Diam-diam Suka

1806 Words
                  Pemuda jangkung yang hanya memakai kaos oblong berwarna abu-abu itu tengah membereskan buku-bukunya sembari memasukannya ke dalam ransel. Bangkit dari tempat duduknya dengan memakai ranselnya ke belakang punggung. Tidak lupa melemparkan senyuman manis saat beberapa temannya berpamitan padanya. “Adnan.” Adnan menggerakan kepalanya ke samping dengan tersenyum samar, “kenapa?” Tanyanya sudah melangkah lebih dulu membuat teman satu jurusannya itu mengekori dan buru-buru mengambil tempat ke samping. “Sebentar, anak-anak mau kumpul semua. Kita mau makan-makan di rumahnya Yaksa, sampai malam.” Jelas cowok itu menyebutkan salah satu nama teman satu kelas. “Gak bisa, Le. Pulang kampus aku harus bantu ibu jualan, malamnya aku harus kerja. Maaf ya,” ujar Adnan meringis samar membuat cowok yang biasa disapa Ale itu mendecak samar. “Ya, masa gak bisa sih, Nan? Anak-anak yang lain udah nyempatin loh buat ke sana. Emangnya gak bisa ya, kamu libur kerja sehari?” Desak temannya masih setengah memohon membuat Adnan menggelengkan kepalanya pelan. “Maaf ya, aku beneran gak bisa.” Ale memutar mata jengah mendengar penolakan Adnan yang masih kekeuh. “Ck, yaudahlah. Padahal aku udah berusaha baik sama kamu loh, malah ditolak begini.” Gerutu pemuda itu sudah melangkah pergi, “itu ya pentingnya menjauh dari teman yang miskin, bakalan nyusahin.” Gumam pemuda itu masih menggerutu sepanjang koridor meninggalkan Adnan yang tersenyum saja mendengar omongan tidak mengenakan itu. Lagipula memang kenyataanya kalau Adnan orang yang tidak berada, bahasa kasarnya ya miskin. Walaupun susah begitu, Adnan masih mensyukuri apa-apa yang tuhan kasih. Tidak perlu mendengar perkataan orang lain, tidak usah dihiraukan. Masih banyak hal yang lebih penting yang harus Adnan pikirkan selain pandangan orang-orang terhadap kehidupan pribadinya. Cowok itu sudah melangkah keluar dengan mengedarkan pandangannya ke sekitar yang sudah sepi. Hanya ada beberapa yang tinggal dan bermain di kampus, karena mereka punya banyak waktu untuk bermain. Berbeda dengan Adnan yang setiap detiknya saja sangat berharga. Adnan sudah berdiri pada bahu jalan, menunggu angkot di sana. Sebenarnya tadi pagi ia sempat membawa motor butut punya ayahnya tapi mendadak mogok di tengah jalan. Untungnya Adnan ada bawa uang untuk bisa naik angkot, kalau tidak mungkin ia akan tertinggal di tengah jalan dengan mendorong motornya sampai rumah. Sebeneranya Adnan bisa saja naik taxi ayahnya, tapi pemuda itu juga tahu diri kalau setiap hari begitu akan mengurangi setoran ayahnya nanti. Makanya ia lebih baik naik angkot saja atau membawa motor bututnya. Intinya Adnan selalu perhitungan soal apapun. Harus hidup hemat karena keadaannya, bukannya pelit tapi ia berusaha berpikir realistis. Kalau boros nanti dia akan tetap hidup susah seperti sekarang. Oleh karena itu, Adnan bertekad untuk bekerja keras agar bisa mensejahterakan kehidupan keluarganya. Apalagi ia adalah anak pertama yang harus bisa diandalkan. ** Adnan mengernyitkan dahinya mendengar suara obrolan di dalam rumahnya, pemuda itu membuka pagar rumah dengan bergegas masuk. Ia makin menaikan alisnya tinggi saat mendengar suara tawa renyah itu di dalam rumahnya membuat Adnan sontak tersenyum samar lalu mengetuk pintu pelan. “Assalamu alaikum,” ujarnya pelan membuat dua orang yang sedang mengobrol di dapur sontak menolehkan kepala ke arahnya. Adnan bergerak melepas ranselnya, menaruhnya di atas kursi plastik di ruang tamu. “Waalaikumussalam,” sahut ibunya sembari menjulurkan tangan pada Adnan yang sontak meraihnya lembut. “Sudah lama, Nit?” Tanya Adnan sudah berdiri di samping Annita yang sibuk mengaduk adonan yang hanya dibalas deheman oleh perempuan berkerudung itu. “Ibu jemur pakaian dulu ya, kamu bantuan Annita dulu goreng tempenya,” Adnan mengangguk saja dengan memandangi Annita yang menggigit bibir bawahnya kecil berusaha kuat mengaduk adonan seloyang itu. Annita menghela napas panjang, diam sesaat dengan meregangkan otot-otot lehernya lalu kembali mengaduk dengan semangat membuat Adnan yang memperhatikannya dari tersenyum ke arahnya. “Mau aku bantuin, gak?” Tanya Adnan hendak mengambil alih namun perempuan berkerudung itu menggelengkan kepalanya dengan mengibaskan tangannya menyuruh Adnan menjauh. “Kamu balik pisang yang di dalam wajan aja, adonan biar aku yang urus.” Katanya semangat lalu kemudian menyerah juga. “Biar aku yang goreng, kamu tolong ngaduk aja. Bisa-bisa lengan aku berotot.” Adnan terkekeh sembari mendekat, mengaduk adonan dengan mudah membuat Annita menganga kecil merasa takjub. “Emang benar ya, perempuan tuh butuh sosok laki-laki dalam hidupnya. Biar ada yang urusin hal-hal berat begini.” Kata Annita sudah berbalik dan fokus pada gorengan yang masih di wajan. Tanpa sadar kalau omongannya barusan memberi efek tersendiri buat Adnan. “Oh iya, hari ini kan kamu mulai kerja ya? Gimana?” Tanya Adnan kembali menguasai ekspresinya, merapatkan bibir dan kembali mengaduk adonan dengan sesekali menoleh ke arah Annita yang langsung menghentikan gerakan tangannya yang hendak memasukan tempe ke dalam minyak panas dia atas kompor. “Ya, begitulah.” Adnan mendelik mendengar jawaban seadanya dari Annita, ia meletakan adonan yang sudah selesai ia aduk rata. Ia mendekat ke depan wastafel untuk mencuci tangan kemudian melapnya pada serbet yang digantung pada dinding lemari piring. “Kenapa jadi gak semangat begitu, ada masalah ya pas di sana?” Annita lagi-lagi menghela napas samar, “ya begitulah, bosnya galak banget. Padahal aku ke sana juga karena dapat kartu nama dari Pak Adit, eh tahu-tahu bosnya malah marah-marahin aku ini itu.” Cerita perempuan itu jadi sedih sendiri mengingat bagaimana sosok berahang kokoh tadi membentaknya yang hampir membuatnya menumpahkan air mata. “Kok bisa kamu dimarahin?” Tanya Adnan dengan nada cemas, “gak tahu juga, bapaknya lagi pms kali makanya kayak macan lepas.” Gerutu gadis itu tidak sadar sudah bergumam lirih mengeluarkan suara anehnya membuat Adnan mengulum bibir menahan senyum. “Yaudah, berarti belum rezekinya kamu kerja di perusahaan itu. Cari lowongan di tempat lain aja ya, gak usah sedih.” Tutur pemuda itu berusaha menenangkan, “enggak kok, aku masih harus ke sana.” Adnan mengernyitkan dahinya tak paham. “Hng?” “Aku keterima jadi asistennya Pak Adit yang ngasih aku kartu namanya. Beliau mungkin merasa bersalah karena ngajak aku ke perusahannya yang katanya ada satu pekerjaan yang cocok, eh tahunya orang yang seharusnya mempekerjakan aku nolak.” Jelas Annita dengan mengedikan bahunya samar, tidak tahu juga apa yang sebenarnya terjadi. Ia merasa senang sekaligus cemas dalam satu waktu. Karena kalau jadi asistennya Adit nanti ia akan sering bertemu dengan sosok dingin yang membentaknya itu. Rasanya ia ingin mengganti muka saja kalau bisa. Berharap untuk tidak berpapasan atau bertegur sapa dengan lelaki itu. “Kenapa jadi melamun?” Annita mengerjap-ngerjapkan matanya sadar dengan meringis samar, “gakpapa, cuma kepikiran hal-hal tidak penting.” Adnan mendesah samar ingin bertanya lebih lagi namun tidak mau membuat Annita jadi tidak nyaman. “Annita sudah makan, nak?” Tanya ibu Adnan yang sudah mengambik tempat di sebelah Annita, “kalau belum, sekalian makan di sini aja. Adnan juga belum makan kayaknya, iya kan?” Tanya ibunya pada Adnan yang sontak menganggukan kepalanya membenarkan. “Belum, bu.” Balas Annita sudah tersenyum lembut membuat wanita yang memakai daster itu membalas dengan tersenyum manis. “Annita sudah dapat pekerjaan ya?” “Iya, bu alhamdulillah.” “Ngelamar jadi apa?” “Annita ke sana cuma diajak sama seseorang, beliau ngasih aku kartu namanya dan suruh datang ke perusahannya. Annita akhirnya ke sana dan ditawari jadi asistennya beliau,” jelas perempuan itu sudah mengambil tempat, duduk di hadapan Adnan yang sudah menyendokan nasi ke dalam piring. “Sykurlah, tapi satu ruangan sama bosmu?” “Belum tahu sih, bu. Tapi, kayaknya emang ruangannya pisah.” “Alhamdulillah ibu senang dengarnya, yang ngajak kamu cowok apa cewek?” Tanya wanita itu lagi masih penasaran membuat Annita tersenyum kecil. Sedangkan Adnan mengusap lehernya yang tidak gatal merasa tidak enak karena ibunya terus-terusan melontarkan pertanyaan pada Annita. “Ibu, Annita mau makan dulu … jangan ditanyain yang macam-macam.” Tegur Adnan dengan suara lembutnya membuat sang ibu terkekeh saja, “ibu kan cuma pengen tahu pekerjaan Annita nantinya, Annita sudah ibu anggap anak sendiri.” Ujar ibunya membuat Adnan menghela samar. “Janganlah, bu, Kan ibu punya dua anak.” Kata Adnan dengan menyend tak semangat nasinya ke dalam mulut. “Kan ibu pengen anak perempuan, mumpung ada Annita jadi ibu ngambil kesempatan aja. Apalagi dia teman kamu.” Tambah ibunya sama sekali tidak peka dengan ekspresi keruh Adnan yang langsung badmood. “Kamu kenapa, sih? Kan ibu cuma nanya doang, gakpapa elah. Aku malah senang.” Adnan menghela samar, mengangguk saja. “Bos di tempat aku namanya Pak Aditya, beliau sepertinya seumuran dengan saya, bu.” Jelas Annita sembari menoleh pada ibunya Adnan yang langsung menatapnya dengan berbinar, berbeda dengan Adnan yang langsung menelan bulat-bulat nasi dalam mulutnya membuat ia tersedak sendiri. “Bisa saja kan, bos kamu ada perasaan sama kamu.” Annita sontak menggelengkan kepalanya pelan, “enggaklah, bu. Belia cuma atasan saya, dan terlebih lagi saya bukan tandingannya beliau.” Kata Annita meringis samar. “Ya, gakpapa … mungkin kamu tidak tahu, kan? Siapa tahu dia ngajak kamu kerja sama dia karena ada rasa. Iya kan?” Adnan sontak meletakan sendoknya di atas piring membuat ibunya tersentak kecil. “Sudah selesai makan?” Tanya ibunya kebingungan melihat masih ada sisa nasi pada piring sang anak. “Sudah,” balas Adnan lirih. “Jangan dibuang, habisin dulu. Makanya tadi jangan sendok nasinya banyak-banyak kalau gak kuat makan kan?” Ujar Annita sudah mengomel kecil, keduanya menggerakan kepala saat terdengar bunyi hujan yang berjatuhan di atas genteng rumah membuat Adnan sontak berdiri dan berlari keluar untuk mengangkat jemuran ibunya tadi. Annita pun sudah merunduk mengambil payung di samping pintu, mengekori Adnan yang kesusahan melepas jemuran dari tali kawat itu. Pemuda itu tersentak kecil saat Annita mendekat dengan sebuah payung di tangannya, perempuan itu dengan sabarnya mengekori Adnan yang melangkah pelan mengambil satu-persatu pakaian yang dijepit. “Ke-kenapa keluar? Kan aku bisa ngangkat sendiri bajunya.” “Ya, kan hujan nanti kamu basah.” Adnan terdiam dengan menoleh ke samping gadis berkerudung itu, “kenapa diam, itu bajunya diangkat buruan.” “Eh, iya.” Kata pemuda itu dengan mengulum bibir berusaha menguasai ekspresi wajahnya. “Ann,” panggilnya membuat Annita menoleh dengan mengernyitkan alisnya. “Kenapa?” “Gimana menurut kamu soal dua sahabat yang akhirnya memutuskan menikah?” Annita terdiam, merapatkan bibir. “Cewek-cowok?” “Yaiyalah, masa jeruk makan jeruk.” Annita sontak terkekeh dengan pertanyaan bodohnya membuat Adnan tertegun, keduanya sudah masuk ke dalam rumah. Adnan sudah meletakan pakaian setengah basah itu ke dalam keranjang, sedangkan Annita menggulung payung dan menaruhnya pada tempatnya semula. “Ya, gakpapa sih. Kalau mereka saling suka, ya bagus. Dan terlebih lagi memang sudah jodohnya, mau gimana lagi?” “Jadi, gakpapa kan?” “Hm. Kenapa? Kamu mau nikah sama sahabat kamu?” Tanya Annita tanpa sadar membuat Adnan sontak menganggukan kepalanya pelan. “Cielah, sekarang udah siap nikah ya?” Goda perempuan itu lalu tersadar, menggerakan kepalanya menatap Adnan yang masih memandanginya lurus. “Bentar, sahabat kamu kan aku?” Gumam gadis itu dengan mata mengerjap-ngerjap bingung.” “Eh?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD