"Cukup, Leo!" bentak Risma ibunya dengan marah.
Leo baru saja mengadukan masalahnya pada sang ibu, tapi bukannya mendapatkan simpati Leo justru mendapatkan sebaliknya. Wanita paruh baya itu gusar dan terlihat kesal.
"Mama memang sudah tidak perduli dan tidak sayang lagi padaku. Mama lebih menyayangi anak tiri Mama bajing*n itu?!" ungkap Leo dengan kecewa.
Membuat Risma menghela nafasnya dengan kasar, kemudian menggelengkan kepalanya. "Bukan seperti itu, Nak. Mama cuma ingin kamu sadar. Lupakan jala*g miskin itu. Dia tak pantas untukmu dan berhenti memanggil kakakmu bajin*gan. Regan itu anak yang baik. Bahkan setelah masa kecilnya yang Mama hancurkan dan perlakuan buruk. Lihatlah dia sangat menghormati Mama, Leo!"
Mendengar hal itu Leo semakin kecewa. Dia tahu itu semua permainan Regan, karena tidak mungkin seseorang sebaik yang ibunya katakan pada seseorang yang membuatnya menderita.
"Ma, berapa kali Leo harus jelaskan. Regan itu palsu. Semua kebaikan dan penghormatannya pada Mama itu cuma omong kosong!" peringat Leo.
Ini bukan pertama kalinya dia bicara. Leo sudah sering melakukannya, tapi ibu kandungnya sendiri memang tidak pernah bisa mempercayainya. Sikap baik Regan membuatnya buta dan tuli.
"Omong kosong dari mana? Regan bahkan memberikan sahamnya sebanyak lima persen di perusahaan. Di saat kamu sendiri tidak memberi Mama apapun di hari ulang tahun kemarin selain kekacauan!" geram Risma gusar.
Leo geleng-geleng kepala. Sungguh siasat yang direncanakan Regan sangat brilian. Lihatlah ibu kandungnya sendiri sampai lebih menyayangi Regan ketimbang Leo sendiri.
"Sekalian saja Mama bilang lebih baik dia saja yang menjadi anak kandung, Mama!" ketus Leo begitu tak terima.
Laki-laki itu lantas berbalik, lantaran tak tahan berdebat terus dengan ibunya yang berkepanjangan. Juga membuatnya merasa di anak tirikan.
"Leo!" panggil Risma berusaha menahan anaknya.
Namun, laki-laki itu tak mau mendengarkan. Hatinya bukan cuma kecewa, tapi sakit mendengar ucapan terakhir anaknya.
*****
"Kamu tidak takut membiarkan istrimu bekerja di kafe itu?" tanya Leo dengan serius pada Regan.
Saat ini mereka sedang di kelab malam milik Reno. Minum sebentar setelah pulang kerja, tapi jangan berpikir mereka bergabung ditempat yang penuh dengan orang, lampu berkelip-kelip, serta suara musik yang berdengung keras.
Mereka di ruang khusus VVIP kelab malam tersebut. Hanya untuk minum dan tidak lebih, bahkan Regan tidak berpikir untuk sampai mabuk.
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Mita tidak akan bisa disentuh oleh Leo!" tegas Regan dengan serius.
"Aku tidak berpikir seperti itu. Masalahnya kafe itu masih atas nama Leo," jelas Reno mengingatkan.
Mendengar itu Regan langsung tersenyum aneh sempat menggelengkan kepalanya. "Itu kemarin, sebelum pagi tadi Aku balik nama menjadi milik Mita."
"Kau serius, tapi bagaimana bisa secepat itu?" bingung Reno.
Regan pun menjelaskan kalau sebenarnya kafe tersebut sudah lama dia dapatkan, tapi masih menggunakan namanya, dan tadi pagi dia mengubahnya menjadi milik Mita.
"Sepertinya kau menyukai istrimu sendiri dengan begitu cepat. Apa wanita itu sungguh mempesona?"
Regan terbayang sosok Mita. Bukan mempesona, tapi seperti bunglon yang suka berubah-ubah, dan di saat yang sama Mita sulit ditebaknya.
"Mempesona apanya? Dia sangat menyebalkan. Terhitung seminggu menikah, tapi sampai sekarang dia bahkan tidak bisa disentuh, dan Mita tidak melakukan tugas apapun yang mencerminkan kalau dia istriku. Aku bahkan sampai berpikir, sepertinya dia cuma numpang tinggal dan makan gratis!"
Tawa Reno pun pecah mendengar penjelasan sahabatnya. Dia tak berpikir seperti itu sebelumnya. Regan sangat pemaksa, tapi lihatlah dia bahkan tak bisa memaksakan apapun pada istri barunya.
"Tidak usah salah paham, Aku cuma ingin yang terbaik untuk anak-anakku. Salah satunya dengan tidak membuat ibunya menderita," jelas Regan mengenai alasannya memberikan kafe pada Mita.
"Jadi Kau tidak akan menceraikannya?" tanya Reno mengejutkan Regan.
Pria itu mengerutkan dahi, tampak seperti berpikir keras. Menghela nafasnya kasar sambil berdiri. Regan sepertinya tak mau menjawab pertanyaan itu.
"Sudah lumayan larut, wanita bodoh itu mungkin belum makan malam. Aku harus pulang agar calon anakku tidak mengalami hal buruk," jelas Regan mengalihkan pembicaraan.
Reno langsung berdecak kesal, tapi tak menahan Regan. Dia tahu sahabatnya sangat penyayang terhadap anaknya. Bahkan pada Alana juga, hanya saja sikapnya berubah sejak bercerai.
*****
"Keluyuran terus, habis dari mana?!"
Mita tampaknya balas dendam, sejak sore dia sudah menunggu kepulangan Regan, tapi pria itu baru terlihat saat hampir tengah malam.
"Bau alkohol, huek--" Mita reflek menjauh, tapi Regan tidak tersinggung dan berpikir hal itu efek dari kehamilannya. "Kamu mabuk?"
"Tidak!" jawab Regan singkat dan memasang wajah datarnya. "Aku hanya minum, tapi tidak sampai mabuk."
Mita mendengus kasar dan tak percaya. "Apa bedanya itu. Minum berarti mabuk. Udahlah, sana mandi, ganti baju dan jangan lupa abis itu makan malamku. Aku kelaparan sejak tadi!"
Regan langsung berlalu tanpa memperdulikan atau bahkan menjawab. Dia mendesah kasar menyadari Mita bahkan kurang sopan padanya karena tidak memakai embel-embel panggilan khusus pada orang yang lebih tua. Sial. Parahnya bahkan berani mengomelinya.
"Mita!!" panggil Regan saat sudah di dalam kamar mandi.
Wanita itu langsung menghampiri suaminya, dengan ragu-ragu masuk ke dalam. Mita mendesah lega saat Regan masih mengenakan pakaian lengkapnya.
"Ada apalagi sih? Aku capek dan udah lapar tahu!" gerutunya dengan malas.
Regan langsung menatapnya tajam, membuat Mita meneguk ludahnya kasar, dan mundur untuk menjaga jarak aman.
"Aku ingin bicara serius sama kamu," ungkap Regan.
Mita mengangguk setuju sembari menutup hidung, karena merasa mual dengan aroma alkohol yang tertinggal pada Regan. Hal itu mungkin terjadi karena dia belum makan. Mita menahan diri lantaran takut perutnya begah seperti sebelumnya karena makan malam dua kali.
"Mandi dulu nggak, sih?"
"Baiklah, tapi setidaknya sebelum itu kau harus memanggilku, 'mas.' Karena aku lebih tua dan juga suamimu," terang Regan.
Namun Mita bukan wanita yang manis dan mudah menurut. Dia agak pemberontak meskipun sejujurnya apa yang Regan katakan tidak memberikan efek apapun kepadanya.
"Kenapa engga 'om' aja. Kan lebih cocok, kamu terlalu tua untuk gadis muda seperti aku!"
Regan segera memperingatkannya tanpa bicara. Pria itu langsung menghunuskan tatapan tajamnya dan berhasil membuat Mita patuh.
"Iya-iya, Mas Regan. Gitukan, udah aku panggil nggak usah marah, entar cepat tua. Tua ditambah tua jadi tua bangk*!"
"Mita!!"
Brugh!
Blam!!
"Fiuh! Hampir saja." Mita menarik nafasnya kemudian membuangnya perlahan. Dia berhasil kabur dari Regan sebelum pria itu meledak.
"Jadi laki-laki pemarah bangat udah kayak emak-emak! Sedikit-sedikit ngomel. Haiss, padahal Leo tidak seperti dia!" ungkap Mita tanpa sengaja membandingkan kedua bersaudara tersebut.
Begitu sadar dia langsung mengumpat kesal. "Ngapain ingat penghianat yang tidak tahu malu itu. Ch, udahlah mending aku ke dapur, minum untuk menunda lapar."
*****