ke arahnya. Pemuda berjas rapi tadi, mengejarnya. Padahal seingatnya ia tidak menumpahkan makanan orang ini, dan juga tidak melakukan kesalahan. Tapi, kenapa orang ini ada di hadapannya dan kini anehnya malah tersenyum pada Annita untuk kedua kalinya. "Tadi saya gak sengaja mendengar obrolan kamu sama kasir tadi," ujarnya dengan meneguk ludahnya karena ngos-ngosan, "jadi, kamu sedang membutuhkan pekerjaan?" Tanya membuat Annita secara naluri menganggukan kepalanya polos. "Bagus dong, saya juga sedang mencari seseorang yang bisa menangani teman saya." "Iya?" Tanya Annita tidak paham mendengar ucapan orang di depannya itu, "tidak, maksud saya ... ada satu tempat yang cocok buat kamu di perusahaan saya. Bukan perusahaan saya sih, lebih tepatnya teman saya yang punya perusahaan." Lanjutnya dengan terkekeh sendiri membuat Annita makin mengernyitkan dahinya bingung. "Intinya, kamu mau tidak kerja di perusahaan saya?" "Perusahaan apa ya?" Lelaki itu terlihat mengernyit, berpikir sejenak. "Perusahaan baguslah, kamu bisa ke sana sendiri buat mastiin. Ini kartu nama saya," ujarnya merogoh kantung jasnya sembari mengeluarkan kartu namanya dari sana. "Nanti kalau berkenan, langsung temui saya saja ya. Oh iya, nama saya Aditya panggil Adit saja." Annita mengangguk saja masih benar-benar merasa kebingungan. "Terus nama kamu siapa?" "Eh? Ah? Saya, Annita." Balasnya dengan muka bingungnya. "Oke, Annita sampai ketemu di sana ya. Bye!" Pamitnya sembari berbalik pergi walau menyempatkan melemparkan senyum manisnya pada Annita yang kini merunduk membaca kartu nama yang diberikan sosok bernama Aditya tadi. Tertera Fianhara group di sana, kalau tidak salah itu perusahaan besar yang bergerak di bidang IT. Lebih detailnya Annita tidak tahu, karena ia memang tidak terlalu paham dengan sistem kerja kantoran begitu. Ada juga nama cowok tadi di sana, Aditya Abraham dengan jabatannya sebagai General manager. Annita mengerjap-ngerjapkan matanya sembari perlahan tersenyum samar. Apa ini pertanda baik untuknya, saat ia sedang benar-benar putus asa. Allah mendatangkan bantuannya melalui perantara orang tadi. See? Allah tahu segala usahamu selama ini. Selalu mendengar setiap doamu, dan tahu sejauh mana ikhtiarmu. Dan kalau bisa bersabar dan mampu bertahan, akan ada hadiah terbaik yang sedang Allah persiapkan tanpa kamu duga. Sampai kamu lupa kalau kamu pernah mengalami rasa sakit dan pernah berada pada titik terendah dalam hidup. Allah akan mendatangkan kabar baik pada saat yang tepat, karena Dia tahu rencana mana yang terbaik untuk hambanya. _Dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu_(QS.Luqman:17). _Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan_(QS.Al-Insyirah:6).
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD