15. Upaya Untuk Memohon Maaf

1675 Words
Semua orang terperanjat kaget. Seluruh pasang mata menatap serpihan kaca yang berhamburan di atas lantai. Yang pertama kali bergerak dari tempatnya adalah Song Tae Eul, disusul oleh lelaki yang menjadi asisten Kim Seo Dam. Dua orang itu berlari menghampiri si lelaki yang baru saja membanting botol wiski ke lantai. “Suamiku.” “Tuan besar.” Keduanya berdiri masing-masing di sisi kiri dan kanan Kim Seo Dam. Tangan Song Tae Eul bergetar ketika hendak meraih lengan suaminya. Melihat rahang Kim Seo Dam yang mengencang bersama wajahnya yang bergetar. Lelaki itu menepis kedua tangan yang hendak meraihnya. Kim Soe Dam memalingkan wajah sekaligus memutar tubuhnya. Di tempatnya, Kim Soe Hyung dapat merasakan aura penuh teror. Mengancam dan menakutkan. Membuat seisi alam semestanya bergidik dengan perasaan ngeri. “Aku telah-“ Kim Soe Dam menunda ucapannya. Ia menelan saliva berat sambil menutup matanya. Menghampiri nakas lalu mengayunkan tangan. PRANG “Yeobo!” Song Tae Eul menjerit dengan kedua mata yang terbelalak. Ia berlari menghampiri Kim Seo Dam yang sekali lagi membanting barang pecah. Kali ini dia mengambil guci lalu melemparnya hingga ke luar jendela. “YEOBO!” Dengan kedua tangannya, Song Tae Eul meraih tangan kanan Kim Seo Dam dan berharap ia bisa menghentikan perbuatan suaminya, tetapi ia tak bisa. Kim Seo Dam telah dikuasai oleh amarah. Pikirannya kacau. Malu sekaligus kecewa. Lelaki itu memutar tubuh dan mendaratkan kedua tangannya di tepi nakas. Urat-urat di lengannya mengencang ketika lelaki itu meremas tepian nakas. Kepalanya tertunduk masih dengan wajah yang bergetar. “Aku memberikan segalanya!” Desisan itu terdengar menakutkan, membuat siapa pun yang mendengarnya sanggup dibuat bergidik. Kim Seo Dam menggerakkan wajahnya. Menoleh ke belakang. Menatap si lelaki muda yang sedang menundukkan kepalanya. “Aku memberikan segalanya kepadamu, Kim Seo Hyung. AKU MEMBERIKAN SEGALANYA!” Kim Seo Dam berteriak lalu memutar tubuhnya. Ia melesat menghampiri Kim Seo Dam. Meraih sekaligus menarik kerah kemeja Kim Seo Hyung. Matanya merah dan wajahnya nanar. “Aku memberikan segalanya padamu, tetapi mengapa?!” Kim Seo Dam berucap sambil mengguncang-guncangkan tubuh Kim Soe Hyung. Kim Seo Hyung pun menatap sang ayah dengan pandangan nanar dan melirih penuh permohonan maaf, “Ayah ....” “Aku hanya ingin yang terbaik untukmu, tetapi mengapa kau mempermalukan aku sedemikian rupa, hah? Jika kau tidak ingin menikah mengapa tidak kau bunuh saja aku.” “Ayah ....” “Mengapa kau harus mempermalukan aku, hah? Mengapa?!” Kim Seo Dam menjerit. “Yeobo!” Song Tae Eul mendekat dengan cepat. Meraih satu tangan Kim Seo Dam untuk melepaskan cengkeraman tangannya. “Ayah, aku tidak melakukannya,” ucap Seo Hyung dan sungguh ia tak dapat menahan air mata. Hati Seo Hyung serasa diremas. Sakit. Melihat bagaimana wajah ayahnya dan untuk pertama kalinya, Kim Seo Hyung melihat tatapan kecewa dari ayahnya. “Yeobo, putra kita tidak mungkin melakukannya. Berhenti menyalahkan Kim Seo Hyung,” lirih Tae Eul. Wanita itu tiada henti menangis. Ketika Kim Seo Dam melepaskan kerah kemeja dari Kim Seo Hyung, ia pun melayangkan tangan kanannya. PLAK Punggung tangan Kim Seo Dam mendarat tepat di pipi Seo Hyung dan membuat wajahnya terlempar. “YEOBO!” “AYAH!” Song Tae Eul dan Kim Sun Yi berteriak secara bersama. Gadis muda yang sedari tadi berdiam diri sambil menahan air matanya lalu berlari menghampiri sang kakak. Belum cukup sampai di situ, Kim Soe Dam kembali menarik kerah kemeja Seo Hyung dan sekali lagi menampar pipi putranya itu. Cukup kuat. Song Tae Eul dan Sun Yi menjerit. “Yeobo!” Suara Son Tae Eul berubah bak decitan tikus. Memandang suaminya sambil berderai air mata. Ia menahan tangan kanan Kim Seo Dam agar jangan lagi memberikan tamparan di pipi putranya. “Empat puluh tahun lebih aku membangun citraku. Kulakukan segalanya dengan keringat bercampur darah,” – Kim Seo Dam berucap sambil membuka kedua tangan di depan da’da dan telapak tangannya seperti menggenggam sesuatu dan bergetar di depan wajah Seo Hyung yang masih tertunduk – “aku hanya tak ingin putraku hidup seperti aku. Aku tidak ingin anak-anakku tak makan sehari. Aku ingin mereka sejahtera bahkan hingga kepada keturunan mereka kelak. Aku tidak ingin mereka makan makanan sampah seperti yang aku dan keluargaku lakukan selama dua puluh tahun. Aku tidak ingin keluargaku menderita kelaparan. Untuk itu aku bekerja siang dan malam. Agar kelak anak-anakku bisa makan makanan bergizi, berpakaian layak, sekolah di tempat yang bagus hingga orang-orang tak menghina mereka seperti mereka mengina diriku saat muda. Seperti mereka meludahi wajahku ketika aku memungut makanan sisa. Ketika aku mengemis meminta makanan. Aku tak ingin kau dan adikmu merasakannya.” Kim Seo Dam berhenti berbicara, selain bola matanya yang melebar. Dengan tubuh setengah membungkuk itu, ia menatap wajah putranya. Memberitahu jika ada amarah yang bergelora, tetapi berusaha ditahannya. “Namun mengapa?” tanya Kim Soe Dam dengan nada setengah berbisik. Tangisan Song Tae Eul dan Kim Sun Yi masih terdengar. Entah harus bagaimana Song Tae Eul harus menghadapi situasi ini. Ia tak tahu. Wanita itu tak tahu harus berbuat apa selain menangisi semua yang sedang terjadi di depan matanya. “Mengapa kau begitu tega menghancurkan kerja kerasku, Kim Seo Hyung. Mengapa, hah?” Pelan namun pasti, Kim Soe Hyung menggerakkan wajah hingga ekor matanya menangkap ekspresi sang ayah. Bibir Seo Hyung bergetar, begitu pun dengan kelopak matanya. “Aku tidak melakukannya, Ayah. Demi Tuhan,” lirih Soe Hyung. Walaupun Kim Seo Dam tahu jika putranya tidak sedang berbohong, tetapi ada satu sisi di dalam dirinya yang begitu kuat mendorong lelaki itu untuk tetap menyalahkan putranya. Mulut Kim Seo Dam terbuka dan sambil menghela napas panjang, ia menarik punggung hingga tubuhnya berdiri tegap. Kim Soe Dam menaruh kedua tangannya di pinggang dan ia menundukkan kepala untuk membuang napas panjang dari mulut. Untuk sekejap, lelaki itu terdiam lalu perlahan ia mulai menganggukkan kepala. Masih dengan kepala yang tertunduk itu, Kim Seo Dam kembali menatap putranya. “Kalau begitu buktikan,” ucap Kim Seo Dam dengan penuh ketenangan. “buktikan padaku bahwa kau tidak melakukannya maka aku bersumpah akan mengerahkan seluruh kemampuanku untuk membantumu. Aku tidak peduli lagi dengan hubungan baik dengan keluarga Park. Jika kau bisa memberikan bukti bahwa kau tidak melakukan seperti apa yang mereka tuduhkan padamu, maka aku bersumpah akan membelamu.” Sudut bibir Seo Hyung berkedut sementara alisnya mengerut. Lelaki itu menatap sang ayah dengan pandangan segan, tetapi memaksa mulut untuk berucap, “Mereka melenyapkan satu-satunya bukti yang aku punya.” Kim Seo Dam mendesah kasar dari mulut sambil mendongakkan wajahnya, lantas lelaki itu menggelengkan kepala. “Hancur. Semua telah hancur.” “Ayah, aku bersumpah aku tidak melakukannya. Kumohon percayalah padaku.” Dengan cepat Kim Seo Dam memutar wajah dan melotot pada putranya. Lelaki itu mendekat secepat tembakan angin hingga Seo Hyung pun bisa merasakan degup jantung ayahnya. “Apartemen itu milikmu. Sidik jari yang mereka temukan di tubuh Park Ahn Lee mengidentifikasi jika itu milikmu. Dan kau masih menyangkal jika kau tidak melakukannya?” Kim Seo Dam menutup ucapannya dengan memicingkan mata. Kim Seo Hyung mendesah lalu memalingkan wajahnya dengan singkat. “Ayah, aku dijebak. Park Ahn Lee menjebakku. Kumohon, percayalah padaku. Aku ....” Ucapan Seo Hyung terhenti ketika Kim Seo Dam memutar tubuh. Namun, embusan napasnya cukup terdengar di rungu Seo Hyung. “Ayah,” panggil Soe Hyung. Lelaki di depannya menggeleng lalu mengangkat tangan kanan pertanda jika Kim Seo Hyung tak perlu melanjutkan ucapannya. Kim Seo Dam mengatupkan bibir dan mengencangkan rahang hingga terdengar kertakkan gigi. Lelaki itu membanting tubuh di sofa persegi panjang tempat ia beristirahat. “Aku tidak ingin melihatmu.” Semua orang yang mendengarkan ucapan Kim Seo Dam barusan lalu memutar tubuh dan memelas dengan nada lirih. “Yeobo ....” “Ayah ....” Namun, lelaki itu terlanjur kecewa. Ia mendengkus dan kedua tangannya meremas lutut dengan kuat. “Hari ini juga kau ke Amerika. Jangan pernah kembali ke Seoul apa pun yang terjadi. Bahkan ketika aku mati, aku tidak ingin kau berada di pemakamanku.” Mata Kim Seo Hyung membulat dan lelaki itu memberanikan diri untuk melangkah. Kim Seo Hyung tak ragu untuk berlutut di depan kaki ayahnya lalu mengatupkan kedua tangan. Lelaki itu mendongak. Memandang sang ayah dengan tatapan memelas. “Ayah, ampuni aku. Ampuni aku, Ayah. Kumohon, ampuni aku,” ucap Seo Hyung sambil saling menggosokkan telapak tangannya. Berharap dengan melakukan hal itu ayahnya akan mengampuni dirinya, akan tetapi. Alih-alih memaafkan putranya, Kim Seo Dam bahkan tak sudi lagi menatap Seo Hyung. “Mulai saat ini aku hanya punya satu anak,” kata Kim Seo Dam lalu akhirnya ia menunduk untuk menatap putranya. “anakku hanya Kim Sun Yi.” Mendengar ucapan itu membuat hati Song Tae Eul hancur. Matanya terbuka lebar dan napasnya terhenti di da’da. “Yak, Jerom-ssi!” panggil Seo Dam dengan nada tajam. Lelaki yang sejak tadi berdiam diri menyaksikan prahara keluarga Kim itu lalu menggerakkan tubuh. Ia mendekati Kim Seo Dam lalu membungkuk di hadapan tuannya. “Ya, Tuan besar.” Untuk sekejap Kim Soe Dam terdiam dan tampak lelaki itu menghela napas panjang. Tangan kirinya terlihat mencengkeram lutut sebelum ia berucap, “Siapkan keberangkatan Kim Soe Dam ke Amerika. Ia harus segera berangkat malam ini juga.” “Ya, Tuan besar!” sahut lelaki itu dengan nada tegas dan ia langsung meninggalkan tempat tersebut. Sementara Song Tae Eul memaksa tubuhnya bergerak. Ia menjatuhkan diri untuk sejajar di samping putranya. Song Tae Eul pun mengatupkan kedua tangan. “Suamiku, Anda membuat keputusan dengan emosi. Kumohon jangan lakukan ini,” pinta Song Tae Eul dengan tampang memelas. Ia pun menggelengkan kepala. “Kim Seo Hyung putra kita. Ia tak akan pernah melakukan hal sekeji ini. Kumohon, berikan ia kesempatan untuk membuktikan diri. Kumohon, suamiku.” Kim Seo Dam tetap memalingkan wajahnya ke samping. Da’danya mengembang sewaktu ia menarik napas lalu mengempis ketika napasnya berembus panjang. “Keputusanku sudah bulat. Aku tidak ingin tinggal bersama seseorang yang sudah menjatuhkan nama baik keluarga. Jika dia tidak segera pergi, maka aku yang akan pergi.” “Yeobo!” Song Tae Eul mendongak dan menyaksikan bagaimana suaminya bangkit dari tempat duduk. Tidak ada kalimat lagi yang keluar dari bibir lelaki itu. Ia pergi dari sana dengan perasaan marah dan kecewa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD