Chapter-7 | Ingin Pipis

1388 Words
*** Setelah mendengar kabar dari Lucas dan Erlan mengenai Clarissa, tak berselang lama setelahnya Gabriel menyempatkan diri untuk menghubungi gadis itu. Berulang kali Gabriel mencoba menghubunginya, namun sayangnya nihil. Tak ada jawaban apapun dari Clarissa. Bahkan Gabriel sempat mengirim pesan melalui aplikasi yang sering mereka gunakan untuk saling bertukar pesan, pun tak ada jawaban dari Clarissa. Tak berhenti sampai di sana, Gabriel juga mengirim surel. Ia berharap Clarissa mau membuka dan membalas pesannya. Dan lagi-lagi tak ada balasan apapun dari gadis itu. Gabriel benar-benar mengkhawatirkannya. Selama ini yang ia ketahui Axel memang pria yang baik. Tak ada cacat cela mengenai pria itu yang ia ketahui. Hanya saja sejak kecil ia tidak pernah suka dengan Axel. Entah apa alasannya. Bahkan sampai sedewasa ini, Gabriel masih setia dengan tatapan tak sukanya terhadap Axel. Walau hubungan keluarga mereka sangat erat, namun hal itu tak juga mengubah pandangan Gabriel. Walau dia tahu Axel adalah pria yang baik dan juga dari keluarga yang baik-baik, tetap saja Gabriel mengkhawatirkan Clarissa bersama pria itu. Gabriel tahu kalau Axel sudah pasti sakit hati karena ditinggalkan oleh Caroline. Dan Gabriel menebak permintaan Axel yang ingin menjadikan Clarissa sebagai pengantin pengganti adalah untuk membalas sakit hatinya. Karena sangat tidak masuk akal jika tiba-tiba Axel meminta Clarissa sebagai pengganti, karena dari dulu Axel tidak suka dengan gadis itu. Menurut Axel, Clarissa terlalu bar-bar. Itulah yang dikhawatirkan Gabriel saat ini. Bukan hanya Gabriel saja, tetapi juga Lucas. Lelaki itu tak kalah khawatir dengan adiknya. Namun bagaimana lagi, andai Clarissa menolak permintaan Axel kala itu, maka pernikahan pun tak akan pernah terjadi. Saat ini, Gabriel tidak bisa berbuat banyak karena dirinya pun harus secepatnya menikahi Caroline. Gabriel tidak ingin menunda-nunda dan ia juga tidak ingin Caroline sampai tahu tentang kabar yang menimpa Clarissa saat ini. Sebab kalau Gadis itu sampai tahu Kakak kembarnya yang jadi korban atas keegoisan Gabriel, sudah pasti Caroline akan mengamuk. Gadis itu akan marah padanya, gadis itu akan menyalahkan dirinya dan yang lebih parahnya akan menolak menikah dengannya. Tentunya Gabriel tidak menginginkan semua itu terjadi. Oleh sebab itu ia ingin mengikat Caroline secepatnya, baru setelah itu ia akan mengurus masalah yang lain termasuk masalah Clarissa. Malam ini Gabriel dan Caroline akan melakukan pemberkatan di salah satu Gereja di kota ini. Tempat itu sudah dipersiapkan sebaik mungkin oleh Ozzie dan memastikan acara akan berjalan lancar tanpa hambatan apapun. °°° "Sudah Nona, Anda sangat cantik sekali." puji salah satu wanita yang saat ini sedang membantu Caroline berhias. Saat ini Caroline masih di penginapan dan sebentar lagi ia dan Gabriel akan menuju Gereja untuk melakukan pemberkatan. Sedangkan kehadiran Lucas dan Erlan sama sekali belum diketahui oleh Caroline. Mendengar pujian wanita itu, Caroline menatap pada cermin di depannya dan melihat pantulan wanita itu sambil melempar senyum. "Terima kasih." jawabnya. Seperti biasa, terdengar lembut dan santun. Caroline benar-benar seperti sosok ibunya, Celine. "Ahk, saya rasa Tuan Gabriel pasti sangat kagum melihat penampilan Anda malam ini." wanita yang satunya turut membuka suara. Caroline pun lantas terkekeh pelan. "Sudahlah, tidak perlu berlebihan. Dari satu jam yang lalu hanya kata-kata itu yang kalian ucapkan. Coba sesekali komentar tentang kekuranganku, bukan pujian terus." protesnya. "Ya mau bagaimana lagi, Nona, kami pun bingung mau berkomentar apa tentang kekurangan Anda. Karena yang kami lihat saat ini hanyalah kesempurnaan." Kali ini Caroline melepas tawa pelan. "Beruntung kalian ini adalah wanita. Coba kalau kalian adalah pria, aku bisa tersipu dan salah tingkah dipuji seperti ini." guraunya dan disambut tawa oleh kedua wanita itu. Di tengah-tengah obrolan mereka, tiba-tiba suara hentakan sepatu di lantai sontak menggema begitu saja di dalam ruangan. Caroline tetap pada posisinya duduk di depan cermin. Ia dapat melihat sosok di belakangnya, sedangkan kedua wanita itu langsung menoleh. "Sudah selesai?" tanya Gabriel dengan suara baritonnya. Ia menghentikan langkah tepat di belakang Caroline. Membiarkan gadis cantiknya itu menatap pantulan dirinya melalui cermin. Gabriel tampak gagah dengan tubuhnya yang dibalut tuxedo sehingga membuat Caroline pangling dan menatapnya tanpa berkedip. Walaupun dulu Caroline sering melihat Gabriel dengan penampilan seformal ini, tetapi kali ini jelas berbeda. Maksudnya perasaannya yang berbeda. Jangan tanyakan lagi bagaimana degup jantungnya saat ini. Gila, Caroline benar-benar gila. Ia hampir tak kuasa mengendali perasaannya yang menggebu-gebu. Sepertinya ia benar-benar jatuh cinta pada sosok Gabriel. "Nona Caroline sudah siap dan kami pun sudah selesai, Tuan William's." jawab salah satu wanita itu. Gabriel mengangguk pelan. Ia kembali menatap pada cermin dan melihat pantulan Caroline di sana. Lantas ia melempar kedipan mautnya pada gadis itu sehingga membuat Caroline hampir tersedak oleh ludah sendiri. Gabriel terkekeh pelan sedangkan kedua wanita itu sibuk mengulum senyum. "Terima kasih untuk malam ini." ucap Gabriel pada kedua wanita itu. "Sama-sama, Tuan William's, kami senang bisa membantu Anda." balasnya. "Jika dirasa tidak ada lagi yang perlu kami bantu, mungkin sebaiknya kami pamit undur diri, Tuan." Gabriel mengganggu pelan. "Yeah, silakan. Urusan kalian dengan Ozzie." ucapnya. "Baik, Tuan, kami permisi." Setelah mendapat anggukan pelan dari Gabriel, kedua wanita itu bergegas keluar dari ruangan itu dan menutup pintu dengan rapat. Gabriel masih setia berdiri di belakang calon istrinya. Walau saat ini posisi Caroline duduk di atas kursi meja rias, sudah membuat Gabriel kagum dengan penampilannya. Gaun pengantin berwarna putih dan sederhana namun tampak sangat amat elegan penampakan punggung mulus Caroline. Sedangkan di bagian depan terdapat beberapa hiasan berlian. Belum lagi leher jenjang itu yang dihiasi oleh sebuah kalung berlian pemberian Gabriel. "Cantik." celetuk Gabriel terdengar serak. Gabriel membuka langkah semakin mendekat, kemudian membawa kedua tangannya menyentuh kedua sisi bahu Caroline. Kulit telapak tangan Gabriel yang hangat bersentuhan dengan kulitnya yang mulus membuat Caroline seketika meremang. Caroline berdebar mulai salah tingkah. Walau sentuhan yang dilakukan oleh Gabriel saat ini adalah sentuhan yang biasa saja. "Kau sudah siap malam ini.?" tanya Gabriel sambil menatap pantulan gadis-nya pada cermin. Sebelum menjawab, Caroline bangkit lebih dulu saat merasakan kedua tangan besar itu menuntunnya supaya berdiri. Perlahan Caroline memutar posisi tubuh dan berdiri berhadapan dengan Gabriel. Caroline memandang gugup wajah pria itu. Kedua netra indahnya bergerak liar menatap setiap garis wajah tegas Gabriel. Hidung mancung, bibir seksi dan juga rahang tegas yang sangat ia dambakan. Belum lagi bulu-bulu halus yang tumbuh di sekitar rahang itu membuat Gabriel tampak semakin sempurna di matanya. "Sebentar lagi kita akan menjadi suami istri, Carol. Kau sudah siap untuk itu?" "Kalau aku bilang tidak siap, apakah kau mau membatalkan semua ini?" Caroline balik melempar pertanyaan. "Tentu saja tidak." jawab Gabriel. "Lalu untuk apa lagi kau bertanya?!" sinis Caroline. Gabriel terkekeh pelan. "Hanya sekedar berbasa-basi, Baby." Caroline lantas mendengus. "Kau harus belajar untuk selalu tersenyum saat melihat wajahku. Karena wajah ini yang akan kau lihat setiap harinya. Kau akan lebih sering melihatnya, Caroline. Kau akan bertemu dengan wajah ini dalam kondisi apapun." Perlahan Caroline menelan saliva susah payah. "Kita akan sering makan bersama, sarapan pagi bersama, tidur bersama, mandi bersama bahkan kita akan berkeringat bersama." lanjut Gabriel. Deg! Caroline semakin gugup saat mendengar kalimat-kalimat ambigu yang dilemparkan oleh Gabriel kepadanya. "Jika dulu kita sering berkeringat bersama di ruang latihan, maka kali ini berbeda, Baby. Kau paham maksudku?" Caroline terdiam. "Oke, tidak mengapa. Aku akan coba mengerti kalau calon istriku ini masih polos." Gabriel meraih tangan kanan Caroline dan membawa ke arah bibir lalu dikecup lembut. Sehingga membuat gadis itu semakin dibuat gugup oleh perlakuannya. "Kita berangkat sekarang." ucap Gabriel dan Caroline hanya mengangguk pelan dan kaku. "Kau gugup?" tanya Gabriel. Caroline tidak menjawab, gadis itu hanya mengangguk pelan. "Tidak perlu gugup. Anggap saja kau sedang menghadiri sebuah undangan pernikahan temanmu. Anggap saja seperti itu supaya pikiranmu lebih rileks." saran Gabriel, kemudian ia mendekatkan wajahnya dan mengecup lembut sudut bibir Caroline. Hanya sudut, tidak sampai mengenai permukaan bibirnya. Sialnya bukan kecupan singkat yang Gabriel berikan. Pria itu malah membiarkan bibirnya menempel cukup lama di sana. Sehingga membuat kedua kaki Caroline seperti jelly, lemas dan tak kuasa menahan beban tubuhnya. Tak tahan lagi dengan rasa gugupnya, Caroline mencoba mendorong pelan dadaa bidang Gabriel, sehingga membuat kecupan pria itu lepas dari sudut bibirnya. "Kenapa? Kau tidak suka aku menciummu?" tanya Gabriel. "Bukan, tapi aku mau pipis rasanya." jawab Caroline, polos. Walau saat ini ia berusia 21 tahun, tapi percayalah otak cantiknya pasti polos dan suci. Gabriel lantas melepasnya gelak tawa sehingga membuat Caroline melempar tatapan kesal padanya. "Itu adalah keinginan pipis yang spesial, Baby. Tenang saja, nanti aku akan membantumu untuk pipis lebih nikmat lagi. It's oke, My Carol." 'Apa sih maksudnya Si pria gila ini!' jerit Caroline dalam hati. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD