Di borgol

2003 Words
"Ingat, jangan salah gunakan ponselku. Atau aku akan beri kamu pelajaran nantinya." ucap Ella mengingatkan. Dia menghela napasnya kesal Memainkan bibirnya, tatapan mata itu melirik ke arah ponsel yang masih dalam genggaman Brian. Kedua tangan dilipat di atas dadanya. Brian memasukan ponselnya ke dalam saku celananya. Sialan! Ini semua gara-gara remaja itu. Jika dia tidak bicara iso dalam mataku tidak mungkin aku seperti ini. "Kenapa kamu diam? Kamu menyesal?" tanya Brian. Menangis salah satu alisnya keatas. Dengan tatapan mata sedikit menggoda. "Jangan diam sana. Ambil Semua barang-barang kamu di dalam kon dan, sekarang kamu akan jadi bagian dari tim. Tidak boleh membawa ponsel sama sekali. Pria harus minta maaf pada semua orang. Jadi presiden juga terasa sangat menegangkan Wajahnya terlihat pucat pasi. "Cepat jalan, kembali ke mobil kamu." pekik Brian. "Iya, bawel banget sih!" kesal Ella. Dia menghentakkan kedua kakinya kesal, melirik tajam ke arah Brian. Menarik sudut bibirnya, sembari mencibir pelan. "Dasar nyebelin. Aku akan balas nanti. Tunggu saja saatnya." Terpaksa dia berjalan turun kembali dari beberapa anak tangga kayu. Mungkin hanya sekitar 3 anak tangga yang harus dilewati untuk turun dari rumah Aron. Dia memutar matanya malas. Berjalan dengan santainya kedua tangan masih dilipat di atas dadanya. Ella menarik napasnya dalam-dalam, lalu mengeluarkan kasar dari hidungnya. "Apa yang sebenarnya kamu inginkan. Apa dia sengaja menyandraku sekarang. Enak saja, seorang lembutnya bayaran seperti aku. Ini akan menguntungkan." Ella tertawa sangat keras dalam hatinya. "Cepat jalan, jangan bengong." umpat kesal Ella. "Iya,.." jawabnya sinis. Ella mencoba untuk melawan. Tubuh sedikit melayang memutar kepala ke bawah. Dia memutarkan kakinya ke belakang. Sebuah tendangan yang tepat mengincar kepala Arga. tetapi, dengan cepat, Arga menepisnya dengan tangannya. Dia membalas tendangan itu mengenai kaki Ella. Brian mengunci kaki Ella dengan salah satu kakinya. Membuatnya tak bisa berkutik. "Arg.. " mereka terus menahan sakit ya. "Kenapa kamu melakukan hal pergi itu." tanya Brian. Ella mengangkat kepalanya. Rahangnya mulai menegang. Ia menggertakan giginya. Menahan emosi yang ingin meledak-ledak dalam tubuhnya. Bola mata itu memerah menahan amarahnya. Wajah yang semula datar. Kini terlihat lebih garang. Kedua tangan Ella mengepak sangat erat. "Apa yang kamu pikirkan." kesal Brian. "Aku bukan budakmu." umpat kesal Ella. Mendekatkan wajahnya. Sembari menunjuk d**a Brian. "Kita itu sama. Jangan pernah kamu membendakannajtara diriku dan dirimu, Brian. Kamu sama saja seperti aku. Cuma beda tugas. Jadi jangan semena-mena. Kamu seperti orang asing." "Aku tidak sama seperti kamu. Pembunuh tetap pembunuh. Bahkan mereka tidak kandang siapapun yang di tubuhnya. Entah itu orang baik atau jahat Jika tugasnya untuk membunuh. Maka berakhir sudah riwayatku untuk dikatakan sebagai orang baik." Jelas Brian. Dia meraih pergelangan tangan Ella. Mencengkeramnya sangat erat. "Ingat, pembunuh bayaran. Setidaknya harus bisa pilih-pilih tugas. Jangan anak kecil juga kamu incar. Punya otak tidak? Dan, apakah hatimu juga masih ada?" Brian mendekatkan wajahnya, hanya berjarak 3 telunjuk tangannya. Wajah itu tampak pucat pasi. Kedua napas mereka saling beradu satu sama lain Tatapan mata mereka saling menajam. Brian masih mencengkeram sangat erat pergelangan tangan Ella. Ella terus berusaha menarik tangannya. "Lepaskan aku!" "Tidak! Aku tidak akan biarkan kamu pergi." kata Brian. Dia mengeluarkan borgol di belakang punggungnya. Langsung memakaikan ke pergelangan tangan Ella. Dan, memakaikan di tangan kirinya. "Apa kamu gila!" umpat kasar Ella. Dia mencoba sekuat tenaga menarik tangannya. Tetapi, semua percuma kekuatan Brian lebih darinya. "Shiit... Arga. Kepalan, semalam kamu. Apa yang kamu lakukan.. Eh.. Jangan gila, dasar gak waras. Lepaskan aku!" Ella terus menarik tangannya dari cengkeraman David. Tidak kunjung lepas. Brian semakin erat mencengkram tangannya. Sepertinya dia mau merontokkan semua tulangnya. "Aku tidak akan biarkan kamu lolos." ucap Brian. Dia berhasil memborgol tangan wanita itu dengan tangannya. Membiarkan dia untuk terus mengumpat kesal padanya. Sengaja Brian agar bisa terus mengawasi Apa yang dilakukan. Wanita sangat berbahaya. Jika sampai dia membocorkan tempat ini. Dan, beberapa penemuan yang ditemukan nantinya pada Jack. Brian mengerutkan keningnya sangat dalam. Saat dia melihat jelas. Ella mencoba terus membukanya sebisa mungkin. Ella menggigit borgol itu. Seketika membuat Brian terkekeh kecil melihatnya. "Apa yang kamu lakukan?" tanya Brian. Dia tak hentinya terus tertawa. "Apa mau gigi kamu semua rontok?" tanya Brian. "Udah, sekarang ayo kita pergi." Brian berjalan lebih dulu. Ella yang semula masih terdiam melamun memikirkan cara untuk segera kembali. Tangannya ikut tertarik saat brian berjalan. "Eh.. Berhenti! Sakit, tahu!" umpat kesal Ella. "Cepat jalan. Ambil laptop kamu. Dan, semua barang-barang kamu." ucap kesal Brian. Dengan nada tingginya. "Jangan diam saja!" Brian menendang pelan kaki Ella. Memintanya untuk segera jalan "Iya.." jawab Ella dengan nada sedikit mengejek. Dia mendekatkan wajahnya. Menarik satu sudut bibirnya, bersamaan dengan alisnya yang tertaut ke atas. Tam berhenti dalam hatinya dia terus mengumpat kesal. Mengeluarkan kata-k********r yang dia pendam dalam-dalam di hatinya "Aku tidak akan takut!" kata Ella penuh keyakinan. Dia mencoba untuk tersenyum meski sedikit terancam. "Baiklah, kalau tidak takut jalan. Lakukan sesuai perintah." Ella mencoba memberikan tendangan lewat kaki Brian. Bukanya mengenainya. Laki-laki itu terus menangkisnya. Ella, salah menendang. Hingga kakinya terpeleset. Tubuhnya jatuh ke tanah yang tandus berwarna kecoklatan. Cuaca di sana sangat panas terik matahari bahkan hampir saja menyengat di tubuhnya. Tubuh Ella kebanting ke tanah. Seketika tubuh Brian ikut terjatuh ke tanah. Dia terjatuh tepat di atas tubuh Ella. Spontan kedua tangan Brian menyangga tubuhnya. Kedua mata mereka saling tertuju dalam diam. Tatapan mata itu terlihat semakin dalam. Tatapan mata yang semula penuh kebencian. Sekarang mulai berbeda. Seolah menunjukan rasa penasaran dan sedikit saling mengagumi satu sama lain. Ella segera menyadarkan dirinya. Dia mengerjapkan matanya. Ketika kedua matanya mulai menunjukan amarahnya. Melihat Brian sangat dekat diatas tubuhnya.. "Aaahhh.... Dasar penjahat wanita." teriak Ella sangat keras. Dia mendorong tubuh Brian menjauh darinya. Tetapi, dia lupa jika Brian tidak akan bisa jauh. Kedua tangan mereka sudah menyatu satu sama lain. "Arrggg..." umpat kesal Ella. Memalingkan wajahnya acuh. Brian mencoba untuk berisi. Di Menarik tangan Ella untuk berisi juga. "Maaf!" kata Brian. Dia berjalan lebih duku. Meski Ella sedikit kesal dengannya. Dia terus tertarik saya Brian berjalan cepat ke arah mobilnya. "Bisa pelan-pelan tidak!" umpat kesal Ella. "Tanganku sakit." rintihnya. "Aku akan ambilkan obat nanti." kata Brian datar. Bahkan, dia sama sekali tidak mau menoleh ke belakang. Hingga dia berjalan sampai tepat di depan mobilnya. Brian tam mau lama-lama lagi. Dia mengambil beberapa barang di jok depan. Saat kaca mobil masih terbuka. "Buka pintu mobilmu." pinta Brian. Ambil barang-barang kamu. Sepertinya kamu juga akan menginap tidur disini juga. Sekarang, kamu adalah tawananku. Jadi, tidak ada yang bisa memintaku untuk pergi dari sini." kata Brian mengingatkan. Dia mencengkeram laptop milik Ella. "Argg. Sialan! Mimpi apa aku semalam. Sekarang harus jadi tawananmu. Rasanya ingin aku menggigitnya sampai kamu berubah jadi zombie." umpat kesal Ella. Dia membuka mulutnya seolah berlagak ingin menggigit Brian. "Nih, gigit." ucap Brian. Dia memasukan laptop ya tepat di mulut Ella yang terbuka. "Ih... Apaan sih!" kesal Ella. Menguntupkan bibirnya. Berdua kesal, sambil memalingkan wajahnya acuh. "Dasar otak dungu." umpat kesal Ella. Memalingkan wajahnya acuh. Sembari memutar matanya malas. Dan, otak terus berpikir cara untuk keluar dari tawanan laki-laki ini. Ella segera mengeluarkan semua barang-barang. Setelah semuanya keluar. Dia berjalan membawa satu tas ransel besar yang berisikan perlengkapan bajunya. Dan, satu tas yang berisikan senjatanya. "Sekarang, kamu hanya bisa pergi jika bersama denganku. Mataku akan terus mengawasi setiap gerak gerik kamu." "Terus kalau aku mau buang air kecil gimana?" tanya Ella. Melirik sekilas ke arah Brian. Pandangan matanya seketika tertuju pada saku celana Brian. "Aku akan antar kamu. Terus kalau aku mandi?" "Kamu bisa mandi terserah kamu. Aku juga tidak akan sama sekali tidak akan mengintip kamu mandi. Melihat tubuhmu saja sudah tidak nafsu." kata Brian mengejek. "Bukanya kamu awal bertemu denganmu. Diam-diam kamu mengagumiku?" goda Ella. "Itu dulu, sekarang kamu sama saja musuh. Jika bukan Aron yang kasih tahu. Siapa kamu. Maka aku akan terus kagum denganmu." kata Brian. Ella menyiapkan cara bagaimana dia bisa mengambil kunci borgol di saku Brian. "Kenapa kamu melihatku? Cepat jalan!" ujar Brian jutek. Mereka segera berlama kembali ke rumah Aron. Sementara Aron terlihat masih saja di dalam rumah. Entah, apa yang di lamunannya di sana. "Cepat jalannya." pinta Brian. "Aku bawa barang berat. Sementara kamu hanya bawa satu barang." "Memangnya kamu pikir di mobilku tidak ada barang-barang. Itu barang mu. Jadi bawalah sendiri. Jangan kira aku mau angkat semuanya." "Laki-laki seperti kamu. Tidak akan dapat wanita. Lagian siapa mau sama laki-laki yang sama sekali tidak gentleman." sindir Ella. "Kau tidak butuh wanita." Ella mengerjapkan kedua matanya. Dia berbisik pelan pada Brian. "Apa kamu gay?" tanya Ella. "Shitt...." umpatnya. "Kamu pikir aku tidak normal. Aku masih sangat normal. Apa kamu mau buktikan?" tanya Brian, menatap dekat wajah Ella. Menarik salah satu alisnya ke atas. "Ingatlah, aku tidak akan pernah tinggal diam. Jika kamu nanti melakukan hal yang bodoh." "Memangnya kamu tidak?" tanya Ella dengan tatapan menantang. "Kamu tidak tahu apa yang akan aku kerjakan dan apa yang aku lakukan. Cara berpikir kamu dan aku beda. Pembunuh hanya berpikir membunuh target. Berbeda dengan agen. Tugasnya lebih berat dari pada kamu. Banyak resiko yang ditempuh." jelas Brian. Dia terus berjalan dan segara menaiki anak tangga menuju teras rumah yang terbuat dari kayu. "Aron.." panggil Brian. Dengan penuh keraguan. Brian masuk ke dalam rumah aron. Kedua bola matanya berkeliling. Melihat sekitarnya. Rumah yang tampak sangat gelap. Baru beberapa hari ditinggal. Rumah itu masih bersih. Meski lantainya sedikit kotor. Barang-barang di sana masih tertata sangat rapi. Ella, tak berhenti mengedipkan kedua matanya. Dia mengajari sekelilingnya. Entah kenapa aura di sana terasa sangat berbeda. Kedua kakinya melangkah sangat hati-hati saat telapak kaki yang di jalur sepatu itu mulai menyentuh lantai. "Aron.." panggil Brian lagi. "Taruh saja barang-barang kalian ruang tamu." ucap Aron, yang tiba-tiba datang dari belakang. Mengejutkan mereka. Seketika mereka jadi kompak menoleh bersamaan. Membuka kedua matanya lebar. Laku menghela napasnya sedikit lega. "Kenapa kamu bisa di sini?" tanya Ella. "Maksud kamu?" wajah aron tampak datar. "Kapan kamu melewati kita. Bukannya tadi kamu di dalam rumah. Begitu cepatnya kamu keluar lagi." tanya Ella penasaran. Dia masih terheran-heran dengan Aron, yang terkadang bisa membaca pikirannya. Dan, sekarang tiba-tiba di belakangnya. Entah dari mana dia datang tadi. "Aku lewat belakang tadi. Terus memutar rumah ini. Selama ini aku belum pernah tahu rumah ini seperti apa. Batu kali ini aku masuk. Selama beberapa tahun aku hidup di rumah yang berbeda. Meski bersebelahan." Ella yang baru pertama kali mendengar cerita Aron. Dia memicingkan matanya bingung. Menggerakkan kepalanya ke belakang Melirik ke arah Brian. Brian memalingkan matanya menatap ke arah Aron. "Apa kamu kecil tidak tidur disini?" tanya Brian. "Tidak! Aku masih ingat saat aku umur 3 tahun. Pernah beberapa bulan aku tidur disini. Tapi, aku tidak pernah sama sekali keluar dari kamar. Ibuku seolah memberikan aku makanan ke kamar. Mengambilkan semua yang aku inginkan." Aron mencoba menceritakan semuanya. "Lihatlah disana!" kata Aron menunjukan ke sebuah ruangan tepat di samping ruang tamu. Ella dan Brian menatap bersamaan. "Itu adalah kamarku dulu. Aku masih sangat ingat. Dan, setelah itu aku tidak tahu lagi detail rumah ini. Apakah aku bisa dapat petunjuk nantinya." ucap Aron terlihat begitu pasrah. Dia menghela napasnya. Merasa dirinya tidak berguna juga. Apapun yang di lamunannya percuma. Orang tuanya bahkan tidak pernah menunjukan bagaimana cara mengontrol kekuatannya. Bahkan, sampai mereka jadi korbannya. "Aku tidak mau ada korban untuk kesekian kalinya." ucap Aron. "Korban?" tanya Ella. Dia memicingkan matanya. Tatapan matanya penuh kelicikan. Menatap cepat ke arah Brian. "Apa kamu juga pembunuh?" tanya Ella. Sembari menahan tawanya. "Jangan tertawa. Aku bukan pembunuh. Jika kamu tidak tahu ceritanya. Lebih baik Diamlah!" pekik Brian. "Kamu tidak tahu apa-apa, jangan sok tahu. Atau, sok akrab juga." Aron melirik ke arah mereka. Tatapan matanya mulai menurun melihat tangan mereka saling di borgol. "Apa yang kalian lakukan?" tanya Aron. Dia memincingkan matanya heran. Berjalan pelan mendekati Ella dan Brian. Dia memegang borgol itu. "Kalian mainan apa?" tanya Aron. Ella menarik sudut bibirnya. Memutar matanya kesal. "Mainan katamu?" "Ini bukan mainan. Lihatlah orang yang kamu kenal ini Dia terlihat bodoh membuat aku seperti ini. Padahal aku sama sekali bukan penjahat." "bukan penjahat hanya di mulut. Selagi kamu punya rencana jahat kamu tetap saja penjahat." ucapan Aron membungkam bibir Ella. Sementara Brian seketika tertawa terbahak-bahak. Menatap mengejek ke arah Ella.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD