Flashback on
Satu bulan kemudian...
Sudah dua hari ini Ana muntah-muntah di pagi hari. Badannya lemas dan kepalanya pusing. Selama itu dia tidak masuk kerja.
Sudah lima bulan terakhir Ana bekerja di butik Lintang selagi menunggu panggilan kerja dari perusahaan-perusahaan yang ia kirimi lamaran pekerjaan.
"Kamu sakit apa?" Tanya Lintang yang mengunjungi sahabatnya sore itu di rumah.
Rumah sederhana peninggalan orang tuanya yang sudah meninggal sejak Ana duduk di bangku awal SMP. Setelah itu ia tinggal bersama nenek yang setahun kemarin juga meninggalkan dirinya karena sakit-sakitan. Sekarang Ana hanya tinggal sendiri. Dia tidak mempunyai saudara karena dia anak tunggal.
"Badan aku lemes, pusing, terus muntah, " Jawab Ana yang duduk disebelah Lintang.
Lintang menempelkan punggung tangannya di kening Ana. "Badan kamu anget. Sudah minum obat?"
"Sudah."
"Sudah periksa ke dokter?"
Ana menggeleng.
"Wajah kamu pucat Ana. Ayo, aku antar ke dokter. "
"Nggak usah, Lintang. Setelah minum obat dan istirahat aku yakin pasti sembuh. "
Lintang berdecak. "Dari kemarin juga ngomong gitu tapi nyatanya belum sembuh-sembuh. Yuk, ah, ke dokter. Aku nggak mau kamu kenapa-napa."
"Nggak usah, Lintang. Aku nggak mau ngerepotin kamu. "
"Halah... Ngrepotin dari hongkong. Yuk, ah. "
Ana akhirnya setuju. Lintang membawanya ke rumah sakit yang tidak jauh dari rumah Ana.
***
"Teman saya sakit apa, dok?" Tanya Lintang pada dokter perempuan yang sudah selesai memeriksa Ana. Dokter Wanita berusia empat puluh tahun itu hanya tersenyum sebelum berkata.
"Teman anda tidak sakit apa-apa. Itu sudah biasa terjadi."
Kening Ana dan Lintang berkerut tidak mengerti dengan maksud dokter.
"Maksudnya? " Tanya Ana.
"Selamat, anda positif hamil."
Tubuhnya membeku mendengar kabar itu. Mungkin kabar kehamilan bagi pasangan suami istri adalah kebahagiaan tapi bagi Ana itu adalah kabar buruk. Dia masih singel, belum menikah tapi dinyatakan hamil. Ingatannya langsung di seret kembali ke kejadian sebulan yang lalu.
"Tidak mungkin. " Pikirannya terus menolak. Tidak mungkin dirinya hamil.
Sepanjang perjalanan pulang hanya ada keheningan di mobil Lintang. Pikiran Ana blank, sedih, takut, bercampur menjadi satu. Sedangkan Lintang sedari tadi menahan diri untuk tidak menyemburkan pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya. Dia tidak habis pikir bagaimana seorang Ana Clarissa yang ia kenal pendiam dan tidak neko-neko bisa hamil. Yang dia tahu sahabatnya itu tidak pernah dekat atau menjalin hubungan dengan lawan jenis. Berbeda terbalik dengan dirinya yang mempunyai track record tersendiri dengan laki-laki.
Sesampainya di rumah Ana, gadis itu masih saja diam. Sedangkan Lintang sudah tidak bisa menahan dirinya lagi.
"Siapa ayahnya?"
Ana yang duduk di sofa hanya diam dan menunduk.
"Siapa ayahnya?" Tanya Lintang lebih tegas.
Sahabatnya masih diam. Pandangannya sudah mengabur.
"Ana." Lintang menyentak lengan gadis itu agar menghadapnya. Selama mengenal Ana, Lintang jarang sekali melihat sahabatnya itu menangis.
"Ana, " Sentak Lintang. "Kasih tau aku siapa ayah dari bayi yang kamu kandung! "
Air mata Ana meluber, tubuhnya gemetar. Lintang yang tidak tega langsung memeluk sahabatnya untuk menenangkan.
Setelah keadaan Ana lebih tenang, Lintang mengajukan pertanyaannya kembali. Karena itu sangat mengganggunya. Ana menceritakan semuanya pada Lintang, semua yang ia alami. Dari awal, sampai Andre yang melakukan hal itu padanya.
Lintang terkejut bukan main, sampai membekap mulutnya sendiri. Dia tidak pernah menyangka Andre bisa sebrengsek tu. Yang ia tahu Andre cowok yang baik, cerdas, pandangannya luas, dan tidak pernah kurang ajar terhadap wanita.
"Kita harus kasih tau dia," Kata Lintang.
"Tidak." Tolak Ana.
"Tapi dia harus tau, Ana. Dia harus tahu kalau kamu sedang mengandung anaknya. "
"Buat apa? Supaya dia bertanggung jawab dan nikahin aku. Aku nggak mau." Tolaknya tegas.
"Dia harus bertanggung jawab atas perbuatanya."
"Lebih tepatnya perbuatan yang dia lakukan saat tidak sadar. "
"Tapi tetap saja dia harus bertanggung jawab. "
"Buat apa dia bertanggung jawab padaku? Dia saja masih mengharapkan wanita lain. "
"Ini nggak benar, Ana. Andre harus tau. Dia harus bertanggung jawab atas diri kamu dan anaknya. "
"Enggak. Aku nggak mau." Ana menggelengkan kepala. "Dia nggak cinta sama aku. Yang dia cintai dan harapkan hanya Liyan. Aku nggak mau dia mengasihani aku karena aku hamil anaknya." Ana kembali terisak. "Dia hanya mencintai Liyan, bukan aku. "
Lintang tahu perasaan Ana yang sedari dulu mencintai Andre dalam diam. Cinta yang tidak pernah tersampaikan.
"Terus bagaimana sama kamu? "
"Aku nggak apa-apa." Ana menghapus air matanya. "Aku akan merawat anak ini. Aku nggak akan ngegurin dia. Dia nggak bersalah." Ana menyentuh perutnya yang masih rata.
"Tapi ini nggak adil buat kamu Ana."
Ana memegang kedua tangan sahabatnya. "Aku mohon sama kamu, Lin, jangan beri tau keadaanku pada siapapun, apalagi pada Andre. " Mohon Ana namun Lintang menggeleng.
"Aku mohon, Lin....! Aku juga akan pergi dari sini. "
"Enggak...! " Tolak Lintang.
"Kalau aku disini orang-orang akan tau kalau aku hamil. Perutku setiap hari akan membesar. Mereka pasti akan curiga. Aku nggak mau Andre tau kalau aku hamil anaknya. Dia sudah sangat terluka karena kehilangan Liyan. Aku nggak ingin membebani dia dengan keadaanku. "
"Kenapa kamu malah memikirkan dia? Seharusnya kamu memikirkan keadaan kamu sendiri. Jangan pergi, Ana... Tetaplah di sini."
"Enggak. Aku nggak bisa terus disini. Aku mohon, Lin, ngerti'in aku ." Pintanya.
Lintang memejamkan matanya sesaat mencoba menerima permintaan sahabatnya.
"Kenapa kamu selalu seperti ini? Selalu mementingkan perasaan orang lain. "
"Tolong ngerti'in aku, Lin. "
"Aku nggak ngerti sama jalan pikiran kamu, tapi aku coba mengerti mau kamu. "
"Terima kasih," Ucapnya tulus.
"Tapi kamu harus janji sama aku. Kamu nggak boleh menghilang dari aku. "
"Ya. "
"Kamu harus janji ."
"Ya, aku janji. "
Flashback off.
"Anak mama ganteng." Puji Ana setelah mendandani putranya.
Malam ini mereka akan pergi ke acara pernikahan Brian.
"Mama juga cantik, " Kata Alif lucu.
"Yuk, berangkat. " Ana mengandeng tangan putranya.
"Ayooo... "
Ibu dan anak itu pergi meninggalkan rumah. Menaiki taksi online yang sudah di pesan sebelumnya. Menuju salah satu hotel di kota surabaya.