Adnan Siregar

1169 Words
"Terkadang orang dengan masa lalu paling kelam akan menciptakan masa depan yang paling cerah" Umar Bin Khattab. **** Pemuda jangkung itu terlihat menutup pintu kamarnya rapat, melangkah ke arah dapur rumahnya. Kepalanya tertoleh ke samping saat melihat bayangan ibunya mendekat dengan sekilas mengusap bahunya lembut. Cowok yang memakai kaos lusuhnya itu sudah membelakangi sang ibu sembari menyalakan kompor, sebelum itu ia lebih dahulu memasukan minyak tanah ke dalamnya. "Emangnya gakpapa kalau kamu telat ke kampus, nak?" Tanya ibunya sembari membuat adonan untuk gorengan yang akan mereka jual nantinya, "gakpapa, bu ... lagian kelasnya Adnan mulainya jam satuan." Jelasnya sudah menyalakan kompor dengan berbalik mengambil wajan dan menaruhnya di atas api yang menyala. "Ibu jadi ngerasa bersalah, karena kamu harus bantuin ibu jualan padahal kamu harus ke kampus juga ... belum lagi kerjain tugas dan sebagianya." Kata perempuan yang memakai daster sebetis itu, Adnan tersenyum saja sudah mengisi minyak dalam wajan. "Kenapa ibu harus ngerasa bersalah? Sudah tugas Adnan buat bantu keluarga, kan Adnan anak sulung ... jadi harus bisa berguna." Katanya tersenyum lembut pada sang ibu. "Maafin ibu ya, coba saja kalau ibu bisa kerja seperti ibu-ibu lain ...pasti kamu sama adikmu gak akan sesusah ini." Ujar ibunya masih merasa bersalah membuat Adnan berbalik dan menatap ibunya lurus. "Jangan minta maaf terus, bu. Adnan beneran gakpapa, dan senang kalau bisa keluarga." Tambahnya lagi berusaha menenangkan, ibunya mengangguk saja dengan mata mengembun lalu berjalan pincang ke dekat kompor. Mulai menggoreng berbagai macam gorengan yang akan dijualnya. Ada pisang, tempe, tahu isi, lumpia dan lain sebagainya. Sarah, ibunya Adnan mengalami kecelakaan beberapa tahun yang lalu yang menyebabkan kaki kanannya tidak berfungsi dengan baik. Dan akhirnya sang ibu harus berjalan pincang dan dikucilkan oleh tetangga. Dikucilkannya bukan hanya karena kelainan yang diderita sang ibu melainkan karena mereka memang bukan dari keluarga berada. Adnan masih ingat betul saat harus terpaksa pergi mengutang di warung saat ibunya meminta tolong padanya, karena saat itu ayahnya yang hanya kerja menjadi supir angkot harus dipecat karena ada kesalahpahaman antara bos dan ayahnya. Adnan juga sudah hampir terbiasa dengan raut jengkel pemilik warung yang sudah bosan karena ia terus-terusan pergi mengutang ke sana. "Bilang sama ibumu, kalau gak ada uang gak usah ngutang ... dikira kita belanjanya pake daun apa ya?" Gerutu pemilik warung, namun Adnan hanya bisa tersenyum kecut dan mengucap terima kasih saja. Saat itu dia masih duduk dibangku sekolah dasar dan tifak tahu harus melakukan apa untuk keluarganya. Adnan masih merasa terenyuh kalau harus mengingat kembali masa kelamnya dulu, saat sepulang sekolah ia akan pergi ke lapangan di kompleksnya untuk bermain bola bersama anak-anak seusianya. Ia saat itu selalu memakai sendal besar ayahnya yang sudah menipis dibagian telapak kakinya dan itu adalah salah satu alasan anak-anak sebayanya terang-terangan menjauhinya. Adnan pertama kali mengira, teman-temannya menjauhinya karena mungkin saat itu ia pergi kesana tidak sempat mandi makanya mereka tidak mau bermain dengannya. Keesokan harinya pun sepulang sekolah ia buru-buru untuk mandi dan memakai bedak bayi yang menempel pada jidatnya biar harum. Dengan begitu teman-temannya akan sudi mendekat padanya. Namun, ternyata dugaan Adnan salah. Bukan karena Adnan mandi atau tidak mandinya, hanya saja mereka memang tidak ingin berteman dengan Adnan. Akhirnya pun Adnan harus pasrah menonton di pinggir lapangan dengan tersenyum saja melihat anak-anak komplesnya bermain seru tanpanya. "Adnan, jangan datang ke lapangan lagi ... ibu aku tidak suka kalau aku harsu bermain sama kamu, keluarga kalian itu miskin!" "Mama aku juga, kata mama aku ... ibunya Adnan itu ngambil suami orang makanya gitu." "Berarti Adnan anak haram ya?" "Gak tahu, yang pasti mama aku gak mau kalau aku dekat-dekat sama Adnan." Adnan saat itu langsung berlari pulang ke rumah dengan menangis tersedu sampai kedua orang tuanya kebingungan. Ibunya berusaha menenangkan dengan pelukan namun karena saat itu Adnan sedang emosi ia sampai melontarkan kalimat yang seharusnya tidak ia katakan. "Adnan malu jadi anak ibu, Adnan juga malu harus terlahir dikeluarga miskin begini!" Adna tidak tahu kalau perkataannya itu sangat menyakiti hati ibunya. Dan untuk pertama kalinya Adnan melihat ibunya menangis. Adnan tersentak kecil saat bahunya dicolek pelan, ia pun menolehkan kepalanya ke belakang dan tersadar dari lamunan panjangnya. "Abang kenapa melamun? Itu tempenya jadi gosong." Kata Anas, adiknya yang sekarang duduk dibangku sekolah menengah atas. "Eh?" Panik Adnan lalu buru-buru mengangkat tempe dan tersenyum kecut ke arah adiknya. "Tumben pulang cepat?" Tanyanya kembali mencelupkan tempe dalam adona terigu dan memasukannya ke dalam minyak panas. "Guru lagi rapat, jadi semua murid dipulangkan." Jelas Anas sudah mencuci piring di tumpukan wastafel membantu pekerjaan abangnya.  Biasanya anak seumuran Anas, setelah pulang sekolah mereka langsung istirahat atau makan. Tapi, Anas tidak ada waktu untuk hal-hal itu. Remaja itu juga harus ikut membantu perekoniman keluarganya. Walau hanya bantuan kecil saja, yang terpenting ia bisa setidaknya bisa meringankan beban orang tuanya. "Kalau sudah cuci piring, langsung makan ya ... tadi masih ada pecel sama ikan asin." Ujar Adnan membuat Anas tersenyum merekah merasa senang, bagi mereka bisa mendapat lauk untuk makan saja sudah lebih dari cukup. Karena keluarga mereka pernah berada di satu titik dimana mereka tidak makan sama sekali. Ingin mengutang pada tetangga pun mereka tidak memberanikan diri, terlalu sungkan karena sering ngutang disana. Keluarga mereka sering kelaparan, ibunya seringkali merendahkan diri dan menemui keluarga besarnya namun malah diusir karena sang ibu dicap sebagai orang yang memperlakukan nama keluarga. Ibunya menikah sirih dengan ayahnya yang ternyata memiliki kelurga lain di sana, mereka nikah diam-diam dan setelah menikah pun ayahnya jarang menemui ibunya karena harus mengurus istri sahnya di sana. Kata orang, ayahnya dari keluarga yang berada begitu pun dengan istri sahnya. Namun, entah karena masalah apa, ayahnya akhirnya meningggalkan istri sah dan anaknya dan lebih memilih ibunya, Adnan dan juga Anas. Adnan sekarang merasa bersyukur karena setidaknya keluarga tida sesusah dulu. Ayahnya masih lancar mencari nafkah dengan menjadi supir taxi online. Ibunya masih bisa jual gorengan dengan dibantu olehnya dan juga Anas. Dan ia sendiri pun bisa kuliah dengan beasiswa yang ia dapat sendiri dengan kemampuannya. Paginya kuliah, siangnya membantu mengantar pesanan ibunya dan malamnya bekerja di salah satu Kafe di dekat kampus. Walau jarang istirahat setidaknya Adnan bisa meringankan beban kelurga, dan tentunya tidak menjadi beban keluarga karena dia adalah anak pertama. "Bang Adnan, di luar ada Kak Annita." Adnan tersentak lalu buru-buru mematikan kompor membuat adiknya yang hendak ingin makan langsung mengambil alih, melanjutkan menggoreng tempe dan sebagianya. Adnan buru-buru melangkah keluar dengan sekilas memperbaiki rambutnya yang berantakan, ia tersenyum samar saat melihat perempuan berkerudung di depan pintunya tengah mengembungkan pipi dengan memegang sesuatu di tangannya. "Annita?" Gadis itu menoleh dan langsung tersenyum ke arah Adnan dan membuat pemuda itu sontak mengalihkan pandangannya, masih belum berani lama-lama menatap wajah gadis di depannya ini. "Aku balikin buku yang aku pinjam, udah selesai aku baca ...terima kasih ya," ujar gadis itu menyodorkan paper bag ke arah Adnan. "Iya, sama-sama." Balas pemuda itu dengan perasaan hangat. Selalu merasa nyaman jika berada di dekat gadis ini, seperti ada getaran yang tidak biasa ia rasakan saat bertemu dengan perempuan lain. Ya, Adnan menyukai Annita diam-diam sejak dari mereka sama-sama duduk di bangku SMA sampai sekarang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD