Secantik hati Kianara

3168 Words
Gharal meletakkan koper di lantai lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Gharal menyukai vila pilihan ayahnya. Ruangan tengahnya luas, ada fasilitas flat tivi 32 inc, dapur beserta kitchen set-nya, kolam renang yang cukup luas, gazebo di halaman depan dan di pinggir kolam renang, wifi free, sarapan pagi, toilet di dalam kamar, dan yang paling penting bagi Gharal, kamar tidurnya ada dua, jadi dia dan Kia tidak perlu tidur sekamar. Gharal menyingkap tirai yang menutup jendela kaca di ruang tengah yang memanjang dari ujung atas hingga bawah. Di depannya terhampar lahan pertanian warga yang menghijau, begitu asri bak permadani. Kia melangkah menuju kamar dan memasukkan kopernya. Setelah itu dia menarik gagang koper Gharal ke kamar yang sama dengan tempat ia menyimpan kopernya. Gharal melirik Kia. Seketika matanya membulat. “Heh, mau dibawa ke mana koper gue?” Kia tersentak mendengar intonasi suara Gharal yang tinggi melengking. “Aku bawa ke kamar.” Kia menjawab tenang meski efek kagetnya membuatnya gugup. Gharal berjalan mendekat. “Ke kamar yang sama dengan kamar lo? Lo pikir gue mau tidur bareng lo? Di vila ini ada dua kamar, kita tidur terpisah!” kata-kata Gharal meluncur dengan tegasnya. Seketika dia merebut gagang kopernya dan melangkah menuju kamar sebelah. Kia tercenung. Sikap Gharal seakan semakin menjadi. Namun Kia tak akan menyerah. Pernikahannya baru berumur tiga hari. Dia tak akan menjadi cengeng hanya karena sikap Gharal yang benar-benar menyebalkan. Kia memasukkan baju-bajunya ke dalam lemari yang sudah disediakan di vila ini. Kamar yang ia tempati begitu nyaman. Ruangannya pas, tidak terlalu luas juga tidak terlalu sempit. Vila pilihan Ayah mertuanya memang begitu elegan. Terlihat simple, minimalis tapi berkelas, dan yang terpenting, vila ini begitu bersih dan rapi. Smartphone-nya berbunyi. Kia menggeser layar ponselnya. Ada satu pesan w******p dari dosen pembimbingnya. Kia, sudah tiga hari kamu nggak ke kampus. Ayo semangat berangkat. Semakin sering ngadep saya, skripsi kamu akan semakin cepat ACC. Kia bingung harus membalas apa. Teman-teman kuliah maupun dosennya tidak ada yang tahu perlihal pernikahannya. Hanya Santika, teman sekelas sekaligus sepupunya yang tahu. Gharal meminta persyaratan sebelum menikah bahwa dia tak ingin pihak kampus mengetahui pernikahan mereka termasuk teman-teman kuliah. Gharal memang beda fakultas dengan Kia, Gharal kuliah di fakultas ekonomi sedangkan Kia kuliah di fakultas psikologi. Mereka masih satu universitas, dan lokasi fakultas mereka bersebelahan. Pekerjaan Gharal sebagai selebgram dan youtuber yang cukup tenar dan memiliki jutaan followers juga membuat namanya dikenal di seantero kampus. Karena itu, dia memilih merahasiakannya dari kampus. Kia mengetik huruf demi huruf untuk membalas pesan dari dosen idola yang masih single itu. Umurnya 29 tahun dan parasnya yang rupawan membuat banyak mahasiswi terkesima. Ada tagline yang terkenal di kalangan mahasiswi, “Mendapatkan dosen pembimbing seperti Abinaya Haidar adalah anugerah luar biasa. Masa skripsimu akan terlalui dengan begitu membahagiakan, tanpa stres, dan bersemangat karena setiap menghadap dosen, kamu akan disuguhi wajah tampan yang begitu meneduhkan”. Kia mengirim balasannya. Maaf, Pak. Saya ada kepentingan keluarga jadi belum bisa datang ke kampus. Insya Allah begitu urusan selesai, saya akan ke kampus lagi. Kia bersyukur memiliki dosen pembimbing yang begitu perhatian dan membimbingnya dengan sangat baik. Tiba-tiba pintu terbuka dan membuat Kia sedikit terhenyak. Gharal mematung di dekat pintu. “Temen-temen gue bakal ke sini nanti malam. Gue minta lo nggak usah keluar, karena kita mau manggang Barbeque di halaman depan. Gue nggak pengin temen-temen gue tahu kalau gue udah nikah. Cuma satu orang yang tahu.” Kia diam saja tak merespons. Dia berpikir, mungkin sampai kapanpun Gharal tak akan pernah menganggapnya. Malam kelam berselimut bintang menampakkan kilauan yang bercahaya. Suasana begitu romantis. Andai saja kedua sejoli itu benar-benar saling mencintai mungkin mereka tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk duduk berdua bergenggaman tangan. Mata mereka menengadah ke angkasa dan menghitung bintang bersama atau hanya sekedar menikmati indahnya gemintang dan menyatukan rasa. Kedua hati seolah bercerita bahwa cinta itu akan selalu ada seperti bintang, meski terkadang bintang-bintang tak selalu tampak. Kenyataan yang terjadi saat ini adalah, sang laki-laki bersenang-senang bersama teman-temannya di halaman vila, sedang sang perempuan mendekam di kamar sembari menyaksikan suami dan teman-temannya bercanda tawa sambil memanggang barbeque. Kia masih terpaku di jendela kamar. Matanya memanas, hatinya meradang melihat Gharal memangku seorang wanita dan mereka terlihat begitu akrab. Kia menduga bahwa gadis itu pasti bernama Fara. Mungkin Kia belum sepenuhnya jatuh hati pada Gharal, tapi karena dia sudah resmi menjadi istri Gharal, ada jeritan yang teredam di balik jeruji hatinya bahwa dia tak rela melihat suaminya bermesraan dengan wanita lain. Tidak dianggap dan dipandang sebelah mata itu selamanya akan selalu menyakitkan. Gharal melahap barbeque dengan begitu antusias karena ada Fara di sampingnya. Tawa lepas yang meluncur dari bibirnya begitu kontradiktif dengan apa yang dirasakan Kia. Gharal tak peduli pada hati yang tengah rapuh, hati yang bahkan tak ia anggap. Baginya pernikahannya dengan Kia hanya sebatas status, tidak akan pernah ada hati dan perasaan yang terlibat. “Sayang banget nggak ada beer, vodka atau apa, kek.” Seorang cowok berambut ikal bernama Marcell menatap nanar sepiring barbeque, minuman soda, serta kopi hangat. “Tahu tempat, lah. Masa ke sini bawa minuman keras. Nggak enak sama warga sekitar. Di vila ini juga ada aturan nggak boleh bawa minuman keras dan obat-obatan terlarang.” Gharal menjelaskan lalu meneguk soft drink favoritnya. Teman-teman Gharal yang berkunjung ada enam orang, tiga laki-laki dan tiga perempuan. Tiga diantaranya teman kuliah sedang tiga lainnya teman clubbing dan ada pula yang sudah mengenal sejak SMA. Fara dan Selia turut serta dalam rombongan. “Tempat ini indah banget, ya. Sayang nggak punya pacar. Coba kalau ada pacar, bisa romantisan di sini.” Alvian menggeleng seolah meratapi nasib kejombloannya. “Makanya cari pacar lo. Tuh Deza masih jomblo.” Agil melayangkan pandangannya pada Deza sembari tersenyum menggoda. “Idih, nggak sudi gue pacaran ama Al. Kayak nggak ada cowok lain aja.” Deza mengerucutkan bibirnya. Gadis berwajah manis itu selalu saja berbeda argumen dengan Alvian. “Gue juga nggak sudi pacaran ama lo. Nggak usah sok kecakepan.” Alvian tak mau kalah. “Udah-udah jangan berantem mulu. Heran deh sama kalian, nggak pernah akur. Kalau nanti ujung-ujungnya jatuh cinta, baru tahu rasa lo.” Selia tertawa meledek diikuti tawa lainnya. “Klasik banget lah benci jadi cinta. Tapi buat gue namanya benci ya benci, nggak akan jadi cinta,” tandas Gharal mantap. “Kalau kita mah dari awal emang udah saling tertarik, ya.” Fara tersenyum menatap Gharal. Gharal membalasnya dengan senyum penuh arti. Sekitar jam sebelas malam, teman-teman Gharal pamitan karena mau lanjut clubbing. Agil dan Seila memutuskan untuk menginap di vila. Fara merengek minta menginap tapi Gharal meminta Fara untuk pulang saja. “Kamu kenapa, sih, nyuruh aku pulang? Kamu nggak mau aku temenin?” Fara berkacak pingggang. Ia tak mengerti dengan jalan pikiran Gharal yang selama ini selalu menolaknya. Gharal suka clubbing, minum, bukan orang alim, tapi dia tak pernah membawanya ke tempat tidur. Telalu konservatif, pikirnya. Namun Fara tak akan melepaskan Gharal. Selain tertarik pada penampilan fisik Gharal yang begitu good looking, dia juga menyukai cowok yang mapan secara finansial untuk mengimbangi gaya hidupnya yang glamor. “Fara aku mohon please. Kamu pulang aja. Aku nggak mau kita keblabasan, itu artinya aku menghormati kamu Fara. Kalau kamu nginep di sini aku takut kehilangan kontrol.” “Ah, kamu banyak alasan. Aku benar-benar heran sama kamu. Takut dosa? Kalau takut dosa ya udah nggak usah clubbing, nggak usah minum. Badboy-nya kamu itu nanggung.” Fara berbalik dan menyusul teman-temannya yang sudah lebih dulu masuk mobil. Gharal tak bisa berkata-kata lagi. Jika sudah marah, Fara akan mendiamkan beberapa waktu atau bahkan beberapa hari. Tatapannya masih tertuju pada mobil yang perlahan melaju meninggalkan pelataran vila. Selia dan Agil duduk di sofa sambil menonton televisi, sementara Gharal membuatkan cokelat panas dan menyiapkan beberapa cemilan. “Bini lo mana, Gha? Suruh keluar aja gabung sama kita. Selia udah aku kasih tahu kalau kamu udah merit. Dia bisa jaga rahasia. Iya, kan, Sel?” Agil tersenyum ke arah Selia sambil menaikkan alisnya. Gharal sudah menduga, Agil pasti akan menceritakannya pada Selia. Dia tak bisa menyembunyikan apa pun dari kekasihnya itu. “Paling dia udah tidur,” balas Gharal sekenanya. Tiba-tiba suara pintu bergeser mengagetkan Agil dan Selia. Mereka menoleh ke arah sumber suara. Tampak perempuan mungil berjilbab dengan tatapan mata yang begitu sayu dan wajah yang terlihat pias. Gharal menatapnya datar. Kia mengangguk dan tersenyum pada kedua sahabat Gharal itu lalu berlalu menuju dapur. Agil dan Selia memperhatikan cara berjalan Kia yang terpincang-pincang. Kia menuang air di teko pada segelas air. Kia duduk di ruang makan sebelah dapur lalu meminum airnya perlahan. Sedari tadi dia tak bisa tidur. Gharal duduk di sofa lain selain yang ditempati Agil dan Selia. “Bini lo suruh gabung ama kita kenapa?” Agil mengamati tampang cuek Gharal yang sama sekali tak peduli dengan keberadaan istrinya. “Ya udah sana lo aja yang suruh dia buat gabung.” Gharal menjawab sekenanya. Agil berdecak. Dia sudah paham benar watak temannya yang kurang peka dan cuek. Agil beranjak lalu melangkah menuju dapur. Kia tersentak dengan kehadiran Agil yang menghampirinya. Dia mendongakkan wajahnya dan menatap Agil yang berdiri menatapnya dengan tersenyum ramah. “Sendirian aja, Ki? Gabung ama kita, yuk, sambil nonton tivi.” Ini seperti surprise untuk Kia bahwa suaminya memiliki teman yang ramah. Ia pikir teman-teman Gharal setipe dengan Gharal, sombong dan hanya menilai orang dari penampilan luar. “Kamu udah tahu siapa aku?” Kia merasa ragu untuk bergabung. Ia takut Gharal akan marah. “Iya gue tahu. Gue sahabat terdekat Gharal. Gharal nggak bisa nyembunyiin sesuatu dari gue.” Kia akhirnya menuruti kemauan Agil untuk bergabung dengan Gharal dan kedua temannya. Kia duduk di sebelah Gharal dengan bentangan jarak yang agak jauh. Selia menatapnya begitu menelisik. Gadis mungil itu memang sama sekali tak serasi jika disandingkan dengan Gharal. Ia seolah menemukan jawaban mengapa Agil bercerita bahwa Gharal begitu membenci istrinya dan tak berhasrat padanya. Di matanya, Kia memang tak menarik, jauh dari kesan cantik, badannya kurus dan mungil seolah organ pencernaannya mengalami malfungsi, gagal menyerap nutrisi. Warna kulitanya sawo matang khas Indonesia, juga jauh dibandingkan kulit Gharal yang putih bersih. “Kia kuliah psikologi, ya? Gharal cerita lo lagi skripsi juga?” Agil membuka percakapan. Gharal melirik Agil sejenak lalu kembali mengalihkan pandangannya ke arah televisi. Kia mengangguk, “Iya aku lagi skripsi. Kamu lagi skripsi juga?” Agil mengulas senyum dan mengangguk. Selia tak begitu berminat untuk berbincang dengan Kia. Dari penampilan fisiknya saja, Selia sudah merasa tak cocok dengan Kia, banyak sekali perbedaan. “Kamu mengambil skripsi tentang apa?” tanya Agil lagi. “Tentang pengaruh bullying pada self esteem yang rendah,” jawab Kia padat dan jelas. Agil lumayan tertarik juga dengan psikologi. Tema skripsi Kia cukup menarik rasa tahunya. “Temanya menarik ya, Ki. Kamu risetnya di mana?” “Di salah satu SMA di kota ini. Jadi aku lebih concern ke remaja SMA.” “Kenapa kamu mengambil tema ini?” Agil menajamkan matanya. Bullying itu seperti kasus yang tak pernah selesai. Setiap tahun selalu saja ada peningkatan aksi bullying baik secara fisik maupun verbal. Kia menghela napas, “Karena dari kecil aku sudah terbiasa di-bully. It’s not easy to be bullying survivor. Dan seperti ada misi sosial di skripsiku. Aku ingin siapapun yang membaca bisa lebih aware akan maraknya kasus bullying.” Satu hal yang Agil tangkap dari sosok Kia adalah, gadis ini bukan gadis sembarangan. Dia menarik dan smart. Mungkin secara fisik masih jauh dibanding perempuan-perempuan yang pernah ia kencani, tapi dia memiiki keistimewaan di balik keterbatasan di kakinya. Setiap kali Kia berbicara, terdengar nada ketegaran dan bahkan dari sorot matanya, Agil bisa melihat kekuatan dan kelembutan berpadu menjadi satu. “Tulisanmu misinya bagus, Ki. Aku suka tema-tema seperti ini. Sebenarnya aku lumayan tertarik juga dengan psikologi. Cuma kuliahnya nyasar di ekonomi, hahaha.” Tawa renyah Agil membuat Gharal terusik. Kia ikut tertawa. Gharal tak suka sahabatnya sok akrab dengan istrinya. Bahkan kata ganti yang digunakan Agil sudah bukan lo-gue lagi tapi berubah aku-kamu. Gharal berpikir naluri playboy Agil muncul saat tengah berbincang dengan Kia. Gharal tidak cemburu, tapi dia tak suka melihat Kia tertawa lepas. Sesuatu yang belum pernah ia lihat. Sebelumnya Kia lebih banyak murung. “Tak apa, sih. Kamu masih bisa belajar psikologi lewat jalur lain. Baca-baca buku atau browsing artikel juga bisa memberi banyak informasi.” Segaris senyum melengkung di bibir Kia. Agil sesekali menatap Kia lekat. Dia tak sejelek yang dikatakan Gharal. Kulitnya yang eksotis justru menjadi daya tariknya. Dia manis saat tersenyum. “Kamu benar, Kia. Namanya belajar bisa dari mana saja.” Selia lama-lama bosan dicuekan oleh Agil. Ia sama sekali tak diajak bicara. “Sayang, dari tadi aku didiemin aja. Bobo, yuk.” Selia menggandeng lengan Agil. “Kamu duluan, ya.” “Ah nggak mau. Aku nggak bisa tidur sendiri.” Selia terus merajuk. Agil akhirnya menurut. Dia beranjak dan keduanya pun berjalan beriringan menuju kamar. “Tunggu, kalian udah nikah?” Pertanyaan Kia membuat Agil dan Selia menghentikan langkah dan melirik gadis berhijab itu. “Kami belum menikah. Kenapa?” tanya Selia ketus. “Kalian belum menikah tapi mau tidur bersama?” Kia mengernyitkan dahi. Selia membuang muka dan bergumam, “Gini nih kalau penghuni surga sudah mulai rempong ngurus urusan orang.” Kia beranjak dan berjalan lebih dekat pada sejoli itu. “Ya sebagai sesama Muslim, aku cuma mengingatkan. Kalian pasti sudah tahu. Allah melarang kita berzina, bahkan mendekatinya saja pun nggak boleh.” Selia menajamkan matanya, “Lo nggak usah ceramah, deh. Dosa-dosa gue, kenapa lo yang repot? Gue yang nanggung dosanya.” Kia beristigfar, “Astagfirullah.” “Denger ya gadis sholehah, gue paling nggak suka sama orang yang hobi ngatur kehidupan orang lain. Jangan bicara dosa lah. Gue udah muak denger itu semua. Gue cuma ingin menikmati hidup dengan cara gue sendiri.” Tatapan Selia begitu menghunjam. Jika hati masih tertutup, sulit baginya untuk sekedar mendengar kebenaran. Dia lebih memilih untuk tetap di jalurnya. “Sebagai sesama perempuan, aku terpanggil untuk mencegah kalian. Seks di luar nikah hanya akan merugikan, terutama untuk perempuan.” Gharal risi juga mendengarnya. Dia mendekat pada istrinya. “Lo nggak usah ngatur-ngatur. Gue muak lihat sikap lo yang sok suci, berasa lo orang paling bener sedunia. Lo masuk aja ke kamar, nggak usah ngerusak kesenangan orang lain.” Gharal mencecar dan menatap Kia penuh rasa benci. Kia terdiam sejenak. Ditatapnya Gharal dengan tajam. “Justru aku salah jika membiarkan mereka. Kalau Agil dan Selia tetap ingin berzina, aku yang akan mengalah. Aku akan meminta mang Dede untuk menjemputku.” Kia melangkah menuju kamar sebelah. Seketika Gharal mencengkeram pergelangan tangannya kuat-kuat. “Nggak usah minta jemput segala. Lo pengin ngadu ke ayah ibu, kan?” intonasi suara Gharal terdengar meninggi. “Sudah Gharal jangan bentak-bentak Kia, kasihan dia. Okay, malam ini gue nggak akan tidur bareng Selia. Selia dan Kia tidur sekamar. Gue dan Gharal tidur di kamar yang satunya.” Selia mengerucutkan bibirnya dan menatap Kia penuh kebencian. Dia melangkah masuk ke kamar yang ditempati Kia lalu menutupnya keras-keras. Gharal yang sudah telanjur emosi pun melangkah menuju kamarnya untuk merebahkan badan, menghilangkan penat. “Kamu nggak tidur?” Agil menatap Kia yang masih mematung. Kia menggeleng, “Sebenarnya aku belum makan. Waktu kalian makan-makan, aku nggak boleh keluar sama Gharal. Padahal aku bawa mie instant dan bisa masak di dapur, cuma aku takut bikin Gharal marah. Aku mau masak mie instant dulu.” Agil menganga dan mengelus d**a, “Astaga Gharal. Anak orang disiksa begini. Kayaknya masih ada sisa barbeque yang belum dipanggang. Ada jagung juga. Aku temeni di depan, ya. Jangan makan mie instant, kurang sehat.” Kia mengangguk. Agil begitu bertolak-belakang dengan Gharal. Agil lebih tahu cara memperlakukannya sebagai manusia. Gharal mengintip Kia dan Agil yang tengah memanggang barbeque di halaman depan vila. Gharal berdiri mematung di dekat jendela dengan segala prasangka. Ia menduga Agil sengaja mendekati Kia hanya karena tertarik dengan keperawanan Kia. Gharal geram sendiri. Selesai memanggang barbeque dan jagung, Kia dan Agil menikmati hasil panggangan itu sembari menikmati suasana malam yang betabur bintang. Dinginnya malam mulai mencekam. Meski sudah mengenakan sweater, rasa dingin itu masih kuat terasa. “Ki, Gharal itu sebenarnya anak baik. Hanya saja dia memang kasar dan cuek. Aku harap kamu sabar menghadapinya.” Kia tersenyum dan mengangguk. “Kamu tenang saja. Aku pernah menghadapi serangkaian bullying dan aku bisa bertahan hingga detik ini. Artinya aku sudah terbiasa menghadapi sikap orang yang tidak menyukaiku.” Agil memaksakan bibirnya untuk tersenyum. “Tapi pelaku bullying kali ini adalah suamimu sendiri.” Kia terdiam. Agil mengamati kaki Kia yang mengenakan kaos kaki dan selop rumahan yang terlihat terlalu besar untuk kaki kecilnya. Kia menyadari tatapan Agil tertuju pada selopnya. “Kenapa? Selopnya lucu, ya? Aku suka keropi, makanya aku beli selop ini.” Agil tersenyum mengamati kepala keropi yang menghiasai ujung selop Kia. “Iya lucu banget. Tapi ada hal lain yang lebih menarik perhatianku.” Agil menatap Kia tajam. Untuk sesaat, Kia salah tingkah dibuatnya. “Bagaimana kamu bisa bertahan menghadapi semuanya? Kondisi kakimu menjadi seperti ini setelah kecelakaan itu. Kamu memaafkannya dan bahkan kamu mau menikah dengannya.” Kia tertegun. Hingga detik ini bahkan ia tak tahu jawabannya kenapa pada akhirnya dia bisa ikhlas menerima segala cobaan yang datang. “Dulu aku juga sempat down, depresi, dan nggak mau keluar rumah karena kondisi kakiku. Aku merasa nggak nyaman saat orang-orang memandangku lekat-lekat dan terfokus pada kakiku. Namun aku belajar banyak hal. Aku tahu Allah selalu menuliskan skenario terbaik untukku. Aku mungkin kehilangan kaki yang bisa berjalan sempurna. Patah tulang berat membuat kakiku cacat dan aku harus jalan terpincang-pincang. Tapi di sisi lain, Allah juga memberi banyak hal manis. Aku punya Ayah terhebat, aku punya kerabat, sepupu yang selalu support. Dan aku bersyukur banget, teman-teman kuliahku berbeda dengan teman-teman sekolahku dulu. Jika dulu aku kerap di-bully, sekarang justru teman-teman kuliahku bagitu baik dan nggak melihatku dari kekuranganku.” Agil tersenyum. Dia merasa begitu kecil jika dibandingkan Kia. Dia masih sering mengeluh sedang Kia yang mengalami hal yang jauh lebih berat darinya bisa berjiwa besar menerimanya. “Kamu hebat, Kia. Oh, ya, nama lengkapmu siapa?” Kia sedikit mengernyit, tak tahu apa maksud Agil menanyakan nama lengkapnya. “Kianara,” jawab Kia singkat. “Nama yang cantik, secantik hatimu, Kia.” Kia tercenung tak tahu harus membalas apa. Sementara Gharal masih menyaksikan mereka dengan raut wajah yang datar. ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD