Butuh banyak perhitungan dan melalui pemikiran yang cukup panjang, tapi akhirnya Kim Seo Hyung pun menyerah pada perintah mutlak dari seorang Kim Seo Dam.
Sudah hampir setengah jam ia habiskan untuk termenung di dalam mobil sport mewah miliknya. Tatapannya kosong menatap jalanan sepi di depannya sedangkan rahangnya kini mengencang sempurna.
Sekejap ia menoleh pada rumah besar dengan gerbang yang terbuka lebar seolah telah menantinya sejak tadi. Kim Seo Hyung berpikir apakah benar ia harus masuk ke sana? Apakah ia rela kehilangan harga diri untuk mengemis pada keluarga Park?
Semua pemikiran itu membuat Seo Hyung gamang sehingga ia pun mengembuskan napas gusar dan kembali membawa pandangannya lurus ke depan. Tampak kedua tangannya mengencang di atas stir mobil dan berharap semua ini hanya mimpi, akan tetapi embusan napas yang menggema di depan wajahnya terlalu nyata, sehingga membuat Kim Seo Hyung sadar jika ini semua bukan sekadar mimpi semata. Maka satu-satunya yang harus dilakukan Seo Hyung saat ini adalah turun dari mobil dan menghadapi kenyataan yang telah berada di depan matanya.
Sempat terdengar bunyi decakan bibir sebelum akhirnya Kim Seo Hyung mendorong pintu di sampingnya. Lelaki bertubuh jangkung itu melesak keluar dari dalam mobilnya.
Raut wajahnya terlihat kesal, kalut dan marah. Namun, ia sepenuhnya sadar jika semua perasaan ini tidaklah berguna apabila ia tetap tak bisa melawan Kim Seo Dam.
Lelaki itu berbalik dan menunduk untuk mengambil sebuket mawar merah beserta sebuah kotak beludru merah muda. Kim Seo Hyung membawa kedua benda itu bersamanya dan menuju ke dalam rumah megah milik keluarga Park.
"Selamat datang, Tuan Muda."
Dua lesung pipi muncul ketika senyum membingkai wajah tampan nan rupawan itu. Ia menundukkan kepala sebagai bentuk hormatnya atas sapaan tadi.
Pemuda Kim itu kembali melangkah, tetapi baru semeter langkahnya ia kemudian terhenti lalu membalikkan tubuh menghadap seorang pria paruh baya yang tadi menyapanya.
"A ... permisi."
Pria paruh baya itu menoleh. Memandang dengan hormat sebelum berucap, "Ya, Tuan Muda."
Mulut Seo Hyung terbuka. Sekilas memutar pandangannya ke belakang lalu kembali dengan cepat.
"Apa ... Park Ahn," —Seo Hyung menggelengkan kepalanya— "maksudku, nona Park, apa dia ada di dalam?"
Tampak lelaki di depan Seo Hyung hendak berucap. Terlihat dari mulutnya yang sempat menganga saat membawa pandangannya ke atas. Lalu dengan cepat ia memindahkan tatapan ke arah garasi. Lelaki paruh baya itu memicingkan mata seolah mempertajam penglihatan. Sejurus kemudian ia pun memandang Kim Seo Hyung.
"Kurasa ya, Tuan Muda. Mobil nona Park ada di garasi itu tandanya dia sedang berada di rumah," ujar pria paruh baya tersebut.
Kim Seo Hyung lalu mengangguk. Ia pun tersenyum dan berucap, "Terima kasih."
Pria paruh baya itu membungkuk setengah badan. Cara lain untuk mengucapkan terima kasih. Setelah mendapatkan jawaban, Kim Seo Hyung lalu memutar lutut dan melanjutkan langkahnya.
Berjalan semakin dekat pada sepasang pintu raksasa berwarna putih yang tertutup rapat, membuat jantung Seo Hyung berdetak penuh kewaspadaan.
Pemuda Kim Itu mencoba untuk mengatur napasnya yang mulai menyesak di d**a. Ia menghela napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan dari mulut dan membuat desahan panjang, "Fyuh ...."
Sungguh, dalam hati Kim Seo Hyung sama sekali tidak ingin melakukan semua ini. Semalam ia terjaga hanya untuk memikirkan bagaimana caranya untuk bisa keluar dari situasi ini. Mungkinkah ia bisa melarikan diri?
Ya, Kim Seo Hyung telah memikirkannya. Mengambil deposit lalu pergi ke mana pun asalkan ia bisa terbebas dari ayahnya, akan tetapi ketika pemuda Kim itu kembali memikirkannya, ia menemui kebuntuan pada otak cerdasnya.
Apalagi saat suara sang ibu, Song Tae Eul menggema dengan permohonan, ‘Seo Hyung, jika bukan kau siapa lagi yang bisa melindungi ibu dan adikmu?’
Dalam sekejap semua rencana itu hancur dan Kim Seo Hyung pun menyadari bahwa ia sama sekali tak bisa pergi dari kekangan sang ayah yang terlalu berkuasa atas segala yang Seo Hyung miliki.
Untuk sekejap, Kim Seo Hyung lupa jika ayahnya bisa melakukan apa saja. Maka untuk itulah ia berada di sini. Semua pemikiran tentang Kim Seo Dam yang otoriter membuat tubuh Seo Hyung lemah hingga tangannya pun terasa lemas seakan tak sanggup menekan bel pintu, tetapi Seo Hyung memaksakannya.
Bunyi bel telah menggema dan semakin membuat jantung Seo Hyung berdetak meningkat.
'Kau bisa pergi, Seo Hyung. Ya. Kau bisa! Pergi dan lari dari semua ini. Mulai hidup baru tanpa bantuan Kim Seo Dam. Kau pasti bisa. Mana ada yang menolak dirimu. Pergilah, Seo Hyung.'
'Jangan bodoh, Seo Hyung, kau tahu apa yang akan dilakukan Kim Seo Dam. Dia berkuasa dan sanggup melakukan apa pun. Lagi pula ini sudah takdirmu. Tidak ada cara lain. Kau harus melakukannya. Lakukan dengan cepat dan kita akhiri semua ini.'
'Bodoh! Apakah seumur hidupmu kau ingin menjadi boneka Kim Seo Dam? Menatap seperti singa yang tak memiliki taring? Bahkan untuk meraung pun kau tak sanggup. Satu-satunya yang bisa kau lakukan adalah melarikan diri.'
'Jangan bertindak impulsif, Seo Hyung. Turuti perkataan ayahmu. Turuti!'
Telinga Seo Hyung berdengung dan seketika menyambar pening di kepalanya.
"Argh!" Seo Hyung menggeram. Menutup mata rapat-rapat dan mengulum bibirnya.
"Selamat malam."
Bergegas Seo Hyung membuka kedua mata ketika mendengar suara seseorang. Walaupun kepalanya masih berdengung dan pening, Seo Hyung berusaha menatap wanita paruh baya yang berdiri di depannya.
Merasa jantungnya membesar bagai balon, Kim Seo Hyung berusaha keras untuk memperbaiki napasnya yang mulai memburu.
Wanita di depannya mengerutkan kening. "Tuan muda, Kim?"
Sempat terbesit dalam pikiran kalut Seo Hyung bagaimana orang-orang ini bisa dengan ramah memanggilnya dan tahu dia sebagai seorang klan dari Kim, padahal ia sendiri belum pernah datang kemari. Namun, sisi lain dalam diri Seo Hyung memberitahu jika mungkin identitasnya memang sedari dulu telah diberitahukan kepada seluruh pelayan. Mungkin keluarga Park tahu jika suatu saat nanti dia akang menginjakkan kaki di tempat ini. Dan hari itu pun terjadi.
"Tuan muda Kim, apakah Anda baik-baik saja?"
'Sembilan puluh tujuh, sembilan puluh delapan, sembilan puluh sembilan ....'
"Tuan muda?"
'Seratus.' Seo Hyung membuka mulutnya untuk melepaskan desahan panjang. Ia masih terdiam. Menelan saliva berat lalu menarik sudut bibirnya ke atas.
"Selamat malam," sapa Seo Hyung setelah berhasil mengalahkan serangan panik.
Sempat memandang Seo Hyung dengan pandangan was-was, wanita paruh baya itu akhirnya bergeming. Mengerjap beberapa kali lalu ia pun tersenyum.
"Selamat malam, Tuan muda, Kim, silakan masuk." Wanita itu melangkah mundur. Mengulurkan tangannya sambil membungkukkan badan.
Senyum kaku masih menghiasi wajah Seo Hyung, dan berusaha keras mengumpulkan segenap kekuatannya untuk bisa mengangkat kedua kaki. Lelaki muda itu menapaki lantai marmer sambil terus memperbaiki napasnya.
"Tuan muda, mari ku antar," ucap wanita itu.
Seo Hyung hanya bisa menganggukkan kepalanya dan mengikuti langkah si wanita yang membawanya ke ruang tengah. Di situ ia melihat Park Jang Hae bersama istrinya, Jeong Yoora sedang duduk bersantai di depan perapian.
Kim Seo Hyung tersenyum ketika pandangan Jeong Yeora menatapnya lewat sudut mata.
"Selamat malam, Tuan dan Nyonya Par," sapa Seo Hyung lalu membungkukkan badannya. Menahan selama beberapa detik sambil mengusahakan senyum yang lebih ramah. Akan gawat jika Park Jang Hae melihat senyum kaku di wajah Seo Hyung. Setelah siap, ia pun menegakkan badan.
Kini tampaklah wajah datar dari Park Jang Hae dan Seong Yoora. Juga embusan napas panjang dan kasar. Park Jang Hae menutup buku di tangannya. Melepas kaca mata lalu memandang pria muda di depannya.
"Jiho, tolong panggilkan Ahn Lee," kata Seong Yoora sambil memandang asisten rumah tangganya yang berdiri di belakang Seo Hyung.
"Baik, Nyonya," ucap wanita itu. Tanpa menunggu lebih lama lagi, ia langsung memutar tubuhnya dan mengerjakan perintah.
Terdengar geraman rendah baru saja meluncur dari kerongkongan Park Jang Hae. Lelaki itu mengulurkan tangan dan memberikan gestur supaya Kim Seo Hyung segera duduk.
Masih mengusahakan senyum di wajah, Kim Seo Hyung akhirnya berjalan mendekati sofa persegi panjang yang terletak berlawanan arah dengan Kim Seo Dam. Mulailah jantung Seo Hyung berdetak semakin meningkat, semakin menyakitkan.
Naluri Kim Seo Hyng menangkap sesuatu yang berbeda dari cara Park Jang Hae dan Seong Yoora menatapnya. Semua itu menjadikan suasana di sekeliling berubah mencekam.
‘Oh ya Tuhan, mengapa harus aku,’ batin lelaki itu.
_________________