Terus Bertahan

2625 Words
Gharal melajukan motor dengan gemuruh rasa benci bercampur amarah. Dia merasa masa depannya hancur karena menikahi perempuan yang sama sekali tak serasi dengannya. Inilah alasan mengapa dia meminta kedua orangtuanya untuk menggelar pernikahan sederhana di kediaman rumah ayah Kia. Pernikahan itu hanya dihadiri keluarga dan kerabat terdekat. Sebagian besar teman kuliahnya pun tak tahu. Hanya ada seorang yang tahu--Agil, sahabat terdekatnya. Gharal menyimpan rapat-rapat status barunya. Semilir angin terasa begitu mencekam. Lalu-lalang kendaraan sudah terlihat padat kendati hari merangkak menuju pagi. Sekitar jam tiga dini hari, Gharal tiba di night club langganannya. Masih ada satu jam untuk sekadar melepas penat karena club ditutup jam empat pagi. Dari pesan w******p yang ia kirim untuk Agil, ia tahu Agil masih berada di night club yang selalu ramai pengunjung ini. Begitu masuk ke dalam club, Gharal tahu di mana ia harus menemukan Agil. Spot di sudut ruangan selalu menjadi tempat favoritnya. Ya karena di situ dia lebih leluasa bermesraan dengan Selia, pacar Agil. Dan benar saja, Gharal melihat Agil tengah berciuman begitu panas dengan Selia. Dengan cueknya, Gharal duduk di sebelah mereka. Selia melepas ciumannya dan merasa terusik dengan kehadiran Gharal. Dia beranjak dari pangkuan Agil. “Selingkuhan kamu dateng, tuh. Aku mau gabung sama temanku dulu, ya.” Selia tersenyum, mengecup pipi Agil sekilas lalu berjalan menjauh. Agil melirik Gharal dan cukup terkejut dengan kedatangannya. “Bro, ngapain lo ke sini? Bukannya sekarang malam pengantin lo?” Agil menatap sahabatnya heran. Tak biasanya teman baiknya bertampang kusut. Biasanya dia selalu bersemangat setiap kali clubbing. “Bete gue. Gue kepaksa nikahin itu cewek. Andai aja kecelakaan itu nggak pernah terjadi, gue pasti bebas.” Gharal meneguk beer kalengnya lalu mencengkeram kaleng itu kuat-kuat. “Merit enak, kan, Gha? Udah jalani aja,” tukas Agil dengan santainya. “Enak apanya? Mending kalau cewek yang gue nikahi itu cantik, semok dan seksi. Dia itu jelek, jelek banget sumpah! Dekil, item, mungil, udah gitu pakai hijab. Gue nggak suka cewek berhijab!” bara amarah tercetak jelas di kedua mata Gharal. Agil menggeleng, “Sayang banget punya bini tapi lo anggurin.” Gharal menyeringai, “Gue kan udah bilang, wajah dia jelek banget. Item, dekil, lihat mukanya aja gue nggak nafsu. Kagak sudi gue nyentuh dia.” Agil tertawa kecil. Di matanya Gharal adalah sosok istimewa. Berandal iya, badboy iya, selengekan iya, minum iya, tapi having s*x? Dia bukan tipikal yang hobi sebar benih ke sembarang perempuan. Bahkan rahasia status perjakanya hanya Agil yang tahu. “Denger, ya, Gha. s*x itu nggak butuh muka, kok. Lo bisa nglakuin sambil merem. Atau muka bini lo ditutup masker aja.” Gharal terkekeh, “Gue nggak sama kayak lo. Gue muak lihat dia. Meski mukanya ditutup masker sekalipun, gue tetap aja muak lihatnya.” Agil menyalakan korek api, lalu membakar ujung rokok yang ia pegang. Laki-laki berambut spike itu mengisapnya pelan. Asap rokok berhamburan seperti kabut. “Kemarin waktu lo nikah, gue lihat dia nggak jelek-jelek amat. Ya emang masih kalah jauh dari mantan-mantan lo yang cantiknya sekelas artis, tapi ya nggak apa-apa kalau cuma jadi temen bobo.” Gharal menaikkan sebelah sudut bibirnya, “Itu karena make-up. Begitu make-up luntur, itemnya lebih dominan. Bener-bener dekil.” Agil meyeringai, “Kalau gue jadi lo, gue nggak mau rugi. Gue tidurin aja. Gue yakin bini lo masih perawan. Kelihatan perempuan baik-baik. Lo belum ngrasain gimana enaknya tidur sama perawan makanya sentimen gini. Sekali nyoba lo bakal ketagihan.” Gharal meletakkan kaleng beer-nya dan menatap tajam sahabatnya. Meski Gharal belum pernah berhubungan s*x, sebelumya, dia tak pernah memasang kriteria perempuan yang menjadi istrinya harus perawan. Yang terpenting penampilan fisiknya. “Gue nggak peduli soal virginity. Buat gue, cewek itu kudu cantik, seksi, menarik, enak dilihat. Entah karma atau apa, gue akhirnya nikah sama cewek yang jauh banget dari kriteria. Gue benci banget ama dia, Gil. Dan gue nggak tertarik untuk nyentuh dia, walaupun dia masih perawan.” Kata-kata yang meluncur dari bibir Gharal terdengar seperti sebuah penegasan. Bahkan Agil bisa merasakan betapa sorot mata Gharal memancarkan kebencian setiap kali membicarakan istrinya. Tiba-tiba Selia datang menghampiri. Dia tak hanya datang sendiri, ada Fara juga. Gharal tengah melakukan seragkaian pendekatan dengan Fara. Anda dia tak jadi menikah dengan Kia, mungkin saat ini dia sudah resmi berpacaran dengan Fara. Pernikahan itu selalu Gharal anggap sebagai penghancur segalanya. Fara sendiri tak tahu-menahu jika laki-laki yang ia sukai ini baru saja menikah karena Gharal memang merahasiakannya. Fara duduk di sebelah Gharal dan bergelayut manja di lengannya. Gharal tersenyum. Ia selalu suka wangi parfum Fara yang sedemikian sensual dan menenangkan. “Belakangan ini kamu jadi jarang clubbing, Gha? Aku kangen tahu nggak, sih?” Fara merajuk manja sembari mengelus pipi Gharal. Gharal tersenyum tipis, “Iya belakangan ini aku sibuk revisi skripsi. Maaf, ya, malah jadi nyuekin kamu.” Fara membalas senyum Gharal dengan senyum yang begitu manis, senyum yang selalu dirindukan Gharal. “Nggak apa-apa. Lima belas menit lagi club ini tutup. Paling nggak minum bentar bareng aku, ya.” Fara mengalungkan tangannya pada leher Gharal. Gharal mengulas senyum. Sebelum membasahi bibirnya dengan beer, Gharal terlebih dulu membasahinya dengan pagutan bibir Fara yang selalu membuatnya melayang. ****** Gharal melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Jam setengah lima kurang. Azan Subuh berkumandang merdu. Gharal menghentikan motornya sejenak. Dia sengaja memilih lokasi yang agak jauh dari rumah. Matanya awas menatap pintu gerbang. Setelah sosok laki-laki keluar dari pintu gerbang dengan mengenakan baju koko dan peci, Gharal merasa lega. Ayahnya sudah berangkat ke Masjid. Ibunya juga pasti sedang salat Subuh di rumah. Itu artinya, orangtuanya tak akan tahu saat dia memasuki rumah. Jam segini, pintu depan sudah dibuka kuncinya. Gharal masuk ke pelataran rumah dan memasukkan motornya ke garasi. Dia melangkah pelan ke dalam rumah. Gharal menaiki tangga dengan sedikit rasa pening. Dia minum cukup banyak meski ia menjaga diri untuk tidak sampai mabuk, namun tetap saja kepalanya terasa pening. Saat Gharal memasuki kamarnya, ia melihat istrinya tengah mendirikan salat Subuh. Gharal membuka jaketnya dan melemparnya serampangan. Ia merebahkan badan di ranjang. Rasanya begitu lelah dan ingin tidur seharian. Seusai salat, Kia melirik suaminya yang sudah terbaring dengan mata terpejam. Ia melirik sepatu Gharal masih melekat di kedua kakinya. Kia merapikan mukenanya, kemudian melepas sepatu yang masih menghias kedua kaki itu. Kia melepasnya perlahan agar tak membangunkan Gharal. Ada deru perasaan yang tak bisa dideskripsikan kala mata Kia mendapati banyak jejak bibir berlipstik di pipi, leher dan kemeja Gharal. Meski Kia belum pernah minum minuman keras, tapi ia bisa menebak aroma alkohol tercium begitu kuat. Ada sebongkah gerimis melanda hatinya yang sudah sangat sakit sedari awal mereka menikah. Jika saja tidak teringat akan nasihat ayahnya untuk menjadi istri yang salihah, tentu Kia memilih mundur. Istri manapun akan merasa terluka karena tak dianggap dan direndahkan oleh suami sendiri. It hurst when someone takes you for granted. Apalagi seseorang itu adalah suami sendiri, seseorang yang seharusnya mampu menjadi imam dan mencintai karena Allah, tapi realitanya sang suami adalah sumber dari segala sumber penderitaan dan air mata. Air mata yang bahkan sudah menganak sungai di hari pertama menyandang status sebagai istri. Lagi-lagi bulir bening itu lolos begitu saja. Bukan semata sakit karena betapa perih mengetahui suami yang ternyata tak pernah menganggap pernikahan ini sebagai sesuatu yang sakral dan serius. Bukan semata karena ia tahu di hati dan pikiran suaminya masih ada nama wanita lain dan bahkan suaminya pulang dengan membawa banyaknya tanda bahwa ia baru saja melalui moment romantis dengan wanita lain. Bukan karena semua pil pahit ini harus ia telan di malam pengantinnya. Ada kesakitan lain yang lebih dahsyat menggerogoti pertahanannya. Tentang kebahagiaan dan doa seorang ayah. Saat Gharal dan kedua orangtuanya datang melamar, ayahnya begitu bersyukur dan bahagia. Sang Ayah sempat resah dan cemas memikirkan masa depan putrinya yang memiliki cacat di kaki kirinya karena kecelakaan itu. Dia berpikir, akankah ada laki-laki baik yang mau menikahinya dengan keterbatasan itu? Kedatangan Gharal dan keluarganya yang meminta Kia secara baik-baik telah menerbitkan harapan baru. Sang ayah percaya bahwa Gharal pemuda yang baik. Terlepas dari tindakannya yang menyetir dalam keadaan setengah mabuk hingga membuatnya kehilangan kontrol saat mengemudi dan menabrak putrinya, Gharal bertanggungjawab dengan mengantar Kia ke rumah sakit. Tanpa sang Ayah tahu, sang menantu pernah berpikir jika bisa memutar waktu, dia lebih baik membiarkan Kia tergeletak di jalan dibanding harus membawanya ke rumah sakit jika harus berakhir dengan pernikahan tanpa cinta ini. Rasa sedih kian menghimpit dan menyesakkan tatkala senyum bahagia sang Ayah terbayang di pelupuk mata. Entah seperti apa leburnya perasaan sang Ayah jika tahu Kia tak bahagia dengan pernikahannya, bahkan sejak malam pertama. Kia tak bisa egois memikirkan perasaannya sendiri. Ada perasaan Ayah yang harus ia jaga. Dia tak bisa mundur karena hal itu hanya akan melukai perasaan beliau. Dia harus berpura-pura bahagia di depan siapapun agar tak ada yang tersakiti. Biar saja ia yang akan menyambung sendiri serpihan-serpihan kebahagiaan yang berserakan, entah bagaimana caranya. Dia harus bahagia, apa pun yang terjadi. Gharal meracau dan memiringkan kepalanya ke kanan dan kiri. Sepertinya efek alkohol sudah mulai mengacaukan dan menurunkan kesadarannya. Kia yang masih berdiri menatapnya, merasa khawatir melihat peluh bercucuran dari dahi Gharal. Kia memberanikan diri mendekat ke arah Gharal. Dia mengambil beberapa lembar tisu di nakas lalu mengelap keringat yang menetes membasahi pipi laki-laki itu. Tanpa Kia duga, Gharal menarik tangannya hingga membuatnya jatuh ke atas tubuh suaminya. Gharal membalik tubuh perempuan mungil itu hingga posisinya terbalik, Kia berada dalam kungkungan badan kekar Gharal. Dadanya berdebar hebat menatap wajah sang suami dari jarak yang begitu dekat. “Fara ....” Gharal menyapu pipi Kia dengan jari-jarinya. Alkohol telah melemahkan kesadarannya dan mengaburkan pandangan. Dia seperti melihat Fara yang begitu cantik menatapnya tajam. Kia tercekat. Fara, satu nama menari-nari di benaknya. Siapa wanita itu? Apa dia pacar Gharal? Gharal mengecup sepanjang leher Kia dengan suara kecapan yang berkejaran, meninggalkan tanda di beberapa titik. Untuk sesaat Kia membeku, rasanya tak bisa berkutik. Tubuh Gharal terasa begitu berat menghimpitnya dan ia tak mampu menguasai rasa deg-degan yang sedari tadi merajai pikirannya. Untuk pertama kali Kia merasakan sentuhan dan ciuman seorang pria. Sensasinya begitu mendebarkan. Ingin ia mendorong tubuh Gharal dan mengatakan padanya bahwa dia bukanlah Fara, tapi Gharal sudah menjadi suaminya dan berhak atasnya. Gharal mencengkeram kedua tangan Kia, membuat Kia tak bisa leluasa bergerak. Tanpa Kia duga, Gharal mencium bibirnya, memagutnya liar. Kia tersentak dan tak tahu harus bersikap apa. This is her first kiss. Tok..tok..tok... “Kia, Gharal. ...” Suara ketukan pintu dan panggilan dari luar mengagetkan Kia yang hampir saja larut dalam sentuhan dan ciuman Gharal. Kia mendorong tubuh Gharal sekuat tenaga hingga Gharal terpelanting di sebelahnya. “Fara ... aku pengin kamu ....” Gharal masih saja meracau dan berusaha meraih tangan istrinya. Setelah Gharal berhenti meracau dan mulai tenang dengan mata terpejam, Kia bergegas melangkah menuju pintu. Suara tadi adalah suara ibu mertuanya, jadi tak apa Kia menemuinya tanpa mengenakan kerudung. Kia membuka pintu pelan. Sang ibu mematung dan tersenyum padanya. Kia membalas dengan senyum ramah. “Iya, Bu. Maaf Kia nggak langsung turun ke bawah waktu selesai salat tadi.” Haryani melirik ke dalam dan mendapati putranya tidur tengkurap. “Gharal tadi sudah salat? Sekalipun kalian pengantin baru, kalian jangan lupa salat,” tukas Haryanti sembari mengamati jejak-jejak kiss mark bertebaran di leher Kia. Kia mengangguk, terpaksa berbohong. Dia menyadari ibu mertuanya tak tahu jika semalam putranya meninggalkan rumah. “Sudah, Bu.” “Sebenarnya Ayah biasa mengajak Gharal salat berjamaah di Masjid karena laki-laki utamanya sholat berjamaah di Masjid. Ayah tadi mau membangunkan tapi suasana kamar lengang, takut mengganggu.” Haryani senyum penuh arti dengan tatapan yang tak lepas menyisir leher Kia. “Nanti Kia akan sampaikan ke Gharal agar lebih disiplin lagi, Bu.” Segaris senyum melengkung di kedua sudut bibir Kia. “Iya. Makasih, ya, Nak. Gharal itu mesti sering-sering diingatkan. Mungkin karena dia anak bungsu, jadi sikapnya juga lebih manja,” sahut Haryani lembut. Kia tersenyum, “Iya, Bu, insya Allah Kia dan Gharal akan saling mengingatkan.” ****** Sarapan pagi ini berlangsung begitu formal antara Ayah dan ibu Gharal, Kia, Gharal dan kakak Gharal beserta istrinya yang sedang menginap. Kakak Gharal bernama Wisnu, sedang istrinya Viona, mereka telah menikah selama lima tahun dan belum memiliki anak. Karena itu orang tua Gharal menginginkan pernikahan Gharal dilangsungkan secepatnya tanpa harus menunggu Gharal wisuda. Mereka menginginkan kehadiran cucu dari Gharal dan Kia. Selain itu, Baskoro, ayah Gharal juga menilai Gharal sudah cukup mampu secara finansial dari penghasilannya sebagai youtuber dan selebgram yang seringkali kebanjiran endorse. Kia tak pernah melalui suasana makan bersama yang begitu formal seperti sekarang. Dia dan ayahnya terbiasa makan lesehan dengan suasana hangat dan begitu santai, terkadang malah sambil menonton televisi. Di keluarga ini mereka duduk dengan tenang, makan tanpa bersuara sedikitpun dan masing-masing anggota keluarga terlihat begitu serius, fokus dengan menunya masing-masing. Selesai sarapan, Baskoro mengajak anak-menantunya berbincang. “Oh, ya. Gharal dan Kia, ayah sudah menyiapkan liburan honeymoon untuk kalian. Besok kalian berangkat ke Lembang. Ayah sudah menyewa vila untuk kalian.” Gharal terbelalak, “Terus kuliah Gharal gimana, Yah? Gharal mesti ngurusin skripsi biar cepat kelar.” Tentu saja Gharal tak berminat menghabiskan liburan bersama Kia. Dia berpikir lebih baik menghabiskan waktu bersama teman-temannya. “Ya cuti dulu, Gha. Masa pengantin baru nggak boleh cuti. Lagian kalian sudah tinggal mengurus skripsi, jadi bebas-bebas saja kan kalau nggak berangkat. Sudah tidak ada kelas.” Baskoro menanggapi pernyataan Gharal. Gharal terdiam. Dia tak pernah bisa melawan kehendak ayahnya. Kia tak menanggapi apa pun. Tangannya memilin-milin ujung bawah kerudungnya untuk membuat diri lebih rileks. “Oh, ya. Tabungan kamu sudah cukup, kan, Gha untuk membeli rumah? Yang sederhana juga tak masalah. Nanti kalian bisa menempati rumah sendiri.” Haryani menatap Gharal dan Kia bergantian. “Kayaknya Gharal dan Kia ngontrak dulu aja, Bu. Gharal sudah menemukan rumah yang cocok. Cuma ada beberapa bagian yang harus direnovasi. Sebelum selesai renovasi, kami mengontrak dulu,” kata-kata Gharal meluncur lugas. “Baiklah terserah kalian saja. Kalau ibu sih berharap kalian tinggal di sini dulu sampai renovasi selesai,” balas Haryani dengan senyum. “Lihat nanti, Bu. Yang penting Gharal akan segera membeli rumah itu, takut keduluan orang.” Gharal bermain gitar di balkon kamar sembari mendendangkan sebait lagu. Tak ada aktivitas berarti. Seharusnya dia bersiap mengepak baju-bajunya untuk liburan ke Lembang, tapi dia tak antusias. Kia melangkah ke balkon dan berdiri di dekat pintu. Untuk menyapa Gharal saja rasanya begitu sungkan. Apalagi jika dia teringat akan moment romantis mereka selepas Subuh. Meski ia tahu, Gharal tak sadar melakukannya karena sedang berada di bawah pengaruh alkohol, tapi tetap saja semua itu meninggalkan sensasi yang masih terasa begitu kuat. Gharal laki-laki pertama yang menyentuh dan menciumnya. “Gharal ....” Kia memberanikan diri memanggil suaminya. Gharal menghentikan aktivitasnya yang tengah memetik gitar. Matanya menatap Kia tajam, seperti biasa dengan tatapan ketus dan tak ramah. “Tadi pagi Ibu memintaku untuk mengingatkanmu lebih disiplin lagi salat jamaah di Masjid. Kamu mabuk dan tidur sampai pagi, melewatkan waktu Subuh.” Gharal mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dia kembali menatap Kia dengan sorot kebencian. “Nggak usah ceramah. Gue tahu apa yang mesti gue lakuin.” Gharal begitu jutek merespons kata-kata Kia. “Syukurlah kalau kamu sudah tahu. Oh, ya, baju-baju kamu yang mau dibawa ke Lembang yang mana aja? Biar aku siapkan.” Gharal menyandarkan gitarnya di dinding. Dia beranjak dan berdiri di hadapan Kia. Ada desiran yang menyapu hati Kia lembut setiap kali berdekatan dengan Gharal. “Jangan sentuh barang-barang gue. Gue bisa packing sendiri.” Gharal berlalu dari hadapan Kia dengan sikapnya yang masih saja kasar dan cuek. Kia mematung. Hatinya selalu saja bergerimis kala mendapat perlakuan tak menyengangkan dari suaminya. Namun dia akan berusaha bertahan, melapangkan hati untuk menjalani pernikahan ini. Ada banyak perasaan yang harus dijaga, ayahnya, keluarga Gharal, dan orang-orang terdekat yang berharap kebahagiaan dalam pernikahan mereka. Wanita selalu memiliki cara untuk menjadi kuat dengan keistimewaannya. ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD