"Ayah, tidak sayang sama Felly."
"Ayah, jahat! Ayah, jahat! Ayah Ayah, Jahat!" umpat kesal Felky Dia mengurung dirinya di kamar. Wanita itu terus berteriak menangis sekencangnya. Ayahnya yang khawatir dengannya. Dia berdiri tepat di depan pintu. Mengetuk pintunya perlahan.
"Felly, dengarkan ayah dulu."
"Tidak mau!" tegas Felly.
"Felly, keluar dulu. Ayah akan menjelaskan semuanya. Felly keluar dulu, ya sayang. Jangan seperti ini." Ayah Felly memelankan nada suaranya.
Felly hanya diam, dia menatap ke depan Dengan kedua mata terbuka lebar. Dua mata itu seolah memancarkan sebuah cahaya kecil yang bisa menembus langsung penglihatannya dari balik pintu. Dia bisa melihat siapa saja yang ada di sama. seolah pintu kayu itu terlihat seperti tembus pandangan. Kekuatan yang tampak sedikit aneh.
Felly mengerutkan keningnya. Dia sadar ada yang sedikit aneh padanya. Dengan segera wanita itu menutup kedua matanya. Dia berbaring di ranjang. Menyembunyikan wajahnya dari balik ranjangnya.
"Apa.yang terjadi denganku. kenapa tadi? Kenapa aku bisa melihat di luar." kata Felly lirih. Dia merasa ketakutan. Wanita itu menyembunyikan wajahnya. Tak mau melihatnya lagi. Dia merasa kesal dengan apa yang sekarang dia miliki. Kelebihan yang kata orang mengerikan. Semua orang bahkan menyebutnya monster.
"Sayang, keluar lah! Jangan mengurung diri terus di kamar." ucap Ayahnya. Sementara Felly yang berbaring di ranjangnya. Dia sama sekali tidak peduli dengan ayahnya yang berdiri di luar. Dengan wajah penuh emosi. Felly menatap wajah itu sangat hati-hati. Melirik wajahnya sedikit dari balik kaca. Dengan penuh ragu-ragu
"Sayang, keluar lah lebih dulu. Aku ingin melihat beberapa hal yang harus kamu selesaikan. Jangan mengurung diri di kamar. Ini akan bahaya bagimu." ucap ayahnya. Dia tidak berhenti terus membujuk Felly. Meskipun Felly tidak mendengarkan apa yang ayahnya katakan. Dia terus mengurung dirinya. Sama sekali tidak berniat untuk keluar dari kamarnya.
Felly sudah tak ada suaranya lagi. Wanita remaja itu. Kini duduk di pinggiran ranjangnya. Pandangan mata menatap ke arah kaca. Kedua mata kecil itu mengawasi setiap gerak-gerik tubuhnya di kaca. Mata yang terlihat jelas seperti mata elang di depannya. Felly memegang kedua matanya. Menurutnya sejenak Dia hanya diam. Dan, terus mengamatinya.
Seketika Felly terkejut melihat kedua matanya bisa melihat jelas apa yang ada di depannya. Meski hanya sekilas. Kekuatan yang begitu aneh. Tetapi hanya berjalan beberapa detik saja. Tidak bisa melihat tekanan lama. Felky mengusap kedua matanya. Dia mencoba mengangkat kepalanya lagi. Menatap kedepan. Dan, benar. Baru kali ini dia tahu apa kelebihannya. Dia bisa melihat tembus pandang dinding, pintu abaikan apapun yang ada di depannya.
Raut wajah Felly mulai berubah. Bukanya senang. Dia mengerutkan bibirnya. Wajahnya tampak lesu. Baginya ini adalah awal yang lebih mengerikan lagi .
Felly, melirik ke arah kaca. Melihat bayangan wajahnya sendiri disana. Tidak ada yang aneh di depan kaca. Hanya matanya yang lebih bercahaya dari biasanya.
"Apa yang terjadi denganku? Kenapa aku bisa melihat tembus pandangan. Apa nataku akan terus seperti ini?" tanya Felly. Dia mengerutkan bibirnya. Mencoba menahan dirinya dari emosi. Setiap saat dia bahkan selalu memantau perkembangan kekuatan itu yang sedikit demi sedikit mulai muncul.
"Aaaa… Tidak! Tidak! Ini tidak mungkin." Felly menggelengkan kepalanya. Tidak mau menerima kenyataan tentang dirinya.
Tok.. Tok.. Tok..
"Sayang, apa yang terjadi?" tanya Ayahnya. Dia terlihat panik terus mengetuk pintu kamarnya berkali-kali.
"Felly, kamu tidak apa-apa, kan? Apa yang terjadi denganmu. Cepat katakan pada ayahku ini." kata ayahnya semakin panik.
"Baik," Felly bangkit dari duduknya. Dia yang semula sedang marah tentang Aron perlahan amarah itu mulai menghilang dari dirinya. Sekarang dia banyak sekali pertanyaan baru yang sangat dia ingin sarankan.
Felly berjalan sangat hati-hati penuh keraguan. Sampai di pintu. Jemari tangannya mencengkeram knop pintu. Tidak langsung membukanya. Dia mencoba untuk berpikir sejenak.
Kasih tau ayah atau tidak! Atau, lebih baik aku lakukan sana sendiri. Buat apa juga aku melakukan sesuatu tanpa diperintahkan ayah.
Dalam satu tarikan napasnya. Felly mengangkat kepalanya kembali. Dia membuka pintu itu perlahan. Felly memasang wajah kesalnya. Dia memalingkan wajahnya acuh. Saat ayahnya mulai melihat dirinya. Dia memegang kedua lengan tangan Felly.
"Jangan pernah lagi bicara tentang hal itu. Aku tidak akan pernah biarkan kamu sendiri." ucap ayahnya. Dia mengerutkan keningnya.
"Ayah, boleh aku bertanya sesuatu padamu?" tanya Felly ragu.
"Tanya apa?"
"Sebenarnya apa yang terjadi dengan kedua mataku. Kenapa terlihat sangat aneh, kenapa tidak seperti mata pada biasanya. Semua orang punya mata yang indah tidak denganku." kata Felly. Kedua matanya menatap penuh harapan. "Bahkan semua orang memanggilku monster. Apa aku terlihat seperti monster?" tanya Felly.
"Kenapa mataku terlihat mengerikan?" Felly sedikit menambah nada suaranya satu oktaf. Meluapkan isi hatinya.
"Sayang, semua orang punya kelebihan sendiri-sendiri. Ada saatnya kamu bilang ingin cerita tentang itu semua. Tapi, itu adalah kelebihanmu." kata ayahnya. Mengusap lembut rambut panjang Felly.
"Kelebihan?" tanya Felly. Dia memicingkan kedua alisnya bersamaan. "Bagaimana bisa, jika aku punya kelebihan seperti itu. Sangat mengerikan." kata Felly lirih. Dia menggelengkan kepala tak percaya dengan semuanya. Meski semua sudah terjadi. Tetap saja, dia tidak begitu percaya lagi.
"Kelebihan yang membuat aku dibenci semua orang. Kelebihan yang membuat aku dikucilkan."
"Aku tidak punya teman, semenjak aku kecil. Aku sama sekali tidak tahu bagaimana merasakan punya teman. Semua terus menghinaku dengan mata jelek ini." tempat kesal Felly. Dengan nada naik turun di buatnya.
"Felly ingin merasakan sekali saja punya teman." kata Felly lirih
"Saat aku punya teman, kenapa.. Kenapa ayah sama sekali tidak mengijinkan aku berteman dengannya. Memangnya apa yang salah pada Aron. Dia punya kekuatan? Punya kelebihan? Dia masih? Atau, apa? Kenapa kamu sama sekali tak ada kesempatan untuk punya teman." Felly tertunduk. Air mata terus keluar dari mata indahnya.
Ayahnya mencoba menenangkan Felly anaknya. Dia terus mengusap lembut punggungnya.
"Aron, dia juga punya kelebihan sendiri. Syukuri apa yang jadi kelebihan kamu. Dengan ini, suatu saat kamu akan bisa mengendalikan kelebihan itu untuk membantu orang." ucap Ayahnya, mengusap punggung Felly.
"Sekarang, jangan sedih. Mungkin Aron masih ada urusan untuk pergi. Kamu lihat tadi rumahnya dikunci dari luar."
"Ayah, melihat ada yang mengintai rumah mereka. jadi, lebih baik kita juga cari aman. Daripada wanita kena masalah apapun. Kita akan terlibat nantinya" Ayahnya mencoba untuk mulai mendengarkan ocehan anak kecil. Tetapi, kini wanita itu sudah tumbuh dewasa bukan seperti anak kecil lagi sekarang. Dia sudah bisa berpikir lebih jauh. Hati Felly perlahan mulai luluh. Dia memeluk tubuh ayahnya.
"Maafin Felly" ucapnya lirih.
"Buat apa kamu minta maaf, ayah yang salah." kata ayahnya membalas pelukan hangat tubuh kecil anak kesayangannya itu.
Berbeda dengan Aron. Dia masih menunggu Brian yang menghampiri mobil yang terus mengikutinya. Sementara Aron, pandangan matanya mengamati rumah kecil miliknya. Seketika dia teringat, saat dimana dia tinggal. Tepat di samping rumahnya. Pandangan mata Aron, tertuju ke sana. Dia melihat bagaimana rumah itu hancur. Rumah yang masih sama. Perlahan Aron berjalan mendekati tempat tinggalnya. Dia tersenyum tipis, membayangkan kehangatan rumah itu sebelumnya. Kasih sayang ibunya. Meski harus tinggal berpisah. Hanya karena dia memiliki kekuatan.
Aron tidak pernah menaruh dendam sama sekali dengan orang tuanya. Terkadang dia bahkan tidur dengan kedua orang tuanya. Namun, itu dulu. Waktu dirinya masih sangat kecil. Aron melangkah penuh hati-hati. Dia melihat rak-rak berbagai macam buku di sana yang masih tertata sangat rapi. Tidak ada satupun yang berantakan. Hanya setengah rumahnya hancur di bagian depannya.
Jemari tangan Aron mengambil salah satu buku yang tergeletak di atas ranjangnya. Iya, dia masih sangat ingat. Ayahnya memberikan sebuah buku yang sama sekali dia tidak mengerti. Aron meletakan semuanya di bawah ranjangnya. Dia mengambil buku itu. Lalu, membawanya segera pergi dari sana
Langkahnya terhenti, tepat di depan tempat kejadian saya Aron membunuh kedua orang tuanya dengan kekuatan yang mengalir begitu saja di tubuhnya. Amarah Aron mulai tak bisa terkontrol. Napasnya mulai berat. Wajahnya terlihat memerah. Aron menekankan kedua matanya, Darahnya terasa merangkak begitu cepatnya. Aron merasakan jelas darahnya mengalir ke seluruh tubuhnya. Dia merasakan detak jantungnya berpacu cepat. Telinganya mendengar semuanya.
"Ibu..." Aron membuka matanya. Kedua mata itu menajam. Quran sekitarnya mulai berubah. Amarah Aron tak bisa tertahankan. Saya pikirannya teringat bagaimana dirinya berterima minta tolong. Bagaiman dirinya berteriak minta keluar.
"Ayah.. Aku mau keluar..,"
"Ibu keluar kan aku. Aku ingin bermain di luar. Ibu.."
"Ibu.. Aron ingin jalan-jalan."
"Arrggg." Aron memegang kepalanya yang terasa sakit. Bayangan kata-kata itu selalu terngiang-ngiang di telinganya. Tubuh Aron gemetar hebat Napasnya semakin tak bisa terkontrol.
"Ayah...keluarkan aku.."
"Aaarrrrgg...." Aron berteriak kesakitan. Kepalanya terasa ingin meledak. Darahnya merangkak ke ujung kepalanya. Rasa sakit kuat biasa ditambah dengan amarah dan bayangan masa lalu yang belum bisa hilang di pikirannya.
"Arrggg...." Teriak Aron sangat kuat. Dia merentangkan kedua tangannya.
Blaam...
Sebuah kekuatan yang seketika keluar membentur cepat rumah itu menjadi berantakan.
"Aaaa..." Aron terus berteriak sangat kaut. Aron memakan tubuhnya merasa sedikit lega mengeluarkan semua emosi dalam dirinya.
Brian yang berjalan jauh ke mobil itu. Dia kenilej, ke belakang. Melihat bagaimana kekuatan Aron tiba-tiba meledak menghancurkan rumah kecil yang ditinggal.
Brian tak berhenti terkejut melihatnya. Kedua matanya membulat sempurna. Sementara orang yang ada di dalam mobil itu tak kalah penasaran. Dia keluar dari mobilnya. Berjalan sedikit ke depan. Melihat jelas kekuatan tenaga Aron yang kuat biasa.
"Apa itu tadi?" tanyanya.
Brian menautkan kedua alisnya. Dia menggerakkan kepalanya pelan, ke belakang. Melirik lekat wajah wanita yang tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya.