"Pertama, mulai sekarang kau harus memenuhi tugasmu sebagai istri. Menyiapkan keperluanku, pakaian atau apapun itu. Kedua, kalau mau pergi keluar harus izin. Ketiga, tidak boleh pulang terlambat, dan paling penting jangan dekat-dekat dengan laki-laki manapun selain aku!" terang Regan serius.
Mita tidak bisa membantah, sebab dirinya sedang menyantap makan malamnya. Sementara Regan hanya menonton, sebab sudah kenyang dan terus memberi ultimatumnya.
"Tapi jangan salah paham mengenai poin tidak boleh dekat dengan laki-laki lain. Aku tidak suka padamu, tapi tidak ingin nama baikku tercemar karena mempunyai istri yang berselingkuh!" terang Regan membuat Mita menatapnya malas.
'Tidak tertarik, tapi ngajak tidur dan suka bahas mes*m. Dasar bajing*n!' batin Mita kesal.
Karena terbawa emosi, wanita itu makan dengan barbar dan tersedak. Melihat itu Regan langsung menghela nafasnya kasar.
"Dasar ceroboh! Udah, cepat minum!" omel Regan seraya memberi Mita air minum.
Mita menerimanya dan minum dengan cepat kemudian menatap Regan dengan penuh protesan. Dia menyalahkan Regan.
"Ini semu gara-gara ka-Mas. Aku jadi tersedak gara-gara diajak ngomong sejak tadi. Nggak sabaran soal peraturannya. Kayak udah kasih nafkah aja?" cibir Mita diakhir kalimatnya.
"Memangnya kamu udah siap?!" sarkas Regan bertentangan dengan maksud Mita.
Mita maksud nafkah berupa uang bulanan istri, tapi Regan malah berpikir nafkah batin.
"Siap, nggak siap itu hakku, Mas. Kamu berkewajiban memberikannya!" tuntut Mita dengan berani.
"Dari malam pertama aku juga mau memberikannya, tapi kamu menolak terus, dan bukannya kata dokter belum boleh berhubungan saat usia kandunganmu muda?" ujar Regan mengingatkan.
Mita langsung merutuki Regan dalam benaknya. Sialan memang suaminya. Bisa-bisanya berpikir nafkah yang dimaksud adalah hubungan suami istri.
"Nggak usah dibahas lagi, abis ini aku mau tidur. Mau dibuatin kopi Mas?" tanya Mita.
Dia tidak tahan kalau membahas hal itu terus. Bisa-bisa Regan kelepasan dan dia berakhir hamil sungguhan. Jadi, Mita masih cukup sadar untuk tidak memancing atau membahas lebih dalam. Meskipun sebenarnya dia ingin protes soal uang bulanan yang sudah seharusnya didapatkan seorang istri.
"Kamu serius?"
"Serius apa lagi sih, Mas?"
"Seminggu nikah, baru kali ini kamu berinisiatif membuatkan kopi," jelas Regan.
Mita mengerutkan dahinya. Itu cuma basabasi atau spontannya saja. Tidak ada maksud apapun. Hanya tawaran biasa.
"Mau nggak, kalau tidak aku langsung tidur habis ini?" ulang Mita dengan serius.
"Ya, dua gelas. Aku harus lembur malam ini," jawab Regan.
Mita memutar bola matanya, tapi kemudian menurut dan melakukannya setelah selesai makan.
*****
"Kopinya, Mas!" ujar Mita.
Wanita itu masuk ke dalam ruang kerja Regan, kemudian meletakkan tiga gelas kopi di atas meja. Hal itulah yang kemudian membuat Regan menatap Mita dengan penuh tanya.
"Kenapa tiga, bukannya aku minta dua?"
"Dua bua Mas, satu buat aku," jelas Mita dengan santai.
Namun, Regan tidak setuju dengan hal itu dan mendesah kasar. "Kamu itu sedang hamil, Mita. Apa kamu nggak tahu kopi bisa membuat rahim kering dan itu tidak baik bagi ibu hamil?"
"Mitos darimana itu?" balas Mita tak percaya.
Sepengetahuannya, kakak iparnya dari hamil anak pertama sampai sekarang anaknya yang ke dua. Mita tak pernah mendengar kopi tidak diperbolehkan untuk ibu hamil.
"Bukan mitos, tapi fakta. Mungkin bukan larangan juga, tapi bagi beberapa ibu hamil berbahaya mengonsumsi kopi. Aku tidak tahu kamu salah satunya, tapi jangan minum!" tegas Regan.
Dia punya alasan tersendiri atas ucapannya itu. Saat mantan istrinya hamil Alana, wanita itu suka minum kopi dan hampir keguguran, dan hal itu membuat Regan sedikit trauma.
"Terus aku minum apa kalau bukan kopi. Bukan kamu aja yang harus lembur, Mas. Aku juga harus ngerjain tugas kuliah malam ini. Lagian ini salah kamu," ujar Mita menyalahkan Regan.
"Kenapa jadi aku yang salah?" bingung Regan.
Mita mendengus kasar dan teringat kejadian saat dia bekerja. Berpikir untuk memanfaatkan kejadian itu untuk alasan menyalahkan Regan.
"Iya, salah kamu, Mas. Sok baik hati cariin kerja, tapi kasihnya yang berat-berat. Apa-apaan jadi tukang cuci piring?"
"Tapi itu maumu Mita, lagian kita udah membahas hal ini, dan pekerjaanmu tidak berat. Kamu cuma cuci sendok, boleh datang sesukamu dan aku bahkan menyiapkan makan siangmu di sana," jelas Regan.
Mita mengerutkan dahinya bingung. Seingatnya dia belum pernah menceritakan hal itu kepada suaminya, tapi mengapa Regan sangat tahu. Pekerjaan Mita di kafe memang tidak berat dan bahkan sangat ringan. Bisa dikatakan dia kesana untuk menikmati hidup, dan bersantai.
"Kenapa, kamu mau tanya kenapa aku bisa tahu?!" ujar Regan seolah bisa membaca pikiran Mita. "Aku yang mengaturnya untukmu, Mita. Semuanya termasuk gaji kamu. Aku yang memberinya!"
Masih belum paham, Mita semakin mengerutkan dahinya. "Maksud Mas, apa?"
"Kafe itu milikku, aset pribadiku!" ungkap Regan angkuh.
Namun, bukannya senang Mita justru terlihat kesal. Tak terima serta kecewa. "Bisa-bisanya Mas jadikan aku pelayan di sana?!"
"Apa masalahnya?" balas Regan dengan wajah tanpa dosa.
"Masih nanya lagi, nyebelin banget sih jadi suami. Lagian apa nggak malu punya istri pelayan restoran?!" balas Mita sengaja memancing Regan, dengan harapan pria itu akan berubah pikiran.
"Aku juga pernah jadi tukang parkir, Mita," jawab Regan santai, tapi membuat Mita kaget.
"Beneran, Mas? Kamu bukannya kaya dari lahir?" tanya Mita memastikan.
Regan terkekeh, pria itu berdiri seraya menghampiri istrinya dan memegang bahunya sehingga keduanya berhadapan.
"Bohong," jawab Regan santai.
Mita langsung tersenyum kecut merasa tertipu. Wanita itu mendorong Regan dan menjauhinya seolah sedang merajuk.
"Bukan tukang parkir, tapi kerja di bengkel motor, menjadi badut, atau bahkan menjaga minimarket. Banyak hal yang sudah aku kerjakan, Mita, dan usiaku bahkan masih jauh lebih mudah dari usiamu sekarang," ungkap Regan membuat Mita kembali menatapnya.
"Bohong banget, mana mungkin anak orang kaya melakukan hal itu?!" Kali ini Mita tidak percaya.
Namun Regan hanya mengulas senyumnya tanpa berniat meyakinkan Mita. Dia tidak berbohong untuk kalimat terakhirnya, dan ucapan Mita juga tidak salah. Anak orang kaya hampir mustahil melakukan pekerjaan tersebut, tapi anak yang mempunyai ibu tiri kejam mungkin bisa lebih dari yang Regan rasakan.
"Baiklah, kita lupakan hal itu. Mana tugas kuliahmu. Biarkan aku membantumu, agar tidak perlu ikut lembur," ucap Regan.
"Serius?"
"Ya. Apapun agar kamu tidak begadang karena itu tak baik pada kandunganmu, dan aku tidak ingin ambil risiko pada calon anakku," jelas Regan.
Membuat Mita jadi bingung seraya teringat Alana. Regan seperti ayah kejam pada gadis kecil itu, tapi pada calon anaknya Regan justru sebaliknya. Perasaan Mita segera bercampur aduk.
"Apa lagi yang kamu pikirkan, kenapa jadi melamun, mana tugasmu?"
*****