Prolog
Selamat membaca
–
Waktu yang membawaku kepadamu, dan aku harap, waktu jualah yang tidak akan pernah membawaku pergi darimu.
–
Diandra menarik napasnya dalam-dalam, perempuan itu memandang kota Banjarmasin dari sini, dari tempat ia duduk sekarang, lama-kelamaan, pandangannya kabur, matanya ingin sekali menumpahkan air yang sedari tagi tergenang di pelupuk matanya, menumpahkan rasa sesak yang selama ini ia rasakan, ia tidak mengerti lagi harus bagaimana, selain menangis, ia tidak tahu bagaimana caranya menumpahkan perasaanya ini, ia tidak tahu harus pergi kemana lagi.
Ia menyukai laki-laki itu, menyukai laki-laki yang sudah menolongnya delapan bulan lalu, laki-laki itu masih saja ada di kepala Diandra hingga sampai detik ini, walau pun sudah menghilang selama enam bulan belakangan ini, tapi laki-laki itu masih saja menghantui hidup Diandra, tanpa sedetik pun beranjak dari kepala Diandra, dari pikiran perempuan itu.
Merasa kehilangan, merasa ditinggalkan, Diandra harusnya sadar, Rafin – laki-laki yang sudah mencuri hatinya itu, yang membuat detak jantungnya menggila saat bersama dengan laki-laki itu, nyatanya sudah meninggalkanya, sebagai perempuan yang tak diinginkan oleh Rafin, harusnsya Diandra sadar, ia tidak dibutuhkan Rafin, tidak diinginkan, Diandra dibuang oleh Rafin dan Diandra harusnya sadar bahwa ia tidak usah repot-repot memikirkan laki-laki itu lagi, Rafin saja meninggalkannya begitu saja, tanpa jejak dan kejelasan, lalu untuk apa Diandra menangis-nangis kehilangan laki-laki itu.
Azlan mengelus rambut Diandra yang sudah ikut jatuh di saat kepalanya tertunduk, dadanya bergemuruh hebat, harusnya ia mengungkapkan semuannya, mengungkapkan bahwa Azlan mencintai perempuan itu, dan akan membuatnya bahagia, tidak hanya diam seperti ini saja, seperti laki-laki pengecut, Azlan harusnya bergerak saat melihat perempuan yang ia sukai menjadi terbuang seperti ini, menangis tersakiti seperti ini.
“Diandra.” Azlan memanggil dengan lirih, ia mengangkat dagu perempuan itu dengan pelan, menyapu air mata yang turun dari mata perempuan itu, dan tanpa izin Diandra, Azlan menyatukan bibir mereka, mengecup lembut bibir merah Diandra, Diandra tidak menolak, juga tidak memebrontak, tapi Diandra juga tidak membalas lumutan yang diberikan oleh laki-laki itu, Diandra hanya diam, mencoba menikmati ciuman itu, tapi ia sama sekali tidak merasa bahagia, atau merasa harus membalas ciuman itu.
Diandra sadar, bahwa ia hanya ingin Rafindra, bukan Azlan yang saat ini mencintainya tanpa pamrih.
–