Selamat membaca.
***
Aku menyayanginya seperti aku menyayangi teman-temanku yang lain, tidak ada maksud lebih di dalam hatiku, bahkan berharap padanya saja, aku tidak.
--
Diandra yang masih sibuk dengan pekerjaanya yang tak kunjung selesai sedari tadi pun langsung terdiam saat mendengar sebuah suara yang sama sekali tidak pernah ia dengar, sebelumnya, mengejutkannya, berasal dari belakang tubuhnya, dengan pelan dan hati-hati DIandra memutar tubuhnya, melihat sumber suara itu, jujur saja ia terkejut, terlebih ini sudah malam hari, dan saat ini Diandra juga tengah sendirian.
“Ada yang bisa aku bantu?” suara itu membuat sendi di tubuh Diandra bergerak untuk memutar posisi, Diandra mengerjapkan matanya, ia sering melihat laki-laki itu, yang juga bekerja di samping kantornya, yang kalau tidak salah adiknya dari Ibu Asila tadi, karena sering kali Diandra dulu melihat Airin dan cowok ini satu kendaran, kalau cowok itu suami Airin rasanya tidak mungkin, pasalnya wajah laki-laki yang masih ada di depan Diandra itu terlihat sangat muda.
“Oh ma’af, sebelumnya perkenalkan aku Rafin, adik dari Kak Airin, dia nyuruh aku bantuin kamu,” laki-laki dengan menggunakan kaus berwarna kuning redup, juga yang tengah mengenakan celana jeans itu mengelurkan tangannya, membuat Diandra menyambut hangat tangan itu.
“Aku Diandra,” sahut Diandra sambil membalas jabatan tangan Rafin. “Mau bantuin aku? Bantuin apa?” Tanya Diandra bingung, pasalnya dia merasa tidak kenapa-kenapa dan tidak membutuhkan bantuan apa-apa.
Rafin menceritakan bahwa ia dan keluarganya baru saja selesai makan malam di supermarket ini, dan saat ingin pulang Rafin dan keluarganya malah kehilangan Asila yang baru saja bisa berjalan, Rafin juga keluarganya tentu tidak tinggal diam, laki-laki yang ternyata memiliki dua saudari perempuan – ia anak nomor dua itu pun menelusuri supermarket ini, dan saat ia kembali, syukurnya Asila sudah ditemukan, dan Kakaknya bercerita bahwa yang menolong mereka adalah perempuan yang tempat kerjanya bertetangga dengan mereka.
Sebenarnya Rafin juga tak sekali dua kali melihat Diandra ada di lingkungan pekerjaanya, Rafin juga tahu bahwa kantor tempatnya bekerja dan Diandra bertetangga, dan karena perintah kakaknya – yang memberitahu Diandra terlihat perlu bantuan karena Airin juga melihat Diandra membawa keranjang yang penuh dengan belanjaan.
“Hahaha,” Diandra merespon dengan tawa setelah mendengar penjelasan dari Rafin. “Padahal enggak apa-apa, aku bisa sendiri kok,” jawabnya menolak tawaran Rafin dengan halus.
Setelahnya Rafin hanya diam, ia kurang bisa memberikan ekpresi apa yang pantas ia tampilkan kepada Diandra, tapi ia tetap membantu Diandra memasukan belanjaannya ke bagasi mobil perempan itu, walau pun kata Diandra sendiri ia tidak membutuhkan bantaun dari Rafin.
Setelah selesai dan Diandra mengucapkan kalimat terima kasih pun, Rafin tidak bisa menjelaskan apa maksudnya menghampiri Diandra, yah setelah melihat mobil Diandra berlalu meninggalkannya Rafin hanya diam kaku di tempatnya, ternyata Rafin masih tidak bisa mengungkapkan apa yang ingin ia lakukan – bukan hanya membantu perempuan itu.
Diandra sebenarnya bukan orang yang asing bagi Rarfin, Rafin ingat betul tentang perempuan itu, Diandra adalah kakak kelasnya di bangku sekolah dasar, Rafin yang baru saja bekerja di toko alat kesehatan Gigi pun terkejut bukan main saat tahu Diandra bekerja di lingkungan kerjanya, beberapa kali Rafin mencoba mengenal Diandra lebih dekat, tapi Rafin sungguh bingung bagaimana caranya ia bisa mendekati perempuan, bagaimana langkah awalnya untuk mengenali perempuan itu.
Dan malam ini untuk kesempatannya yang pertama yang didapatkanya, Rafin malah menyianyiakan kesempatan itu, tapi setidaknya, berkenalan dengan Diandra, ramah dengan perempuan itu bukan lah hal buruk untuk langkah pertama yang Rafin ambil.
“Semoga suatu saat ya, Diandra,” kata Rafin sambil melangkah ke arah mobilnya terparkir.
***
Sedangkan Diandra yang baru saja sampai ke rumahnya kembali mendengus sebal, kenapa Diandra tadi tidak membawa sekalian keranjang yang ada di supermarket itu untuk membawa seluruh barang belanjaannya ke dalam rumahnya, kalau begini kan ia mesti menjenteng satu-satu bahan belajaannya dan dibawa ke dapur, ah menyebalka sekali rasanya, pekerjaan Diandra rasanya benar-benar tidak ada habisnya malam ini.
Diandra menarik napasnya, perempuan itu menyandarkan tubuhnya ke mobilnya, berat rasanya hari ini ia jalanin, Diandra lelah dan entah kenapa juga merasa ada bagian hatinya yang gembira. “Namanya Rafin ...,” lirih Diandra kepada dirinya sendiri, mengingat nama laki-laki itu.
Ia juga tak mengungkiri, sering kali perempuan itu melihat Rafin yang wara-wiri di sekitaran lingkungan kantornya dan Diandra tidak percaya laki-laki yang tingginya terlihat 170 cm itu akhirnya menyapanya, membantunya dan ah sial, kenapa laki-laki itu tidak meminta nomor ponselnya, ya ampun, apa ini, kenapa Diandra malah berbicara aneh seperti ini.
Diandra mengelus pelipisnya pelan, ia sadar selama ini ia terjebak di dalam hubungan yang tidak bisa dijelaskan namanya apa, dengan Azlan, walau laki-laki itu baik, perhatian juga selalu ada untuk Diandra, tapi Diandra belum merasa puas atas itu semua, bukan berarti Diandra maruk, ingin lebih dari ini, tapi, Diandra ingin memiliki Azlan dengan seutuhnya, Diandra tidak mau hanya berstatus ‘dekat’ dengan Azlan saja, karena setatus itu akan menjadi boomerang bagi Diandra sendiri kalau nanti Azlan malah punya perempuan lain selain dirinya, ia pasti akan terbuang sia-sia kalau tidak punya status yang pasti dengan laki-laki itu.
Sungguh, kadang Diandra sendiri bingung harus bersikap seperti apa dengan Azlan, Azlan begitu manis dan lembut kepadanya dan tentu membuat Diandra berprilaku yang sama terhadap laki-laki itu, saat Diandra kesepian pun Azlan lah tempat lari Diandra, tapi Diandra paham, hal ini tidak akan selamanya terjadi kalau Diandra dan Azlan tidak benar-benar meresmikan hubungannya, tidak benar-benar mengatakan apa yang akan mereka rencanakan ke depannya.
Diandra juga selama ini tidak akan bisa melakukan hal yang diluar batas terhadap Azlan – sepeti cemburu saat Azlan jalan dengan perempuan lain, tidak bisa menuntut waktu yang lebih banyak kepada Azlan saat laki-laki itu tidak memiliki waktu luang untuk bertemu dengannya, karena Diandra tahu ia belum menjadi apa-apa di hidup Azlan, tapi mungkin saat Diandra mengatakan itu semua kepada Azlan, Azlan akan menerimanya, karena Diandra rasa, Azlan juga memiliki perasaan yang sama dengan apa yang Diandra rasakan padanya selama ini.
Kepala Diandra sungguh berat rasanya saat memikirkan hubungannya dengan Azlan, kata siapa tidak berstatus apa-apa dengan laki-laki yang kita sukai itu mengenakan, walau Azlan juga sudah tahu bagaimana perasaan Diandra kepadanya, laki-laki itu belum mengambil keputusan apa pun terhadap hubungan mereka, kalau begitu caranya, boleh kan Diandra suka sama laki-laki lain?
--