Dua minggu berlalu dengan begitu cepat bagi Anna. Pernikahan ibunya dengan Stephen Ertyson benar-benar dirayakan dengan begitu megah. Hanya saja tertutup dan terkhususkan pada rekan bisnis dan keluarga.
Anna bahkan tidak menikmati acara pernikahan ibunya sendiri waktu itu. Ya, pernikahan tersebut sudah terjadi tiga hari yang lalu. Dan saat ini ibunya sedang pergi berbulan madu ke Paris.
Anna bahkan sempat mencibir ibunya sendiri. Bukannya apa-apa, hanya saja Anna tidak mau memiliki seorang adik. Akan sangat lucu jika di usianya sekarang dia memiliki adik yang lebih cocok menjadi anaknya.
Memikirkan hal tersebut membuat Anna sedikit merasa pusing. Dia terus merapalkan doa saja agar ibunya itu cerdas. Agar jangan sampai kebobolan dan hamil. Dia akan ditertawakan banyak orang nantinya.
Anna kembali menggelengkan kepalanya pelan.
"Untuk apa aku memikirkan ibu terus menerus?!" gerutunya.
Wanita itu kembali fokus pada layar laptopnya. Dia sedang mencari lowongan pekerjaan. Terhitung sudah hampir tiga minggu dia menganggur. Tabungannya bisa habis jika dia tidak dengan segera mendapatkan pekerjaan yang baru.
Kepalanya bisa saja meledak jika seandainya ibunya masih menjanda. Karena ibunya pasti akan terus menuntutnya. Tapi beruntungnya, ibunya itu sudah menikah. Dan Anna sedikit lega, karena itu artinya tidak ada lagi yang suka mendesak serta memaksa dirinya untuk memberikan uang yang di inginkan.
Bukannya pelit pada ibunya sendiri, tapi ibunya suka tidak kira-kira keinginannya. Selalu memaksakan sesuatu yang sebenarnya tidak bisa untuk dicapai. Akhirnya, Anna pasti akan menjual sesuatu untuk dibelikan barang yang diinginkan oleh ibunya. Mungkin, dia bisa mati muda jika itu terus terjadi.
Anna mendesah pelan ketika mendengar suara bel berkali-kali. Dia lantas membawa langkah kakinya menuju pintu. Sebenarnya, Anna sedikit ragu akan siapa yang datang bertamu. Karena teman Anna bisa dihitung pakai jari, hanya beberapa saja. Dan yang tau di mana tempatnya berada hanya Naomi.
Tapi wanita itu tetap penasaran dan membuka pintunya dengan cepat. Hal pertama yang Anna tunjukkan adalah tubuhnya yang mendadak kaku seperti batu. Mulutnya hampir menganga dengan begitu lebar ketika mendapati tamunya adalah Arche.
Pria itu memakai kaos polos berwarna hitam, dengan leather jaket berwarna senada juga. Jika memakai pakaian non formal seperti ini, Arche terlihat lebih muda dari biasanya. Satu kata, yaitu keren.
Ah, Anna segera menepis pikirannya yang mendadak melayang memuji Arche. Dia memutar bola matanya malas ketika wajah pria itu mendekat tepat di depan wajahnya sembari tersenyum miring.
"Bagaimana bisa kau kemari? Siapa yang memberitahumu?!”
"Beginikah caramu menyambut tamu, Anna?" tanya balik pria itu yang mana membuat Anna menjadi kesal.
Ketika Anna hendak menyahuti ucapan Arche, pria itu sudah lebih dulu menerobos masuk ke dalam. Membuat wanita itu kelabakan dan refleks menutup pintu. Dia berlari mengejar Arche yang hampir saja berjalan masuk ke dalam kamarnya.
Dengan cepat Anna merentangkan kedua tangan, menghadang Arche tepat di depan pintu kamarnya. Tatapan keduanya bertemu, tapi Anna dengan segera menendang kaki Arche, membuat pria itu secepat kilat menghindar.
"Jangan berani-berani masuk ke kamarku, tidak sopan!" bentak Anna.
"Sebagai kakak yang baik, aku harus melihat bagaimana keadaan kamar adikku. Adik tiriku," sahut Arche dan Anna sontak mendecih tidak suka.
"Aku bahkan tidak pernah mau menganggapmu sebagai kakakku," balas Anna dengan senyuman remeh ke arah Arche yang terlihat begitu santai.
"Oh, jangan bilang jika kau memiliki perasaan padaku Anna. Jadi, karena itulah kau tidak ingin menganggapku sebagai kakakmu," seru Arche asal menebak.
"Percaya diri sekali kau ini ya? Tidak! Aku tidak memiliki perasaan pada pria sepertimu!" sahut Anna dengan nada suara yang begitu meninggi.
Arche tersenyum, lalu mendekatkan dirinya untuk menghimpit tubuh ramping Anna. Wanita itu sampai mundur sedikit hingga hampir saja dia terjatuh ke belakang, karena pintu kamar Anna tidak benar-benar tertutup dengan rapat.
Bahkan Arche dengan sigap merengkuh pinggang Anna agar wanita itu tidak terjatuh. Pria itu semakin mendekatkan wajahnya hingga bibir mereka saling berhadapan. Tersenggol sedikit saja, pasti kedua bibir itu akan bersentuhan.
"Mulutmu terlalu berani berbicara meninggi padaku, Anna. Kau ingin dihancurkan lagi sampai lemas seperti malam panas kita waktu itu?"
Mendengar pertanyaan tersebut, tubuh Anna menegang. Wajahnya memanas karena terkejut. Dia bahkan kesusahan dalam menelan air liurnya sendiri. Hal itulah yang membuat Arche tersenyum miring.
"Panggil aku kakak dengan sopan mulai sekarang, karena jika tidak, sudah aku pastikan kau akan menggila di atas tubuhku." ucap Arche sembari meremas pinggang Anna.
Setelah itu, Arche melepaskannya begitu saja.
Anna mendumal kesal di dalam hati. Bagaimana bisa dia memanggil Arche dengan sebutan kakak? Kak Arche? Oh, Anna merasa lidahnya bisa kesleo jika dia menuruti kemauan pria itu.
Memuakkan! Pikir Anna kesal.
"Aku kemari hanya untuk memberitahumu satu hal," ujar Arche.
"Apa?! Cepat katakan dan segera pergi dari sini." sahut Anna.
"Kau masih tidak sopan juga padaku? Jangan lupa Anna, aku ini—"
"Kakak tirimu, panggil aku Kak Arche! Memuakkan, kau sudah berkali-kali mengatakannya." sela Anna kesal.
"Wah wah, adik tiriku memang cepat tanggap. Jadilah adik yang manis, dan panggil aku dengan sopan," sahut Arche.
"Baik, Kak Arche!" seru Anna dengan penuh penekanan di setiap katanya.
Mendengar hal itu, Arche langsung berbalik ke ruang tamu. Pria itu duduk di sofa sembari mengeluarkan ponselnya. Sedangkan Anna, dia masih berdiri terpaku menatap Arche yang sekarang menyandang status sebagai kakak tirinya.
"Sifat aslinya benar-benar baru terlihat sekarang!" gerutu Anna kesal.
Diam-diam, Arche juga melirik Anna. Namun, tatapannya datar tanpa ekspresi. Jauh sekali dari sebelumnya.
+++
Selepas dari tempat Anna, Arche memiliki janji temu dengan seseorang. Bisa dibilang, orang yang sudah berjasa untuknya. Seseorang yang bersedia menampungnya beberapa tahun belakangan saat hati dan pikirannya tidak sejalan.
Paman Paxton, satu-satunya orang yang Arche percaya selama ini. Satu-satunya orang yang berani jujur akan masalalu yang sudah terjadi sebelumnya.
Sebuah rahasia besar yang disembunyikan rapat-rapat oleh Stephen Ertyson. Seseorang yang selama ini dia ketahui adalah Ayah kandungnya. Ternyata bukan.
Fakta yang sangat menyedihkan bahwa sebenarnya, Ayah kandungnya sudah tiada. Semua bukti-bukti disingkirkan. Semua saksi mata dibungkam, termasuk media juga.
Arche marah, benci, dan menaruh dendam pada Stephen. Dari awal dia ingin menghancurkan pria itu, namun dia harus menahan diri bertahun-tahun demi keselamatan ibunya.
Ya, fakta kedua yang Arche ketahui dari Paman Paxton adalah, ibu kandungnya masih hidup. Namun keberadaannya entah di mana, sebab saat kejadian itu, ibunya termasuk salah satu saksi mata saat Stephen menghabisi sang Ayah. Menurut info yang Paxton dapat, ibu Arche diasingkan. Berpindah-pindah tempat, sampai tidak ada yang tau di mana jejaknya.
“Bagaimana, Arche? Sudah kau urus semua surat-suratnya?”
Arche mengangguk. “Sudah, tapi tinggal bagaimana caranya mendapatkan tanda tangan dari si tua bangka itu. Dia masih punya asisten yang sangat penurut. Aku tidak bisa gegabah dalam hal ini.”
“Ya, kau benar. Tapi Arche, ada hal penting lainnya, kau masih belum berhenti mencari keberadaan ibumu kan?”
“Tidak akan mungkin berhenti, Paman. Aku akan tetap mencari keberadaan ibuku.”
“Aku mendapatkan info mengenai seseorang yang bisa membantu untuk mencari ibumu.”
“Tidak perlu, Paman. Aku sudah mendapatkan orang untuk mencari keberadaan ibuku. Ya walaupun belum ada hasilnya, tapi aku percaya pasti ibu akan segera ditemukan.”
Paxton lantas menghela napas pelan mendengar balasan dari Arche. Dia sudah menemani Arche lama sekali, namun memang tidak ada hasil sama sekali. Dia juga merasa kasihan pada Arche yang setiap hari harus bersandiwara di hadapan Stephen. Berlagak tidak mengetahui apa pun yang sebenarnya.
“Kenapa kau tidak coba dulu menemui orang ini, Arche? Aku dengar-dengar dia ini mantan seorang agen. Sudah banyak kasus yang dia tangani. Aku yakin dia pasti berhasil membantumu.”
“Tapi—”
“Pikirkan dulu, Arche. Aku akan memberitahumu di mana kau bisa menemuinya.”
Arche nampak berpikir sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja. Cukup lama, sampai akhirnya dia kembali menaruh seluruh atensinya pada Paxton.
“Di mana aku bisa menemuinya?”
Paxton tersenyum tipis, sebab dia yakin sekali jika Arche tertarik dengan sarannya. Memang tidak ada salahnya mencoba, sebab sudah bertahun-tahun Arche menggunakan jasa orang yang sama, tidak ada hasil sama sekali.
“Aku dengar, dia ada di Inggris saat ini. Tepatnya di mana, aku akan segera memberitahumu.”