Chapter-9 | Perdebatan

1020 Words
*** Wellington, New Zealand,. Mansion Blaxton… Di ruang keluarga tempat biasanya penghuni Mansion ini menghabiskan waktu bersama, kini suasana tampak sangat mencekam. TV khusus di ruang itu menyala dan menampakkan sosok beberapa orang di sana. Morgan menatap tajam ke arah layar tipis itu. Kedua tangan besarnya terkepal hingga menampakan buku-buku yang memutih bersamaan dengan rahang tegas yang mengetat semakin kuat. Sedangkan di belakangnya, diatas sofa sang istri dan kedua orang tuanya beserta dengan yang lain hanya mampu mengatup rapat kedua bibir. Tak ada satupun dari mereka yang berani membuka suara termasuk Celine. Melihat reaksi Morgan yang seperti itu, membuat mereka memilih untuk tak membuka suara barang sedikitpun. Sesekali Megan melirik pada suaminya, Gamal, dan mendapati pria itu dengan ekspresi biasa saja. Padahal saat ini Morgan sedang murka terhadap putra mereka, Gabriel. Morgan berdiri didepan TV itu menyaksikan Gabriel dan putri bungsunya sedang mengucapkan janji suci pernikahan. Belum lagi sorot kamera itu turut mengabadikan sosok putranya, Lucas dan Erlan. Dan detik-detik terakhir video tersebut, lantas membuat mereka semua seketika membelalak ketika melihat Gabriel mengedipkan sebelah mata. Apalagi Megan, wanita paruh baya itu sontak meringis membayangkan keberanian putranya. Keheningan itu berlangsung hampir 10 menit setelah video berakhir. Sepertinya Morgan berusaha menahan emosinya. Sedangkan Celine, tak berani mendekat, takut ia akan salah bicara dan akan semakin memancing suaminya. "Relakan saja, Son." ucap Jordhan membuka suara. Sally melirik ke arah suaminya. Sedangkan Morgan langsung memutar tubuh dan menoleh ke belakang melihat pada Ayahnya. "Merelakan…?" ulang Morgan terdengar sinis. Celine meneguk saliva susah payah. Ia takut sekali suaminya akan gelap mata dan berbalik melawan sang Daddy, Jordhan. Belum lagi Gabriel. Celine sangat mengkhawatirkan anak itu. Celine yakin, kali ini Gabriel tidak akan mau mendengarkan semua orang, termasuk suaminya. Walau Morgan adalah pria yang sangat disegani oleh Gabriel setelah Gamal, tetap saja membuatnya khawatir. "Lalu apalagi selain itu? Tidak ada sejarah perceraian di dalam keluarga ini. Jangan lupakan itu, Son." tegas Jordhan. "Jadi seperti ini reaksimu, Dad, setelah apa yang dilakukan oleh Gabriel?" "Tidak ada yang salah dengan reaksiku, begitupun dengan reaksi semua orang." balas Jordhan. "Sayang." bisik Sally sambil menggenggam punggung tangan keriput suaminya. "Sejak awal kau tahu persis bagaimana Gabriel memandang Caroline. Seharusnya sejak saat itu kau memikirkan kembali mengenai keputusanmu untuk menjodohkan Caroline dengan Axel." lanjut Jordhan. Ia tak menghiraukan genggaman hangat Sally di tangan kanannya. Morgan diam dan terus memandang lekat wajah keriput Ayahnya. "Dad tahu, ketidaksetujuan mu terhadap Gabriel bukan karena kau khawatir Caroline berada dalam bahaya. Tetapi karena rasa sungkan mu terhadap keluarga Addison, bukan?" Jordhan menjeda kalimatnya dan terus memperhatikan wajah putranya. "Dan lagi-lagi semua ini tentang balas budi. Balas budi dengan cara mengorbankan darah daging sendiri!" lanjut Jordhan. "Perjodohan ini bukanlah tentang balas budi, Dad. Kalimat itu terlalu hina untuk putriku. Aku tidak akan mungkin menukar kebahagiaannya dengan apapun!" desis Morgan tidak terima. "Lalu, jika bukan itu, memangnya apa lagi alasanmu menolak Gabriel?" tanya Jordhan. "Caroline menyukai Axel." jawab Morgan. "Dari mana kau bisa berkesimpulan seperti itu?" tanya Jordhan lagi. "Caroline tidak pernah menolak perjodohan ini, Dad. Andai dia tidak menyukai Axel, dia mana mungkin pasrah begitu saja." "Itu karena cucuku menghargaimu sebagai Ayahnya! Kau tidak hanya dingin dan datar, tetapi kau juga tidak peka! Seharusnya kau mengerti sampai di sini, bukan?! Andai Caroline tidak menyukai Gabriel, dia tidak akan mungkin pasrah ketika pemberkatan itu berlangsung! Dia tidak akan mungkin diam saja ketika Gabriel hendak menikahinya. Bisa kau bayangkan jika Axel yang memaksanya tanpa restumu? Dad yakin, Caroline tidak akan tinggal diam." ucap Jordhan panjang lebar. "Tapi tindakan Gabriel membuat Clarissa menanggung semuanya, Dad." "Dan semua itu terjadi atas kesalahanmu!" tangkas Jordhan. "Sudah, cukup!" Sally menengahi. "Sampai kapan kalian akan berdebat seperti ini?!" Sally menatap keduanya bergantian. "Sayang…," Sally menatap putranya. "Mommy tahu kamu kecewa terhadap Gabriel. Tapi Mommy harap jangan hukum dia. Tolong jangan lakukan apapun padanya, Nak." mohon Sally. Morgan mendesah kasar. Ia tak habis pikir dengan mereka semua . Bisa-bisanya mereka mendukung Gabriel, pikirnya. "Gabriel sudah dewasa, sayang. Kalau kamu semakin menentangnya, Mom khawatir dia tidak akan pernah mau mengembalikan Caroline. Memangnya kamu mau seperti itu?" tanya Sally. Morgan tetap diam. Tatapan tajam yang barusan ia lemparkan pada Ayahnya, kini seketika berubah. Hanya tatapan lembut yang bisa ia lemparkan pada Ibunya. "Kamu jangan salah paham, Nak. Kami seperti ini, berusaha mengingatkanmu, bukan berarti kami tidak memikirkan Clarissa. Tapi apa lagi yang bisa kita lakukan, sayang? Kita sendiri tidak tahu bagaimana Axel sebenarnya. Apakah dia tulus atau tidak terhadap Clarissa. Dan apa salahnya kita mencoba berpikir positif saja, kalau Axel memang menyukai Clarissa." lanjut Sally. "Kalau nyatanya Clarissa tidak bahagia, bagaimana, Mom?" tanya Morgan. "Kita akan cari solusinya sama-sama, sayang. Tapi tidak dengan cara seperti ini. Bisa-bisa keluarga kita jadi berantakan kalau seperti ini, Nak." Morgan menarik pandangannya dari wanita senja itu. Kemudian setelahnya ia membuka langkah pergi meninggalkan ruang keluarga. Sally menghela nafas pelan, dan melirik ke arah suaminya. "Bukan begitu cara menegurnya, sayang." "Lalu bagaimana?" tanya Jordhan. Lagi-lagi Sally kembali mendesah pelan. "Kau dan Morgan sama saja!" ketusnya. "Dia adalah putraku, tentu saja kami sama saja." balas Jordhan. Sally mendengus sebal. "Mom, Dad, aku permisi sebentar." pamit Celine pada kedua mertuanya. "Hanya menghiburnya sebentar, Mom." imbuhnya ketika mendapati tatapan lekat dari sang Mommy, Sally. Sally pun mengangguk pelan. Setelah itu Celine bangkit dari duduknya dan bergegas menyusul suaminya. Entah kemana perginya pria itu. Apa mungkin kembali ke kamar mereka atau ke ruang kerjanya? "Great-grandpa Jo, itu tadi Daddy Gabriel 'kan? Yang di tipi tadi, Great-grandpa. Benar 'kan?" tanya gadis kecil berusia 3 tahun. Namanya Sein, putri pertama Maureen, yang tidak lain adalah keponakan Gabriel. "Benar, sayang, tadi itu adalah Daddy Gabriel." jawab Jordhan. "Tapi kok di sana ada Onty Koral?" Deg! Glek! Mereka semua seketika membelalak. "Aunty Carol, sayang." Maureen meralat ucapan sang putri. Kemudian gadis kecil itu menoleh dan menatap Ibunya. "Tapi Sein suka nama Koral, Mommy. Koral 'kan lebih bagus. Nama ciptaan Sein gitu lohh!" "Terserah kamu saja, Sein." putus Maureen mengalah. Sedangkan pria yang duduk di samping Maureen lantas terkekeh pelan. Pria yang tidak lain adalah suaminya. "Tidak perlu menertawakanku!" ketus Maureen pada sang suami. "Sein menyebalkan sama seperti kau dulu saat kecil. Menyebalkan nggak ada obatnya!" kekeh pria itu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD