"Aku boleh keluar sebentar. Aku mau pergi jalan-jalan di sekitar rumah.." kata Aron. Dia yang sudah siap dengan baju rapi. Sementara Brian masih di dalam kamar mandi belum juga selesai dari tadi.
"Apa kamu tahu jalannya?" tanya Brian dari balik kamar mandi.
"Aku tahu, nanti jika memang aku nyasar. Kamu bisa cari aku." kata Aron, tersenyum simpul.
"Baiklah, pergilah. Tapi ingat apa yang aku katakan. Jangan pernah lagi mengeluarkan kekuatan kamu di kota. Jangan sampai ada yang tahu tentang dirimu." Brian mengeraskan suaranya. Sembari terus mandi sedari tadi. "Tapi, kamu beneran sudah mandi kan?" tanya Brian lagi.
"Sudah, dong. Aku sudah mandi tadi. Setelah mandi, aku berniat untuk pergi." kata Aron.
"Hati-hati! Ingat apa yang pernah aku katakan padamu. Nanti, setelah aku selesai mandi. Aku akan mencarimu." kata Brian.
"Baiklah!" Aron dengan penuh semangat. Dia segera melangkahkan kakinya keluar dari rumah Brian. Dia menghentikan langkahnya tepat di depan rumah. Dia mereka napasnya lega. Sembari merentangkan kedua tangannya. Seolah alam menyambut kebebasan dirinya. Aron memejamkan kedua matanya beberapa detik.
"Akhirnya, aku bisa jalan-jalan keluar." kata Aron membuka matanya. Dia segera berjalan pergi menjauh dari rumah Brian. Aron melangkah dengan santainya pandangan matanya berkeliling melihat sekitarnya. Banyak pohon-pohon besar di pinggir jalan. Bahkan banyak sekali kendaraan lalu lalang melintas di sampingnya. Aron merasa ada yang aneh dengan dirinya.
Aron menghentikan langkahnya. Dia melirik sekelilingnya. Dia merasa ada orang saat ini sedang mengikutinya. Merasa tidak terlalu peduli akan hal itu. Aron melangkahkan kakinya, pergi lebih jauh lagi menuju ke sebuah taman tepat di pusat kota. Di sana banyak sekali anak-anak remaja seumurannya sedang bermain bersama.
"Eh,. Sana pergi, kamu itu monsters jangan mendekatiku. Kita semua tidak mengenalnya. Pergi sana!" beberapa gerombolan anak remaja sedang ingin memusuhi salah satu wanita seusia nya. Mereka terus kenghinanha, bahkan sampai wanita itu menundukkan kepalanya takut.
"Aku bukan monster." ucap wanita itu.
"Pergi sana, lagian kita tidak mau berteman dengannya. Dasar gak punya ibu." pekik salah satu remaja laki-laki.
Aron melangkahkan kakinya mendekat. Dia mencoba memisahkan mereka. Pandangan matanya mulai menajam. Saat salah satu dari anak remaja itu mendorong wanita itu dengan kakinya. Aron mencari batu di sampingnya. Dia melemparinya dengan batu dalam genggamannya.
"Hey.. Jangan ganggu dia." tempat Aron.
Beberapa anak remaja itu menoleh menatap ke arahnya. Merek menarik sudut bibirnya sinis. "Kamu berani dengan saya? Kamu yakin, jika kamu mau melawan saya."
"Kenapa tidak berani, apalagi anak kecil seperti kalian semua. Hanya semut bagiku." pekik Aron.
"Hahahaha.." mereka semua tertawa bersamaan.
"Apa katamu, jangan sok dewasa. Lagian tinggi kamu hampir sama denganku. Dan, kamu lihatlah. Apa diri kamu sudah kuat sampai kamu berani menantangku?" tanya Salah satu dari mereka.
"Memangnya menantang seseorang harus kuat. Kamu bisa lakukan saja jika kamu bisa mengalahkanku." kata Aron merendahkan ucapannya. Dia tersenyum sinis, penuh percaya diri.
Salah satu anak remaja itu terlihat sangat geram. Anak remaja di belakangnya. mengambil balok kayu, memberikan pada pemimpinnya. Seorang remaja itu ingin sekali memukul wajah wanita kecil yang saat ini sedang ketakutan. Tetapi dengan cepat, Aron memeluknya membiarkan tubuhnya menjadi sasaran pukulan mereka.
Namun anehnya, Aron sama selai tidak merasakan sakit. Dia hanya tersenyum memegang pipi wanita remaja itu. "Kamu tidak apa-apa?" tanya Aron.
"Sudah lepaskan aku!" Wanita itu terkejut, dia mendorong tubuh Aron menjauh darinya. Hingga terjatuh ke tanah.
"Aku tidak butuh bantuan kamu." pekik wanita itu.
Semenatara beberapa orang yang menunggunya. Mereka semua menatap ke arah Aron. Pandangan mata mereka terkejut dan takut saat melihat darah segar keluar menembus punggung Aron. Mereka menelan ludahnya bersamaan, kedua mata mereka melebar sempurna. Jemari tangan mereka mulai gemetar takut saat melihat luka Aron. Mereka berjalan mundur perlahan dengan sangat hati-hati.
"Lebih baik kita pergi saja." ucap Salah satu dari mereka.
"Hitungan sampai tidak kita lari."
"Baiklah!"
"Satu.. Dua.. Tiga.." mereka semua berlari terbirit-nurut. Semenatara Aron masih saja duduk di tanah menatap ke arah wanita itu aneh. Dia menguntupkan bibirnya. Merasa jika wanita itu jahat baginya.
"Kenapa kamu mendorongku?" tanya Aron.
"Jangan melindungiku. Aku tidak mau ada yang melindungi. Aku tidak mau ada yang terluka karena ku. Biarkan aku sendiri yang terluka." ucap wanita itu, terus menangis sedari tadi.
"Kenapa kamu bilang seperti itu?" tanya Aron. Dia beranjak berdiri. Berjalan perlahan penuh ragu mendekati wanita yang sepertinya dia juga seusianya.
"Aku tidak mau kamu terluka juga karenaku." ucap wanita itu. Dia melangkah mundur ke belakang saat Aron berusaha mendekatinya.
"Tenanglah! Aku baik-baik saja. Lagian, kenapa kamu takut." ucap Aron, menarik tangan wanita itu.
"Berhenti, jangan menghindar lagi dariku. Aku tidak seperti mereka. Aku juga tidak akan menghinamu." kata Aron, mencoba untuk meyakinkannya.
"Tidak! Kata ayahku, aku tidak boleh percaya dengan siapapun. Aku juga tidak boleh tunduk pada siapapun. Aku juga tidak boleh, jika bermain dengan orang sembarangan." kata wanita itu.
"Oke, baiklah! Tapi, nama kamu siapa?" tanya Aron.
"Aku Felly." ucap Melly gemetar.
"Aku Aron, kamu jangan takut lagi. Karena aku tidak seperti mereka. Kamu tenang saja. Tidak akan ada yang melukaimu." ucap Aron penuh percaya diri.
"Apa kamu tidak anggap aku aneh?" tanya Felly.
"Aneh? Memangnya kamu aneh kenapa?" tanya Aron penasaran.
"Aku juga tidak tahu, karena mataku berbeda dari mereka." kata Felly, dia memalingkan wajahnya. Menghindari tatapan dari Aron.
"Tidak ada yang aneh pada diri kamu. Mungkin mereka yang menghinaku itu aneh." kata Aron sembari tertawa kecil. Felly, tersenyum tipis. Dia mulai merasa jika Aron itu baik tidak sama dengan mereka.
Aron menatap kedua mata Felly. "Mata kamu sangat cantik. Kenapa mereka tidak suka. Lihatlah, mata yang indah. Berwarna coklat, dengan bola mata hitam yang kecil. Itu, sangat bagus." kata Aron. Mencoba tersenyum ramah di depan Felly. Aron seketika tertegun, saat melihat perasaan terpendam Felly yang memenuhi pikirannya.
"Kamu jangan bunuh mereka." kata Aron.
Felly, mengerutkan keningnya. Dia memicingkan salah satu matanya bingung.
"Kamu bisa tahu apa yang ada dalam pikiranku?" tanya Felly.
"Tidak, Aku hanya melihat apa yang ada di pikiran kamu." kata Aron santainya.
"Apa kamu sama sepertiku?" tanya Felly.
Aron mengerutkan kedua alisnya. "Maksud kamu apa?" tanya Aron.
"Em.. Lupakan saja!" kata Felly. Dia tersenyum, mengangkat kedua tangannya tepat di depan dadanya. Mengibaskan kedua tangannya. Lalu, melangkah beberapa langkah ke belakang.
"Maafkan aku!" kata Felly, melihat punggung Aron yang berdarah.
"Tidak, ini tidak sakit."
Felly menggelengkan kepalanya. "Ini pasti sakit." ucapnya. Dia menarik tangan Aron.
"Apa kamu mau ke rumahku. Rumahku dekat dari sini. Nanti, biar ayahku yang mengobati lukamu." kata Felly.
"Ikut aku sebentar!" Felly, menarik tangan Aron untuk pergi mengikutinya. Mereka terus berjalan masuk ke dalam gang kecil.
"Kita kemana."
"Kerumahku!" kata Felly. Hingga langkah mereka berhenti tepat di sebuah rumah kecil yang terletak di belakang gantungan besar di depannya. Rumah yang sangat tersembunyi. Masuk ke dalam gang kecil yang sama sekali tidak bisa dilalui oleh kendaraan.
Kelopak mata Aron terbuka lebar. Dia melihat sosok laki-laki seumuran dengan Brian sedang bekerja di luar. Membersihkan halaman rumahnya.
"Ayah.." panggil Felly.