PLAK
Suara telapak tangan yang mendarat kasar di pipi itu menggema. Semua orang tersentak. Song Tae Eul menutup mulut dengan kedua tangan, sementara Kim Sun Yi terbelalak di tempatnya. Kedua wanita itu tak bisa berucap apa-apa selain menatap sang putra mahkota yang baru saja menerima tamparan keras dari ayahnya.
“Pembatalan nikah katamu?” desis Kim Seo Dam.
Kim Seo Hyung menahan wajahnya tetap di bawah. Tubuhnya sampai membungkuk karena terlalu keras tamparan yang ia terima tadi. Seketika rahang Seo Hyung mengencang dan membiarkan tangannya tetap di pipi.
“Kau pikir ....”
Terjadi jeda panjang pada ucapan Kim Seo Dam barusan. Wajahnya bergetar menampilkan tulang rahang yang kini mengencang sempurna. Lelaki yang punya tatapan tajam dan suara diktator itu memandang putranya dengan pandangan menyala. Bagai kobaran api pada ujung pedang bermata dua yang kini menghunus ke sana, pada wajah yang terhalang oleh telapak tangan.
Sudut bibir Seo Hyung berkedut, lantas tersenyum kecut. Ia mulai menarik tubuhnya hingga berdiri tegak. Dirasakan lelaki itu jantungnya berdetak kuat dengan tekanan menyakitkan. Namun, ada sesuatu dari dalam diri Seo Hyung yang memaksanya untuk memandang kedua mata cokelat milik ayahnya.
Wajah Kim Seo Dam masih bergetar. Merah dan penuh amarah. Untuk beberapa detik yang panjang, lelaki itu terus memandang putranya dengan pandangan penuh teror, intimidasi dan otoriter.
“Kau bukan bocah ingusan, Seo Hyung. Kau pria dewasa dan kau seorang KIM!” tandas Seo Dam pada saat menyebutkan klan mereka.
“Ayah,” panggil Seo Hyung. Setelah memanggil ayahnya, lelaki itu malah terdiam. Tenggorokannya mendadak tersekat hingga ia perlua menelan saliva. Sekilas Kim Seo Hyung memalingkan wajah lalu kembali memberanikan diri memandang ayahnya.
“Park Ahn Lee tidak mencintaiku,” lirih Seo Hyung. Matanya bergetar oleh emosi. Hati Seo Hyung terasa sakit bukan karena amarah ayahnya, tetapi pada dirinya sendiri yang tampak lemah dan tak berdaya. “Aku juga tidak mencintainya, Ayah.”
“Cih!” Kim Seo Dam mendecih halus lalu memalingkan wajahnya. Lelaki itu berkacak pinggang dengan napas yang berembus kasar.
“Cinta katamu?” Kim Seo Dam kembali memutar wajah dan memandang Seo Hyung semakin nyalang. Ia mendekat. Napasnya berembus kasar. Kim Seo Dam tampak seperti predator. Bagai anaconda dan Kim Seo Hyung merasa seperti anak anjing yang terlilit di dalam lingkaran kekuatan yang besar. Tak dapat bergerak. Bahkan untuk menyalak pun ia tak berani. Benar-benar nyalinya terbunuh.
“Apakah cinta bisa memberimu makan? Apakah dengan cinta kau bisa hidup bergelimang harta seperti ini?!” Kim Seo Dam menggeleng dan semakin melebarkan mata dengan pandangan nyalang. “Aku tidak pernah percaya dengan cinta, Seo Hyung. Aku dan kau adalah individu. Kita cerdas!” tandas Seo Dam sambil mengarahkan telunjuknya ke bawah.
“Kau Kim Seo Hyung dan Kau gemilang. Kau luar biasa. Kau bisa menciptakan dunia dengan kedua tanganmu, apabila kau mempunyai tekad. Dan untuk tekad yang besar itu, aku harus melenyapkan perasaan yang disebut cinta. Cinta tak bisa memberimu kekuasaan, Kim Seo Hyung, tetapi kau harus cerdas untuk membuat kerajaanmu sendiri. Aku menikahkanmu dengan Park Ahn Lee bukan untuk menaikkan derajat keluarga. Tidak!” Kim Seo Dam menggelengkan kepalanya.
“Kau menikah dengan Park Ahn Lee untuk menyatukan kekuatan. Agar kelak tak ada lagi yang bisa mengalahkanmu. Dan kau datang padaku dengan gampang mengatakan bahwa kau tidak siap menikah hanya karena cinta?” Kim Seo Dam kembali menekan kalimat akhir. Ia mendecih. Menarik sudut bibirnya ke atas dan bergetar. Ia memandang tubuh Seo Hyung dari bawah hingga ke atas lalu memutar tubuhnya.
“Cinta! Cih!” Berkali-kali lelaki itu mendecih. “Kau itu laki-laki, Seo Hyung, seharusnya kau lebih tegas. Lebih berprinsip. Kau harus bisa menaklukkan Park Ahn Lee.”
“Ayah, bagaimana kau bisa dengan gampang mengatakan jika aku harus lebih tegas dan berprinsip padahal semua ini bukan keinginanku. Aku tidak ingin menikah, Ayah. Tidak bisakah kau percaya padaku? Percaya jika aku bisa memajukan perusahaan kita tanpa harus menikah dengan putri dari keluarga Park.”
“KIM SEO HYUNG!” Teriakan itu keluar dan menciptakan gema hingga dinding-dinding pun gemetar mendengarkannya.
Song Tae Eul menoleh ke samping dan bergerak memeluk putrinya. Sementara Sun Yi tidak bergerak sedikit pun. Matanya memandang sang ayah dengan pandangan nanar. Namun, dalam hati ia menjerit. Takut dan marah. Melihat betapa menakutkan ayahnya, tetapi di sisi lain dia juga ingin menolong kakaknya.
Walaupun Kim Sun Yi masih remaja, tetapi ia telah mengerti dengan betul bagaimana arti sebuah pernikahan. Melihat pernikahan ayah dan ibunya yang sangat jauh dari kata romantis. Mungkin Kim Seo Dam ingin menciptakan pernikahan yang sama bagi putranya, tetapi Kim Sun Yi yakin jika seorang Park Ahn Lee bukan wanita baik-baik. Dan lagi, sang kakak tidak mencintainya lalu untuk apa?
Bukankah definisi pernikahan itu adalah untuk menyatukan dua insan yang saling mencintai? Jika tak ada cinta bagaimana kedua insan bisa menyatu. Sebenarnya apa yang ingin dilakukan Kim Seo Dam pada kakaknya? Namun, walaupun niat Sun Yi ingin membela kakaknya, ia tetap diam seribu bahasa.
“Apakah aku harus mengingatkan siapa dirimu?”
Mendengar ucapan itu membuat Kim Seo Hyung menundukkan kepala. Meremas kedua tangan dan mengatupkan bibir rapat-rapat. Inilah yang ia benci. Sang ayah selalu mengingatkan di mana posisinya. Seketika membunuh karakter Kim Seo Hyung tanpa ampun.
“Maafkan aku,” gumam lelaki itu dengan nada lirih. Ia berusaha menahan lapisan cairan bening yang telah mengungkung netra cokelatnya. Mengembuskan napasnya dari mulut sebelum menenggakkan pandangannya.
“Maafkan aku, Tuan Kim Seo Dam.”
Kim Seo Dam menghela napas dan mengembuskannya dengan tenang. Lelaki itu mengangkat dagunya tinggi. Selalu merasa merdeka ketika sang putra tunduk kembali padanya dan inilah yang diinginkan oleh Kim Seo Dam.
Ia mendekat. Menepuk sebelah pundak Kim Seo Hyung dengan tangannya. Ia pun menganggukkan kepalanya lambat-lambat. Seolah amarah yang meledak-ledak tadi meluruh ketika putranya telah tunduk dan tahu kalau dia akan menuruti perkataan Kim Seo Dam yang agung.
“Bagus, kalau begitu kau sudah tahu apa yang harus kau lakukan. Pergi ke rumah Park Ahn Lee dan minta maaf padanya. Bawa sesuatu untuk ke sana. Kalung berlian mungkin. Bahkan jika perlu berlutut dan cium kakinya.”
Hati Kim Seo Hyung mencelos perih. Sekali lagi sang ayah secara gamblang mengatakan jika keluarga Kim ini sebenarnya tak sekuat yang dipikirkan orang-orang. Kim Seo Dam sendiri yang menyuruh putranya mengemis pada keluarga Park.
“Kau bisa lakukan itu, kan?” tanya Seo Dam. Kim Seo Hyung menundukkan kepala. Lebih tepatnya ia menjatuhkan pandangan. Malu, marah dan kalut. “Nak?”
Kim Seo Hyung kemudian mendongak. Menatap ayahnya. Andai saja panggilan tadi lebih bermakna. Andai saja diucapkan dengan tulus, pasti Kim Seo Hyung akan bahagia, akan tetapi Kim Seo Hyung tahu dengan pasti jika itu semua hanya sebuah kepalsuan.
Memang sangat jarang Kim Seo Dam memanggilnya dengan sebutan ‘nak’ namun Seo Hyung juga tak akan bangga saat Kim Seo Dam memanggilnya seperti tadi. Walaupun dengan nada lembut, tetapi punya maksud busuk dan Kim Seo Hyung sangat membenci semua kepalsuan itu.
Namun, takdir seperti tidak memberikan pilihan lain kepada Kim Seo Hyung sehingga ia dengan mudahnya menganggukkan kepala.
“Bagus,” kata Seo Dam. Ia tersenyum sesaat lalu menepuk kembali bahu Seo Hyung. “itu baru putraku.” Lanjut Seo Dam.
“Apa sudah selesai?” tanya Seo Hyung dengan raut wajah tanpa ekspresi. Bahkan lelaki itu seolah tak sudi lagi menatap ayahnya.
Kim Seo Dam memandang putranya dengan setengah alis yang terangkat. Melayangkan pandangan sinis, tetapi bibirnya memilih untuk tidak berucap. Lelaki itu lalu menganggukkan kepala.
Tanpa menunggu lebih banyak waktu lagi, Kim Seo Hyung langsung memutar tubuh dan melesat dari depan ayahnya. Pemuda Kim itu menaiki anak tangga dengan cepat. Semakin cepat dan seolah tergesa-gesa ingin menuju kamarnya. Tangan Seo Hyun pun terulur. Menekan gagang pintu lalu setelah tubuhnya melewati benda yang disepuh warna putih itu, ia pun mengayunkan tangannya.
Bunyi daun pintu yang dibanting pun menggema hingga ke lantai satu. Kim Seo Dam sempat menggertakkan gigi. Ia tahu persis jika putranya tak segenap hati menuruti perintahnya.
“Kau memang monster!”
Kim Seo Dam menggerakkan wajah hingga ke samping. Ia menoleh dari balik lehernya. Ditatapnya bola mata Kim Sun Yi yang kini berwarna merah berlapis air mata.
“Kau memang monster!” desis Sun Yi.
Ia berjalan cepat lalu berhenti di samping ayahnya. “Entah sampai kapan kami akan hidup seperti ini. Mungkin neraka akan terasa menyenangkan dibandingkan tinggal di tempat ini.” Kim Sun Yi memutar wajah dan melayangkan tatapan penuh kebencian pada lelaki bengis yang merupakan ayahnya.
Namun, Kim Seo Dam tak mau menggubris selain mendecih sinis. Ia membiarkan putrinya pergi disusul dengan sang istri.
“Argh!” geram Seo Hyung. “jika tidak ada yang mau menuruti perintahku, kalian bebas pergi. Pergi dan coba melawan dunia. Akan kulihat seberapa kuat kalian bisa bertahan tanpa kekuatanku.”
Kim Seo Dam memutar tubuh. Menggeram sekali lagi lalu menonjok nakas persegi panjang terbuat dari kayu. Lelaki itu dipenuhi amarah. Meledak-ledak dan tak terkontrol. Jantung Kim Seo Dam semakin bertalu kencang hingga membuat kedua tangannya bergetar.
“Sial!” Dengan cepat Kim Seo Dam menarik laci dan mengeluarkan obat jantungnya dari sana. Mengambil dua pil dan langsung menelannya. Kim Seo Dam menghela napas sambil menutup mata lalu mulai memikirkan hal indah untuk menenangkan pikirannya.
Satu-satunya hal indah yang bisa diingat oleh memori seorang Kim Seo Dam adalah kehidupan masa lalu di mana anak-anaknya masih kecil. Penurut dan bahkan menatapnya dengan segan.
Kim Seo Dam adalah kepala keluarga yang disegani sejak dahulu. Namun, ke mana perginya semua rasa segan itu? Mengapa anak-anaknya kini makin membangkang?
Padahal mereka tahu persis jika kelak, semua yang ia usahakan, semua yang telah ia bangun dari nol, semua yang ia miliki, semua itu akan jatuh pada kedua anaknya. Namun, betapa sulit memahami hati seorang ayah.
“Dasar tidak tahu diuntung!” desis Kim Seo Dam.
Sementara di dalam kamarnya, Kim Seo Hyung berada di teras. Memandang burung-burung yang lalu lalang di atas dan di bawah kolong langit. Mereka bebas terbang ke mana pun mereka mau. Tidak takut bahaya. Tak peduli entah akan makan apa. Mereka tampak bahagia bersama kawanan. Membuat atraksi di langit seakan-akan hendak menghibur manusia seperti Kim Seo Hyung, tetapi di sisi lain juga membuat Kim Seo Hyung iri.
Ya. Siapa yang tidak akan iri pada burung yang bebas terbang ke sana ke mari. Mereka hanya burung. Seratus kali lebih kecil dibandingkan tubuh Kim Seo Hyung, tetapi mengapa?
Mengapa Kim Seo Hyung yang punya IQ di atas rata-rata itu tak punya keberanian seperti burung yang bahkan tak memiliki akal budi?
Apakah takdir memang benar-benar mau mengejeknya? Memberitahu pada Kim Seo Hyung jika dia tak bisa apa-apa selain menjadi boneka Kim Seo Dam?
‘Kita lihat apakah kau berani mengatakan pembatalan pernikahan ini pada ayahmu.’
‘Kau pikir pria sepertimu layak menjadi suamiku?’
‘Ingat Seo Hyung, perusahaanmu dipertaruhkan dalam pernikahan ini. Jika kau berpikir bisa lari dari pernikahan ini, maka aku jamin kau akan tamat sebelum melakukannya. Kau, Adalah bonekanya Kim Seo Dam!’
Rahang Seo Hyung mengencang ketika kelebat percakapannya dengan Park Ahn Lee memenuhi pikirannya.
“ARRGGHHH ...,” teriak lelaki itu.
Sekali lagi. Kim Seo Hyung hanya bisa berteriak. Itulah satu-satunya cara untuk meluapkan amarah. Namun, sampai kapan?
__________