"Selesai memberi beberapa pohon bunga. Dan, beberapa sayuran. Aron dan Brian sibuk di kebun belakang rumah Davis. Mereka cangkul tanah dan menanam beberapa pohon di belakang rumahnya. Setelah selesai, mereka segera menanam sayur. Brian dan Aron bergantian mencangkul. Mereka bekerja selama 4 jam di belakang. Bahkan hari sudah menjelang sore. Setelah selesai menanam sayur. Napas Brian sudah tidak sanggup lagi bertahan. Tubuhnya benar-benar sudah sangat capek. Napasnya tersenggal-senggal. Keringat di tubuh Brian sudah membasahi sekujur tubuhnya. Membuat baju yang semula terlihat bersih ini basah dan penuh dengan lumpur.
Sementara Aron berbeda. Tidak ada keringat sama sekali di tubuhnya. Dia masih terlihat sangat. Napasnya bahkan masih teratur. Brian membungkukkan badannya. Kedua telapak tangan memegang lututnya. Sembari mengatur napasnya sejenak. Merasa ada yang aneh dengan Aron. Brian mengangkat kepalanya sedikit, dia menggerakkan kepalanya perlahan. Melirik ke arah Aron yang masih berdiri dengan santainya menatap ke arahnya.
Brian menyulitkan matanya. Mengerjakan kedua matanya berkali-kali.
"Bentar, kenapa aku merasa ada yang aneh?" tanya Brian pada dirinya sendiri. Dia mulai berdiri tegap. Lalu, menghela napasnya berkali-kali. Merasa sudah lega. Brian tersenyum tipis. Berjalan ringan mendekati Aron. Dia menepuk pundaknya satu kali.
"Aron, benar kamu tunggu disini, ya. Aku pergi ambil minum dulu. Kamu mau minuman dingin atau tidak."
"Dingin." kata Aron.
"Kamu tahu? Minuman dingin seperti apa?" tanya Brian.
"Tahu, di rumah ada kulkas. Tempat menyimpan berbagai makanan dan minuman. Aku selalu minum minuman dingin. Ibuk ku sudah menyediakan semuanya di tempat tinggalku." jelas Aron. Dia mulai mengingat ibunya. Pandangan matanya lurus tanpa arah. Lalu, dia tiba-tiba memekakkan kedua matanya, tersenyum tipis. Dia menarik napasnya dalam-dalam. Perlahan membuka kedua matanya kembali.
"Apa kamu ingat orang tua kamu?" tanya Brian memastikan.
Aron menganggukan kepalanya, "Iya, mereka biasanya yang sangat peduli denganku tiba-iba pergi. Tidak mudah aku melupakan mereka semuanya."
Bagian menepuk pundak Aron dua kali. "Tenang, sekarang ada aku disini. Tidak akan ada yang dapat mengganggu lagi." kata Brian.
"Iya, aku sekarang merasa sudah sangat senang. Ada disini, banyak pengetahuan yang aku dapatkan." kata Aron.
"Oke, bentar. Aku ambilkan minuman dulu." Brian segera berjalan masuk ke dalam rumahnya lewat pintu belakang menuju ke dapur. Dia mengambil beberapa minuman dingin di kulkas miliknya. Lalu, membawanya pergi ke kebun belakang milik Brian.
"Aron, aku bawa minuman." teriak Brian. Dia meletakkan beberapa minuman sekaligus. Di atas meja kayu yang ada di belakang kebunnya. Di bagian samping kanan dan kiri ada tempat duduk yang terbuat dari kayu. Biasa Brian duduk di belakang hanya untuk menenangkan pikiran. Atau, bahkan mencari inspirasi baru di kerjaannya.
"Duduk, bentar" kata Brian. Beranjak duduk, dia mengambil satu botol minuman. Membukanya, lalu meneguknya hingga habis tak tersisa.
"Capek sekali!" kata Brian.
"Sama aku juga capek" kata Aron, dia duduk di samping kiri. Mengambil satu botol minuman. Membukanya, dan langsung meneguknya hingga tak tersisa juga.
"Aron, boleh tanya sesuatu?" tanya Brian.
"Tanya apa?" kata Aron.
"Kenapa sama sekali tidak ada keringat di tubuh kamu? Dan, kenapa kenapa kamu masih normal. Padahal kita bekerja disini hampir 4 jam lebih. Dan, kami masih normal seperti remaja yang tidak bekerja sama sekali. Apalagi tubuh kamu kecil harus kerja keras seperti ini." kata Brian merasa sangat curiga dengan Aron. Dia benar manusia atau bukan. Itu kini yang berada di pikiran Brian.
"Iya, aku memang manusia. Memangnya aku apa lagi." kata Aron. Brian menggerakkan kepalanya, menoleh perlahan ke arah Aron. Dia merasa sangat aneh saat melihat sosok Aron berbicara seperti apa yang ada dalam pikirannya.
"Kamu bisa baca pikiranku?: tanya Brian heran.
Aron hanya tersenyum tipis. Tanpa menjawab apa apapun.
"Kamu punya hal yang tak dimiliki orang lain. Tapi, kamu harus jaga diri. Akan banyak sekali orang yang mengincarnya nantinya. Dan, banyak musuh yang akan datang sebagai teman." kata Brian.
Setelah beberapa saat berbincang berdua. Tanpa mereka sadari. Ada seseorang yang mengintai mereka dari kejauhan. Sementara Aron, dia merasa ada yang aneh. Aron mengangkat kepalanya. Pandangan matanya tertuju pada sebuah gedung yang menjulang lagi. Agak jauh dari rumahnya. Mungkin hanya beberapa meter dari seberang rumahnya.
"Ada apa?" tanya Brian melirik ke arah Aron.
"Gak ada apa-apa," jawab Aron.
"Kamu mau lihat gedung itu?" tanya Brian menunjuk tepat me arah gedung.
"Apa di balik gedung itu kita bisa sampai kesini?" tanya Aron.
"Bisa, menggunakan teropong."
"Teropong?"
"Apa itu?" balik tanya Aron.
"Kita bisa melihat siapapun dari kejauhan menggunakan teropong itu. Lagian, hanya dalam.jarak tertentu saja." jelas Brian.
"Memangnya kenapa?" tanya Brian.
Aron menghela napasnya. "Kita lanjut saja, nanti aku kasih tahu." Aron bangkit dari duduknya.
"Makasih minumannya." kata Aron.
Brian memincingkan salah satu matanya bingung. "Kamu bisa ucapkan terima kasih juga." tanya Brian terkekeh kecil mendengarnya.
"Jangan tertawa, aku diajarkan seperti itu oleh ibuku. Dia bilang siapapun yang memberi kamu. Harus mengucapkan terima kasih." kata Aron.
"Baiklah! Ibu jamu berhasil mengajarkan kebaikan padamu." Brian menganggukan kepalanya pelan. "Dan, satu lagi. Aku capek, kita sudah saja kanannya. Besok lagi. Hanya tinggal pohon bunga saja." kata Brian.
"Aku yang menggali tanah. Kamu yang tanam nantinya." jawab Aron.
"Kamu yakin?" tanya Brian.
Aron menganggukan kepalanya. Dia tersenyum tipis. Dengan segera meraih kayu yang tergeletak di tanah, dia langsung menggali tanah di pinggiran pagar. Menanam beberapa bunga yang dia beli. Setelah semuanya selesai dalam 1 jam. Ada beberapa bunga kecil yang harus di tanam di pot bunga. Mereka terlihat sangat bahagia. Melempari satu sama lain tanah liat yang sedikit basah.
"Aku nyalakan kran lebih dulu." kata Brian. Di Segera membersihkan tangannya. Di saat masih ada satu bunga lagi yang harus di tanam di pot bunga.
"Kamu mau kemana?" tanya Aron.
"Aku ke dalam dulu, kamu lanjutkan aja lagi. " kata Brian.
"Baiklah!"
"Oh, ya! Sekalian kamu tata letak bunga itu biar bagus. Kamu bisa ketikan di depan rumah. Atau, beberapa sebagian di belakang. Besok aku akan beli rumput hijau agar lebih nyaman kita di rumah. Dengan nuansa sejuk."
Aron hanya tersenyum dan menganggukan kepalanya berkali-kali.
Sementara Brian dia segera berlari masuk ke kamarnya. Dia mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja ruang tamu. Kedua matanya melebar saat melihat beberapa panggilan dari komandannya.
"Sialan, apa lagi yang orang ini inginkan?" geram Brian. Terpaksa dia harus menghubungi komandannya.
"Pkok.. Plok... Plokk...."
"Hebat sekali, hebat..." segara tepuk tangan itu begitu lantang dan keras, hingga berdengung telat di telinganya. Brian menjauhkan ponselnya dari telinganya lebih dulu.
"Gimana bisa kamu dapat laki-laki itu. Kamu mulai berani berbohong padaku. Sekarang temui aku di gedung samping rumah kamu. Jika tidak, aku akan membuat rumah kamu jadi abu." suara yang begitu lantang dan keras itu selalu mengancamnya. Brian memainkan bibirnya, menggigit bibirnya. Mencoba berpikir sejenak.
"Ada apa dengan saudaraku?" tanya Brian.
"Saudara? Darimana kamu bisa mendapatkan saudara itu? Hah... Jangan pura-pura lagi sekarang."
"Aku tidak pura-pura. Dia memang saudaraku, dan ada saudara wanita yang memang datang ke rumahku menitipkan anaknya. Ya, sudah aku terpaksa harus membawa dia ke rumah. Selama satu bulan. Setelah itu, dia akan pergi." jelas Brian tanpa rasa takut sama sekali.
"Baiklah, tapi sekarang cepat datang kemari." kata laki-laki itu, langsung menutup telponnya. Tanpa menunggu jawaban Iya atau tidak dari Brian.
Brian mencengkeram sangat erat ponselnya. "Arrggg.... "
"Kurang ajar. Aku tidak akan tinggal diam. Gimana bisa dia tahu. Apa..." Brian terdiam sejenak, dia berlari ke belakang rumah, mengintip Aron dari balik pintu.
"Jangan-jangan anak itu bisa melihat sesuatu dari balik gedung. Sepertinya dia punya pandangan jarak jauh. Dan, dia juga bisa baca pikiranku. Kekuatan apa sebenarnya yang dia miliki?" tanya Brian merasa sangat heran.
Brian menghela napasnya. Dia segera berjalan menjauh dari pintu belakang. Tanpa berbicara dengan Aron. Brian segera meraih jaket kulit miliknya. Berjalan keluar dari rumahnya. Berjalan sembari kedua tangan memakai jaketnya.