Siapa laki-laki itu

1451 Words
Di sebuah gedung bertingkat. Tepat di lantai 5. Beberapa orang sedang menunggu kedatangan Brian. Satu orang yang dijuluki komandan. Dan, dia orang yang bekerja dengannya. Berdiri tepat di belakangnya. Dengan pandangan lurus kedepan. Badan tegak, tanpa berbicara sedikitpun. Sementara Brian berjalan dengan santainya mendekati tiga orang laki-laki itu. "Ada apa?" tanya Brian. Pada seorang laki-laki dengan pakaian lengkap komandan pasukan khusus anggota intelijen negara. Kali ini dia mendapatkan tugas dari penelitian negara yang sudah meraup uang cukup banyak untuk mendanai, pencarian bayi laki-laki yang sempat menggemparkan negara 12 tahun yang lalu. "Kamu masih bisa terlihat santai sekarang. Apa kamu lupa tugas kamu? Kamu sudah bawa uangnya 12m Itu hanya modal awal kamu untuk pencarian. Tapi, kamu bisa mendapatkan lebih dari itu." Suara berat dan serak itu tanpa membuat Brian gentar sedikitpun. "Aku tahu akan hal itu. Tapi, aku tidak menggunakan uangnya sama sekali. Jika kamu mau aku mengembalikan. Oke, aku akan balikan semuanya." Brian menarik sudut bibirnya. "Kamu anggota khusus, jangan pernah coba untuk berpikir jika kamu bisa lepas dari keanggotaan kamu ini. Sudah hampir berapa tahun Kita bekerja sama, dan setelah pemerintahan tidak mau ikut campur akan hal itu. Tapi, sekarang mereka sedang menyiapkan sebuah virus baru. Entah apa yang akan mereka lakukan. Hanya satu yang bisa menggantikan mereka kelak." "Aku tahu, yang bisa menghentikan mereka itu hanya mereka sendiri. Pikiran mereka yang ingin selalu menguasai dunia." Brian tertawa sangat keras. "Dan, kamu kasih mau bekerja sama dengan orang seperti itu. Jangan bodoh, kamu bekerja sama dengan iblis berbentuk manusia yang rela menimbulkan manusia lain untuk uji percobaan kalian." umpat kesal Brian. "Aku memang tidak pernah sama sekali ikut campur. Ini masalah uang, mereka akan menjanjikan dengan nilai sangat fantastis. Aku akan mempertimbangkannya nanti." jawab laki-laki itu dengan santainya. Dia menarik sesuatu dari balik lengan jas hitam yang dia kenakan. Sebuah senjata api kecil memutar di jari telunjuknya. Lalu, berhenti tepat di genggaman telapak tangan kanan. Dengan posisi senjata tepat di depan wajah Brian. "Ambil saja uangnya. Aku tidak mau ikut campur lagi." Brian menyingkirkan senjata itu dari wajahnya. "Jadi benar kalau laki-laki itu adalah anak itu?" Brian memukul d**a laki-laki di depannya. Dengan kedua tangannya. "Jangan coba-coba kamu dekati dia. Ingat, dia adalah keponakanku. Jika dia kenapa-napa. Maka akan berurusan denganku. Ingat itu!" geram Brian menunjuk wajah John laki-laki yang saat ini sedang berdebat dengannya. Brian menghenduskan napasnya kesal, membalikkan badannya. Dia sudah beberapa langkah mencoba melangkahkan kakinya. John mengusap dadanya bekas pukulan Brian. Sembari tersenyum sinis. "Apa kamu yakin tidak mau yang itu?" tanya John menyakinkan. "Padahal, ibu kamu sakit. Dia pasti akan butuh biaya sangat banyak. Dia juga pasti akan segera sembuh jika kamu punya banyak uang." Brian terdiam, menghentikan langkahnya. "Apa yang kamu katakan. Aku bisa cari uang sendiri untuk ibuku." John terkekeh kecil. "Baiklah, tapi jika kamu mau uangnya. Aku sudah siapkan. Asalkan kamu bawa anak yang aku maksud. Dan, segera berikan padaku." kata John. Brian hanya diam, tak mau banyak bicara. Dia menghela napasnya. Melangkahkan kakinya pergi meninggalkan John yang masih menatapnya dengan senyum sinisnya. "Kau yakin dia akan segera balik untuk mencari kita." kata John lirih penuh percaya diri. "Lakukan perintah tadi, apa yang aku katakan padamu." John melirik ke belakang. "Baik!" tegas dua orang laki-laki yang ada belakangnya. "Jangan ikut campur lagi. Kota juga harus selidiki tentang dia. Siapa anak atu. Jika sampai dia bohong. Seret dia kesini." kata John, dia menarik sudut bibirnya sinis. "Baik!" "Salah satu dari kalian selidiki siapa laki-laki kecil sama dia. Dan, satu dari kalian. Lakukan rencana yang aku katakan tadi." lanjut John. Dia membalikkan badannya. Menepuk pundak dua dua kali laki-laki di belakangnya. "Lakukan dengan baik!" ucapnya. Dia melangkahkan kakinya pergi meninggalkan dua laki-laki itu. Sementara Brian dia berjalan masuk kembali ke dalam rumahnya. Kedua matanya mengkerut dia terlihat aneh dengan depan rumahnya. Dengan segera ia berjalan mundur, menata halaman depan rumahnya sudah sangat indah dihiasi berbagai bunga. Brian tersenyum tipis. Dia melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumahnya kembali. "Aron... Kamu dimana" tanya Brian. Dia segera berlari menuju ke halaman belakang. "Ada apa?" tanya Aron, yang masih sibuk meletakkan beberapa bunga. Melihat Aron masih ada di sana. Dia menghela napasnya lega. "Untung saja dia bun sampai sini." kata Brian. Dia berjalan mendekati Aron. "Sudah selesai?" tanya Brian. "Belum, kurang dua katanya." ucap Aron. Dia mengangkat sendiri beberapa pot bunga. "Kamu melakukan sendiri. Kamu gak capek?" tanya Brian heran. "Bentar, kamu disini dulu. Aku mau ambil sesuatu." kata Brian. Dia kembali masuk ke dalam rumahnya. Mengambil beberapa cemilan yang ada di dapur. Dan, tak lupa membawakan minuman lagi. Brian kembali lagi dengan beberapa makanan dalam dekapannya. "Makanlah dulu, kita bisa bersantai disini. Setelah melakukan pekerjaan berat. Lebih baik kita santai-santai saja dulu." Brian meletakkan beberapa snack di atas meja. Dan, 4 botol minuman dingin lagi. Minuman yang dia ambil tadi hanya bekas botolnya yang tergeletak di atas tanah. "Tapi, masih kurang dikit lagi selesai." ucap Aron. Dia segera membereskan semuanya. Hanya beberapa menit saja dia sudah selesai melakukan tugasnya. Aron segera mencuci tangannya. Setelah bersih, dia kembali duduk di kursi. "Ini buah. Kamu sudah pernah memakannya kan" tanya Brian memastikan. Aron menganggukan kepalanya, "Aku pernah makan. Beberapa buah saja. Tapi, itu juga tidak setiap hari. Ayahku kalau ke kota hanya satu minggu sekali. Dan, itu menunggu jepitan dari temannya." "Teman? Apa kamu tahu siapa temannya? Apa dia juga tahu tentang kamu?" Aron menggelengkan kepalanya, "Aku tahu dia. Mungkin dia tidak tahu tentang aku. Karena orang tuaku sangat merahasiakan aku. Mereka tidak mau ada yang tahu jika mereka punya anak aku." "Anda dari mana?" tanya Aron. Brian mengerutkan keningnya. Melirik ke arah Aron. Dia teringat perkataan Aron tentang gedung itu. "Aron, aku boleh tanya sama kamu?" "Tanya apa?" "Gimana bisa kamu tahu jika di gedung depan sana ada orang?" tanya Brian, terlihat heran. Dia bahkan mencoba menatap kedepan. Mengamati gedung yang jaraknya lumayan jauh dari tempat sekarang dia duduk. "Kelihatan saja dari sini." ucap Aron. "Kelihatan?" Brian melirik ke arah Aron sekilas. Lalu, kembali menyulitkan matanya. Menatap lebih detail lagi gedung pencakar langit di seberang rumahnya. "Gak bisa melihat apapun dari sini." ucap Brian. "Mereka sudah tidak ada di sana." kata Aron . "Apa kamu tadi juga melihat aku?" "Melihat kamu? Memangnya kamu tadi di sana?" tanya Aron melirik ke arah Brian. Brian tertegun seketika. Sepertinya memang Aron tidak melihatnya. "Enggak! Maksud aku, apa tadi kamu juga melihat aku di dalam rumah. Apa kamu bisa melihat tembus dinding?" kata Brian beralasan. "Nggak! Kau hanya bisa melihat jika tidak ada penghalang. Jika hanya kaca, aku bisa melihatnya." ucap Aron. Pkok! Plok! Pkok! Suara tepuk tangan terdengar nyaring dari tangan Brian. "Hebat, kamu benar-benar luar biasa. Tapi, ingat jangan pernah kamu beritahu siapapun tentang ini semua." kata Brian lirih. "Kenapa?" "Tidak semua orang baik. Dan, jika ada orang asing yang mencarimu atau, kamu tidak kenal dengannya. Jangan di suruh dia masuk. Biarkan dia di luar. Kamu bilang padanya disuruh tunggu di luar. Sampai aku pulang." kata Brian menjelaskan. "Baiklah!" jawab Aron. Brian menghela napasnya. Dia mengingat kembali apa yang dikatakan laki-laki tadi. Mereka tidak akan tinggal diam pasti mereka akan menyelidiki Aron. Dan, sekarang. Aku harus cari bukti jika dia benar ponakan aku. Setidaknya menyelamatkan sementara dari kejaran mereka nantinya. "Minum dulu!" pinta Brian. Dia meraih satu botol air dingin, membuka tutupnya, lalu meneguknya sampai tak tersisa. Merasa sangat lega. Brian membuang botolnya, melemparinya tepat masuk ke dalam tong sampah. "Perjalanan kita masih panjang. Sepertinya aku harus ajarkan kamu menembak." ucap Brian. "Menembak?" tanya Aron memastikan. Aron menganggukan kepalanya. "Iya, menembak." ucap Brian. "Apa kamu tahu?" Aron menggelengkan kepalanya bingung. "Apa itu menembak?" "Nanti kamu juga akan tahu. Sekarang, aku akan siapkan berbagai sasarannya. Dan, besok kita latihan. Aku punya beberapa tembak rakitan di gudang. Besok kita mencarinya sama-sama." "Kenapa aku harus latihan menembak?" "Karena kamu juga harus jaga diri. Dengan kekuatan yang kamu miliki. Mungkin memang kamu tidak perlu menggunakan senjata. Tapi, saat ini kamu belum bisa mengontrolnya. Bisa-bisa orang yang tak bersalah juga akan ikut jadi korban kamu." "Dan, jangan gunakan kekuatan apapun di kota. Itu sangat bahaya. Bisa melukai orang-orang di sekitar kamu." jelas Brian. Aron menganggukan kepalanya mengerti. "Baiklah!" kata Aron penuh semangat. "Kamu juga harus latihan bela diri. Besok, aku akan pergi ke latihan. Aku akan ajak kamu sekalian. Kekuatan yang kamu miliki harus di imbangi bela diri." kata Brian menjelaskan semuanya. "Kenapa kamu sangat baik padaku. Kamu mengajarkanku banyak hal. Bahkan, kamu juga memberi makan. Tempat tinggal. Jika tidak ada kamu. Mungkin aku sudah hidup sendiri. Pergi tanpa ada tujuan." "Tenanglah! Anggap saja aku juga anggota keluarga kamu. Jika nanti kamu keluar ada ornag yang tanya kamu siapa. Jawab jika kamu adalah adikku. Jadi mereka tidak curiga lagi." Brian menepuk pundak Aron. "Masa remaja kamu masih panjang. Aku tidak mau mereka nanti menyakiti kamu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD