Awal yang Pahit

1275 Words
Seorang laki-laki berusia 21 tahun duduk di sebelah seorang perempuan berhijab yang sepantaran dengannya. Suasana kamar begitu romantis dengan dekorasi bunga mawar putih, kenanga, dan kantil yang ditata begitu cantik di keempat sudut ranjang. Aroma wangi bunga menyeruak. Jika pasangan pengantin baru lainnya berbahagia dengan hari istimewanya, tidak dengan kedua pasangan itu. Mempelai perempuan terdiam, tatapannya kosong menerawang pada sesuatu tak berujung, sedang mempelai laki-laki terpekur meratapi nasibnya. Satu hal tersial yang paling disesali Gharal adalah clubbing sampai setengah mabuk. Dalam perjalanan pulang ia menabrak seorang perempuan yang sejak dua belas jam lalu telah resmi menjadi istrinya begitu kata ‘sah’ membahana di seantero sudut. Gharal terpaksa menikahi Kianara karena desakan orang tuanya. Tak disangka kecelakaan itu membuat kondisi kaki kiri Kianara patah tulang berat, bahkan ia harus cuti kuliah selama satu semester untuk menjalani fase pemulihan. Sejak kecelakaan naas itu, Kianara tak lagi bisa berjalan sempurna. Dia berjalan terpincang. Merasa begitu bersalah pada sang gadis sederhana berperawakan mungil itu, orang tua Gharal meminta anaknya untuk menikahi Kianara. Gharal yang badboy tapi sangat menyayangi kedua orang tuanya, tak bisa melawan. Bagi dia, sangat sulit menolak permintaan ayah dan ibunya. Namun, Gharal mengajukan satu syarat. Dia hanya ingin orang-orang terdekat saja yang tahu: keluarga dan sahabat dekatnya. Gharal tak ingin karirnya sebagai selebgram dan youtuber yang diidolakan banyak perempuan harus kandas karena kabar pernikahannya. Terlebih lagi dia menikahi seseorang yang tidak ia cintai. Di matanya penampilan fisik Kianara tidak ada bagus-bagusnya sama sekali. Wajahnya jelek, berkulit gelap, dekil, perawakannya mungil, jauh dari kriteria idaman versinya. Atmosfer terasa begitu canggung. Mereka saling menatap sejenak. Gharal langsung memalingkan wajah. Baginya menatap wajah Kianara hanya akan membuat matanya sakit. Sungguh, wajah jeleknya itu begitu tak enak untuk dipandang. Tak akan pernah ada malam pertama atau malam-malam lainnya. Bagaimana mau menyentuh, melihatnya saja sudah membuatnya bergidik. “Lo tidur aja di ranjang, gue tidur di sofa,” ucap Gharal begitu ketus. Gadis yang biasa dipanggil Kia itu terbelalak. “Kenapa harus tidur terpisah?” tanyanya heran. Mereka sudah menikah, tapi mengapa suaminya menginginkan untuk tidur terpisah? “Lo ngarep kita tidur seranjang? Gue nggak sudi. Gue nggak cinta sama lo,” tatapan Gharal begitu menghujam. Kia tercenung. Ia tahu, Gharal tidak mencintainya. Begitupun dengannya. Perasaan cinta itu belum tumbuh di hatinya. Tapi dia berharap, dia dan Gharal bisa sama-sama belajar untuk menjadikan pernikahan ini sebagai jalan menuju rida Allah. Setelah melihat sendiri bagaimana sikap ketus Gharal terhadapnya, Kia merasa asa itu kian mengabur. “Kita memang tidak saling mencintai, tapi kita bisa belajar. Bagaimanapun juga pernikahan adalah penyempurna setengah agama. Aku ingin kita menjadikan pernikahan ini sebagai sarana beribadah.” Gharal mengacak rambutnya. Dia menatap Kia dengan begitu kesal. “Belajar mencintai? Lo pernah ngaca nggak, sih? Lo pikir gue bisa belajar mencintai cewek jelek kayak lo? Kulit lo item, dekil, badan lo mungil, serba datar, dan muka lo nggak ada cantik-cantiknya. Kita tuh nggak serasi. Jauh banget malah. Jadi jangan harap gue mau belajar mencintai lo. Lihat lo aja gue nggak nafsu.” Kata-kata Gharal meluncur begitu pedas dan menyakiti perasaan Kia. Gharal berbaring di sofa dan memejamkan matanya. Kia masih terpekur dengan segala rasa yang berkecamuk. Setitik air mata jatuh kala ia teringat nasihat ayahnya untuk menjadi istri yang salihah untuk Gharal. Ibunya sudah meninggal lima tahun yang lalu. Ayahnya selalu menceritakan kebaikan dan mulianya hati sang almarhumah dan berharap Kia kelak menjadi istri yang baik seperti almarhumah ibunya. Kia melangkah menuju balkon. Ia sempat melirik pria yang menabraknya dan menyebabkan kaki kirinya cacat hingga ia jalan terpincang. Pria yang pernah membuatnya begitu terpuruk karena tak mudah berdamai dengan kondisinya saat ini. Dia pernah merasa sedemikian takut keluar rumah hanya karena tak nyaman setiap kali orang-orang memandangnya iba atau aneh dengan cara jalannya yang terpincang-pincang. Ia kehilangan kepercayaan diri, minder akut dan depresi. Kasih sayang ayahnya-lah yang pada akhirnya membantunya bisa melalui ujian berat ini. Dia berbesar hati memaafkan Gharal dan bersedia menikah dengannya. Dan kini ia pun harus belajar berbesar hati menghadapi penolakannya. Gharal terpejam. Kia menatap wajah pulas itu dengan menelisik setiap jengkalnya. Mata setajam elang, alis yang simetris, bulu mata yang lentik seperti bulu mata perempuan, bibir yang tipis tapi terlihat penuh dan ranum seperti bibir perempuan, hidung yang mancung, kulit yang halus dan cerah, garis rahang yang tegas serta wajah yang begitu tampan. Kia tahu, penampilan fisiknya begitu jauh dibanding suaminya. Kia menatap nanar pemandangan di depannya. Tak ada sesuatu yang istimewa, hanya helaian dedaunan yang tersibak maruta. Angin malam terasa dingin menyapu wajahnya. Kia bersedekap, mematung di balkon. Kata-kata pedas Gharal kembali terngiang. Dia bahkan sudah biasa mendengar kata-kata itu sejak kecil. Kia adalah korban bullying verbal yang telah belajar banyak untuk tetap bertahan kendati kata-kata yang terlontar sedemikian menyakitkan. Disebut jelek, berkulit gelap, dan bertubuh mungil sudah tak asing lagi di telinganya. Lebih jahat lagi ia dikatakan kurang gizi karena badan kurus mungilnya. Meski keluarganya bukan orang kaya tapi ayahnya tak pernah membiarkan putri semata wayangnya kekurangan suatu apa pun. Ayahnya memiliki warung bakso yang cukup laris pelanggan. Sebelumnya dia berjualan keliling. Buah perjuangannya mengantarkan Kia hingga sampai di posisi sekarang, seorang mahasiswi yang tengah disibukkan dengan skripsi. Kia kembali masuk ke dalam kamar. Hari ini harusnya menjadi hari yang istimewa untuknya. Namun rupanya, kenyataan tak seindah harapan. Kia berbaring di ranjang dan menutupkan selimut ke tubuhnya. Gharal terlihat belingsatan dalam tidurnya. Peluh bercucuran dari dahi. Gharal terbangun dengan deru napas yang berkejaran. Dadanya deg-degan bukan main. Barusan ia mimpi buruk. Kia yang memang tak bisa tidur nyenyak mengerjapkan mata. Dia melirik Gharal yang tengah duduk di sofa dengan napas terengah-engah. “Kamu kenapa? Mimpi buruk?” tanya Kia sembari mengamati wajah Gharal yang terlihat pucat. Kia melirik jam dinding. Jam dua dini hari. Ia turun dari ranjang lalu mendekat ke arah meja rias, menuang segelas air lalu dia mendekat pada Gharal. “Diminum dulu.” Kia menyodorkan segelas air di hadapan Gharal. Gharal menatap gelas itu sesaat lalu meraihnya dengan kasar. Ia meneguknya dalam satu kali tarikan napas. “Sudah membaik?” tanya Kia dengan mengulas senyum. Gharal menajamkan matanya, “Nggak usah sok care. Gue muak lihat lo. Apa pun yang lo lakuin, nggak akan ngasih gue pengaruh apa-apa.” Gharal menekankan kata-katanya. Kia terpaku dan tubuhnya serasa membeku. “Ngapain lo di sini? Pergi dari hadapan gue. Gue muak lihat lo.” Lagi-lagi nada bicara Gharal terdengar begitu sewot. Kia terhenyak. Buru-buru ia bangun dan kembali ke ranjangnya. Hatinya mencelus. Jelas Gharal bukan sosok suami yang dewasa dan bisa membimbingnya. Dia harus banyak mengalah. Gharal melangkah menuju kamar mandi. Terdengar gemericik air mengalir dari kran. Gharal keluar dengan wajah lebih segar. Selanjutnya dia mengambil baju dari lemari dan dengan santainya membuka bajunya. Kia menyaksikan tubuh Gharal yang atletis. Terlihat benar Gharal tipe yang suka berolahraga. Selanjutnya Gharal berganti kemeja, mengambil jaket lalu mengenakannya. Dia menyambar kunci motor sportnya di atas nakas. “Mau ke mana?” tanya Kia dengan tatapan mengikuti langkah Gharal yang berjalan menuju pintu. Gharal tak menjawab apa-apa. Dia menutup pintu keras, membuat Kia terperanjat dan gemetar. Ia pun beristigfar lalu mengambil air wudu. Seperti malam-malam sebelumnya, dia selalu bermunajat di sepertiga malam, mengadukan semua penderitaannya kepada Allah dan berdoa agar Allah senantiasa memberinya kekuatan untuk menjalani semua. ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD