Wanita itu lagi

1528 Words
Brian menyulitkan matanya. Menggerakkan kepalanya, melihat wanita yang sudah berdiri di sampingnya. Helaan napas kesal terdengar begitu keras. "Kamu?" ucap Brian. Dia memicingkan matanya curiga. Menatap detak dari ujung kaki sampai ujung kepalanya. Wanita itu tidak peduli dengan Brian. Pandangan matanya menatap kedepan. Fokus melihat apa yang terjadi tadi. "Kenapa kamu mengikutinya?" tanya Brian. "Aaah..." Wanita itu mengibarkan tangannya. Tak peduli. Dia berjalan melangkah ke depan. "Eh.. Bukannya kamu Ella, kan. Siapa sebenarnya kamu?" Brian berjalan mengikuti wanita itu. Selama beberapa detik Tidak ada jawaban dari wanita itu. Brian menarik tangannya kasar. Hingga tubuh wanita itu terpental ke belakang. Kedua mata mereka seketika saling tertuju satu sama lain. "Apa yang kamu lakukan." geram Ella. Brian mendekatkan wajahnya semakin dekat. Tatapan mata itu mulai menajam. Kobaran api kemarahan menyala-nyala di matanya. "Harusnya aku yang tanya padamu." pekik Brian. "Kenapa kamu mengikutinya? Apa tujuanmu?" "Jadi, kemarin kamu kerja sama dengan Jack untuk menjebak akh keluar. Pintar sekali, kita kebetulan ketemu lagi. Dan, kamu mau di ajak makan." Brian melangkah pelan memutar wanita itu. Dengan pandangan mata siap untuk melayangkan sejuta pertanyaan untuknya. "Tapi, anehnya kenapa kamu mau makan malam di luar tidak di rumah. Dan, satu lagi kenapa kamu tidak meminta aku untuk menjemputmu di rumah? Dan, kenapa aku tidak boleh tau nomor kamu?" Brian mulai menginterogasi wanita di depannya. Dia berhenti tepat di depan Ella lagi. Kedua tangan mencengkeram lengan Ella. Menatapnya lekat-lekat. "Apa yang kamu katakan," tanya Ella. "Tidak usah pura-pura lagi sekarang." pekik Brian. Wanita itu masih saja bersikap polos. Wanita dengan wajah cantik dan pandai membual pada musuhnya. "Apa yang kamu bicarakan aku tidak tau semuanya." Ella mencoba menarik tangan Brian. Tapi cengkeraman semakin kuat. Membuatnya tak bisa berkutik sama sekali. "Aku tahu, apa kamu sudah merencanakan semuanya. Di mall, kamu tiba-tiba menghilang bersama dua pembunuh itu." "Ada dua kemungkinan, kamu bisa akrab dengannya. Kamu salah satu dari mereka. Atau, kamu orang yang memang ramah sama semua orang." Brian semakin mendekatkan wajahnya. Hembusan napas mereka saling beradu satu sama lain. Ella hanya terdiam. Wanita itu tidak punya rasa takut sama sekali terbesit dalam pikirannya . Bahkan dia membalas tatapan Brian. "Tetapi, kedua sama sekali tidak cocok pada dirinya. Dan, aku yakin jika kamu salah satu dari mereka." Brian merendahkan nada suaranya. Ella menendang bagian sensitif Brian. Dengan cepat, Brian menangkisnya dengan kakinya. Kecepatan sendirinya begitu tajam. Feelingnya begitu kuat. Dia bisa membaca gerakan musuhnya dnegan baik. Tanpa harus melihatnya lebih duku. "Jangan coba-coba mengancam diriku." Brian mengunci kedua kaki Ella dengan kaki kirinya. Jika dilihat dari jauh. Mereka saling berpelukan. Brian mengikat kedua tangannya sangat erat. "Apa yang kamu katakan aku tidak paham Kamu mungkin salah orang." kata Ella, memutar matanya. "Atau, mungkin saudara kembarku?" ucap Ella. Melayangkan senyuman tipis di bibirnya. "Salah orang katamu. Jelas-jelas kamu ketangkap basah mengikuti dari rumah. Gimana bisa kamu tahu rumahku. Jika kamu tidak menyelidiki tentang aku." Brian mengeraskan suaranya. "Jika kamu mau sedikit main bersih. Jangan terlalu bodoh. Dan, gegabah. Kamu sama bodohnya dengan bos kamu." pekik Brian. Dia meraih tangan Ella kasar. Menyeretnya untuk membawanya ke rumah. Dia bisa mengikat dan melanjutkan berbagai pertanyaan padanya. "Lepaskan aku!" Ella menatapnya tajam. Menguntupkan bibirnya penuh kebencian. "Lepaskan? Katamu?" Brian menarik sudut bibirnya sinis. "Haha.. Tidak akan aku lepaskan. Meskipun kamu merengek sekalipun di depanmu." ucapnya kesal. " Atau, mungkin kamu kau buka baju sekalian di depanku. Kau juga tidak akan melepaskan kamu. Wanita seperti kamu. Tidak pantas untuk di kasihani." Brian semakin menariknya kasar. Untuk kembali menemui Aron. Sementara Aron masih berdiri sembari menatap kedua tangannya yang tampak begitu aneh. Dia merasakan kekuatan itu mengalir dan mulai muncul di tangannya. Wajah laki-laki tampak kebingungan. Aron mengangkat kepalanya. Dia mencoba untuk mengangkat tangannya. Mendorong ke atas kedua telapak tangannya. Tetap saja Tidak terjadi apa-apa. "Kekuatan itu hanya muncul sekali saja?" tanya Aron heran. Doa mengamati kedua tangannya. "Ini luar biasa. Bagaimana bisa ini terjadi." kata Aron. Dia menekankan kedua matanya. Meninggalkan kepalanya perlahan. Dia mengumpulkan semua energi yang ada di sekitarnya. Terasa putaran negeri itu mengelilingi tubuhnya. Sebuah angin kecil yang berhembus mengelilinginya. Berkumpul dalam satu pusat. Di tangan Aron. Da , sekarang ibunya. Aron mendorong kedua tangannya kedepan. Dan, Blam.. Sesuatu seketika menghantam dinding yang setengah berdiri di depannya. Aron tersenyum tipis. Dia tak percaya dengan dirinya. Kedua matanya menatap kagum dengan telapak tangannya. Dia masih belum bisa percaya dengan apa yang terjadi. "Ini bukan mimpi, kan?" tanya Aron penasaran. Dia membolak balikkan kedua tangannya. Terus mencari tahu bagaimana bisa dirinya menghancurkan pohon Brian menarik kasar wanita itu. Sampai tepat di depan rumah Aron. Dia melemparkan tubuhnya kasar hingga terjatuh di teras rumah Aron. Bugh! "Shiit." desis kesal wanita itu. Dia melirik tajam wajah Brian. Sambil menepuk-nepuk kedua tangannya. Meski sedikit sakit di lengan tangannya. Dia yakin karena cengkraman kuat Brian yang hampir memutuskan tangannya. Aron menatap ke arah Brian di teras rumahnya. Menautkan kedua alisnya. Menatap siapa yang datang dengannya. Aron segera berlari menuju ke teras. Berdiri tepat di samping aron sembari menepuk pundaknya dia kali. "Siapa dia." kata Aron. Mengamati wanita cantik yang ada depannya. "Kamu mau apa sekarang." tanya Brian. "Katakan!" pekiknya. "Cepat katakan!" "Apa kamu bisu?" "Atau, aku harus memaksamu untuk mengatakan sebenarnya disini?" Brian semakin kesal setelah kemarin sempat mengujinya baik dan cantik. Seraya Brian menarik kembali ucapannya. Dia menatap wajah Ella terlihat sangat ilfil. "Apa yang harus aku katakan?" Tanya lama mengeraskan suaranya. "Aku tidak tahu apa yang kamu maksud." Ella mengeraskan suaranya. "Sialan! Kenapa mereka malah memojokkanku. Bisa mati aku disini." saut Alan. Seketika kedua mata Ella mengkerut. Dia tak percaya, kenapa bisa laki-laki remaja itu bisa tau, Apa yang ada di pikirannya. Ella menatap ke arah Aron. Dia mencoba untuk tetap santai. Melihat bagaimana jauh kemampuan laki-laki itu. Sampai banyak sekali orang yang mengincarnya. "Kamu jangan berbohong lagi. Jangan mengatakan apa yang bukan kemauan pikiranmu." ucap Aron. "Maksud kamu apa?" "Hati dan pikiranmu mengatakan hal yang berbeda." Brian memegang lengan Aron. "Apa dia kelumpuhan orang yang bawa kamu?" tanya Brian pada Aron. Aron terdiam sesaat. Dia mengamati wanita itu. Sepertinya tidak asing baginya. Kedua mata itu tak mau berpaling dari wajah cantik Ella. Bukan karena kagum Tapi, dia melihat gerak geriknya. Dan, mencoba mengingat apa lagi Sepertinya dia pernah melihat dia. Tapi dimana? "Sudahlah! Dia tidak pernah melihatku." ucap Ella. "Diam!" pekik Brian. "Aku kira kamu baik, ternyata jamu musuh dalam selimut." "Bentar!" Aron mengangkat tangannya. Memberi tahu Brian untuk diam sebentar. Dia melangkah mendekat. Menyulitkan matanya. Melihat wajahnya lebih dekat lagi. "Aku tahu dia" ucap Aron. Semua kata tertuju padanya. Mereka membulatkan kedua matanya bersamaan. "Kamu tahu dia?" "Kamu tahu aku?" mereka berdua bicara bersamaan. "Kenapa kalian jadi kompak?" tanya Aron. Menatap ke arah Brian dan Ella bergantian. "Sebenarnya dia yang hampir nembak kamu. Dia juga yang pernah bersembunyi di balik gedung. Menggunakan tembak panjang." "Sniper?" Brian menoleh cepat ke arah Ella. Wanita itu seketika memalingkan wajahnya. Antara malu dan takut jika ketahuan. "Jadi, kamu sama halnya dengan pembunuh bayaran yang pernah mengejarnya di mall. Hanya saja mereka di jalan. Kamu memantau musuh dari jauh." Brian menarik sudut bibirnya sini. Aron melangkahkan kakinya mundur. Berdiri tepat di samping Brian. "pertemuan kita. Apa itu semua rencana kamu. Dan, Jack yang memintaku untuk melakukan semuanya?" tanya Brian. Dia mendekati Ella. Ella menghela nafasnya. Dia beranjak berdiri. Dengan wajah tampak sangat kesal terus disudutkan. "Iya, aku memang pembunuh bayaran. Tapi, ingat. Jangan bilang ke siapapun jika pekerjaanku adakah sniper. Bagiku itu adalah pantangan. Tidak ada uang boleh tahu siapa aku sesungguhnya." "Biar musuh tidak bisa mendeteksi siapa sniper yang mencoba untuk membunuhnya. Karena setiap sniper yang suka pamer dengan keahliannya. Mereka duluan yang akan dibunuh oleh musuhnya." jelas Brian memotong pembicaraan Ella. "Iya, benar yang kamu katakan. Dan, Sekarang. Aku tidak tahu lagi mau gimana. jika kalian mau menghukumku atas semua kesalahan silahkan. Aku melakukannya karena kerja." ucap Ella. Dia menghasilkan salah satu matanya. Dengan kedipan genit menggoda Brian. Ella mendekati Brian, berbisik pelan padanya. "Pekerjaan kamu dan aku sama. Tapi, misi yang berbeda. Aku hanya membunuh. Dan, gajiku tidak seberapa jika sampai aku ketahuan oleh polisi. Tetapi, berbeda dengan kamu. Melakukan misi rahasia yang pastinya banyak keuntungannya." Ella menepuk d**a Brian. Dengan senyum tipis, terlihat sangat licik. "Apa yang kamu katakan?" tanya Brian. "Kalian teruskan saja bicaranya. Aku mau masuk ke dalam lebih dulu." ucap Aron. Tak mau tahu urusan mereka. Dia segera melangkahkan kakinya pergi meninggalkan mereka berdua yang terus berdebat tiada hentinya. Brian dan Ella saling menatap. Lalu bersamaan menatap ke arah Aron yang berjalan melintas tepat di tengah-tengah mereka. Dia berjalan mendekati pintu. Membuka pintunya sangat lama. "Karena kamu sudah sampai disini. Maka kamu tidak akan aku biarkan pergi. Kamu harus tetap berada disisiku. Wanita licik seperti kamu. Tidak bisa dipercaya lagi." "Kamu pikir aku akan membocorkan rahasiamu?" kata Ella kesal. Brian mengulurkan tangannya. "Mana ponsel kamu, mana laptop kamu. Ambil semuanya. Dan, berikan padaku." Ella memicingkan matanya. Dia menghembuskan napasnya kesal. "Apa-apaan kamu. Kamu mah merampokku?" "Aku akan kembalikan jika sudah waktunya. Aku yakin kamu disini untuk kata-kata. Selagi kamu bersama denganku. Kamu tidak boleh menghubungi siapapun. Ingat itu! Cepat berikan sekarang." pekik Brian. "Iya, iya.." Ella terpaksa mengambil ponselnya di dalam saku jaketnya. Ikhlas tak ikhlas dia harus memberikan itu pada Brian. Meski sedikit tak rela dan ragu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD