Chapter-8 | Weeding Day | Gabriel-Caroline

1128 Words
*** Saat ini Gabriel dan Caroline sudah sampai di Gereja. Gabriel turun dari mobil dan lekas membukakan pintu untuk calon pengantinnya. Ia mengulurkan tangan dan disambut hangat oleh gadis itu. Kemudian setelahnya mereka berdua langsung masuk ke dalam gereja. Sedangkan di belakang Caroline ada dua bridesmaid yang membantu mengangkat gaunnya. Tepatnya anggota wanita TDB yang disulap oleh Lucas menjadi bridesmaid. Pernikahan Gabriel dan Caroline sedikit berbeda dari pernikahan kebanyakan orang. Jika biasanya orang-orang akan melakukan pemberkatan di pagi atau siang hari. Namun berbeda dengan mereka yang melakukannya di malam hari. Dan tentunya Gabriel melakukan itu atas dasar alasan yang kuat. Ia hanya ingin acara pemberkatannya berjalan dengan lancar. "Kak Lucas?" gumam Caroline saat melihat sosok kakaknya bersama Erlan di sana. Kemudian ia menoleh ke samping kanan melihat pada Gabriel. Pria itu menyadari dan turut membalas tatapannya. "Dia di sini karena ingin melihat adiknya." ucap Gabriel. "Kenapa kamu tidak kasih tahu aku?" tanya Caroline. Gabriel mengedikkan bahu. "Surprise!" jawabnya singkat. Caroline menarik pandangannya dari Gabriel dan beralih menatap ke arah depan. Di sana Lucas melangkah ke arahnya. Dan tak berselang lama setelah itu, Lucas menghentikan langkah di depannya. Lelaki itu mengulas senyum saat melihat adiknya. "Hai, Princess." sapanya seperti biasa. Nadanya lembut. Caroline tersenyum lebar kemudian mendekat dan langsung memeluk kakaknya. Keduanya memang sangat dekat. Lucas memang sangat menyayangi kedua adiknya begitupun dengan mereka yang sangat menghormati Lucas sebagai seorang kakak. "Kenapa tidak bilang kalau kamu ke sini?" gumam Caroline di dalam dekapan Lucas. "Sengaja, biar surprise. Dan lagi pula aku baru saja sampai, Princess." sejenak Lucas melirik tajam ke arah Gabriel yang melempar pandangan ke arah lain. Pria itu mengulum senyum berusaha menahan tawa. Lucas mana berani jujur sama adiknya atau kalau tidak gadis itu akan merajuk padanya. Lucas tentu tidak ingin itu terjadi. "Daddy bagaimana? Dia pasti marah sekali 'kan sama aku?" tanya Caroline setelah mengurai pelukannya dari Lucas. Lucas menggeleng pelan. "Tidak mungkin Dad marah sama kamu. Memangnya kesalahan apa yang kamu lakukan?" "Sudah mempermalukannya." gumam Caroline sendu. Sejenak, Lucas menarik nafas dalam, kemudian menghembuskannya pelan. "Dia memang marah, Princess … tapi bukan marah sama kamu. Dad marah dengan pria ini." Lucas melirik Gabriel. Caroline menoleh ke samping melihat Gabriel. Pria itu sedang melempar tatapan datarnya ke arah Lucas. "Tapi Dad baik-baik saja 'kan?" tanya Caroline setelah beralih pada Lucas. "Semuanya baik-baik saja, it's oke, kau tidak perlu memikirkan apapun lagi." jawab Lucas. "Kamu tidak berbohong 'kan?" Lucas menggeleng pelan. "Tentu saja mereka akan baik-baik saja. Mereka tidak begitu mencemaskanmu, karena mereka tahu kau sedang bersama pria ini." "Namaku Gabriel, Lucas! Jangan kurang ajar!" desis Gabriel. Lucas mengedikkan sebelah bahu cuek. Caroline mengerutkan kening menatap keduanya bergantian. "Aku tidak mendengar suara apapun, Princess." celetuk Lucas. Caroline lantas terkekeh geli. Dia senang sekali ketika sang kakak, Lucas membully Gabriel seperti ini. "Benih Morgan memang menyebalkan." gumam Gabriel dan langsung mendapat cubitan maut dari Caroline. "Jangan mengatai Ayahku seperti itu! Aku tidak suka!" ketus Caroline. Gabriel tidak menggubris. Pria itu memilih diam dan mengatup rapat kedua bibirnya. Sedangkan Lucas kembali memeluk erat adiknya. °°° Menit berlalu… Saat ini Gabriel dan Caroline sudah berdiri di atas altar bersama seorang pastor. Sedangkan di bawah sana ada beberapa orang yang menjadi saksi pernikahan mereka malam ini. Lucas dan Erlan, dan juga beberapa orang penting yang turut Gabriel undang. Tidak lupa beberapa anggota klan TDB turut menyaksikan pernikahan Tuan mereka. Hanya beberapa orang saja yang tidak hadir, salah satunya seperti Aland. Pemuda itu sengaja tidak hadir supaya Morgan tidak sampai berhasil melacak keberadaan Gabriel saat ini. Gabriel dan Caroline berdiri berhadapan dan Pastor yang berdiri di antara mereka. Setelah pastor menanyakan kesiapan mereka, pemberkatan pun segera dimulai. “Gabriel Emerson William's, apakah saudara bersedia meresmikan perkawinan ini sungguh dengan ikhlas hati? “Ya, sungguh” jawab Gabriel tanpa ragu. “Bersediakah saudara mengasihi dan menghormati istri saudara sepanjang hidup?” “Ya, saya bersedia.” “Bersediakah saudara menjadi bapak yang baik bagi anak-anak yang akan dipercayakan Tuhan kepada saudara, dan mendidik mereka menjadi umat yang setia?” “Ya, saya bersedia” Sesekali Caroline berusaha menarik nafas dalam dan menghembuskannya dengan perlahan. Degup jantungnya semakin tak karu-karuan saat mendengar setiap jawaban Gabriel. Setelah mendapatkan jawaban penuh kesungguhan dari Gabriel, kini sang Pastor pun bertanya kepada sang mempelai wanita. “Caroline Leanna Blaxton, apakah saudari meresmikan perkawinan ini sungguh dengan ikhlas hati?” Caroline tak langsung menjawab. Ia semakin gugup, sementara Gabriel menatap awas. Gabriel khawatir pernikahan ini akan gagal. Namun selang beberapa detik kemudian, Caroline pun membuka suara. “Ya, sungguh.” jawab Caroline bergetar. Gabriel memejamkan kedua mata sejenak dengan erat. Ia lega. “Bersediakah saudari mengasihi dan menghormati suami saudari sepanjang hidup?” “Ya, saya bersedia.” jawab Caroline setelah menelan ludah susah payah. “Bersediakah saudari menjadi ibu yang baik bagi anak-anak yang akan dipercayakan Tuhan kepada saudara, dan mendidik mereka menjadi umat yang setia?” “Ya, saya bersedia.” jawab Caroline tampak sedikit ragu. “Silakan saling menyematkan cincin pernikahan kalian berdua." ucap sang Pastor. Seorang bridesmaids lekas mendekat. Gabriel menoleh dan melihat sebuah cincin berlian di dalam kotak beludru. Cincin pemberian sang Great-grandpa, Mark Blaxton. "Jika suatu saat nanti Caroline yang menjadi istrimu, maka sematkan cincin ini di jari manisnya. Tetapi jika perempuan itu bukanlah Caroline, maka berikan cincin ini untuk keturunanmu. Cincin ini adalah milik Great-grandma mu. Great-grandma Winda." Gabriel tersenyum saat kembali mengingat kalimat yang diucapkan oleh Great-grandpanya saat menyerahkan cincin itu kepadanya. Ia meraih cincin itu dengan perasaan berdebar. Kemudian ia menjangkau sebelah tangan Caroline dan menyematkan cincin cantik itu di jari manis Caroline. Gadis yang kini sudah menjadi miliknya. 'Sudah aku sematkan di jari manisnya, Great-grandpa. Sesuai harapanmu. Harapan kepala suku Blaxton.' batin Gabriel terkekeh geli dalam hati. Sedangkan Caroline, gadis itu menatap haru cincin tersebut di jari manisnya. Caroline tidak tahu jika cincin itu adalah milik Great-grandmanya, Winda. "Sekarang kau boleh melihat wajah istrimu dan menciumnya." ucap sang pastor. Deg! Seketika Caroline pias. Perlahan, Gabriel mengangkat veil yang menjuntai di depan wajah cantik Caroline sehingga tampaklah wajah gugup itu. Sejenak, Gabriel menatap lekat. Ia paham kalau Caroline masih ragu dan belum benar-benar menginginkan sentuhannya. Sebagai formalitas saja, Gabriel meraih tengkuk Caroline membuat gadis itu mendongak dan menatanya. Gabriel mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu. Caroline refleks memejamkan kedua mata. Sedangkan ibu jari Gabriel menempel di permukaan bibir Caroline. Sehingga kedua bibir mereka tak sampai bersentuhan. 'Dia tidak menciumku? Apa dia tahu kalau aku masih ragu?' batin Caroline saat menyadari kecupan Gabriel terhalang oleh ibu jari pria itu. "Aku akan melakukannya ketika kau sudah siap." bisik Gabriel, namun masih bisa didengar oleh Caroline. Gabriel menjauhkan wajahnya dari wajah Caroline, kemudian ia melempar pandangannya pada sebuah Kamera diujung sana. Sebuah kamera yang sengaja Gabriel siapkan. Gabriel terkekeh pelan kemudian mengedipkan sebelah mata ke arah Kamera tersebut. °°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD