“Sayang, kau cantik sekali.” Zaky memeluk tubuh ramping sang kekasih. Clary tersipu malu. Sedikit menunduk saat pria itu mencium keningnya hangat. Sesi pemotretan untuk pra wedding akan segera dilakukan. Fotografer pun sudah siap dengan semua aksinya. Sementara Clary dan Zaky sudah didandani bak pangeran dan putri raja menguarkan kecantikan mereka yang semakin terlihat sempurna.
Sesuai petunjuk penata gaya, beberapa jepretan yang artistic berhasil diabadikan. Baik Clary maupun Zaky menyukai hasilnya. “Ini mengagumkan, kau benar-benar fotografer handal. Hasil bidikanmu selalu luar biasa,” puji Zaky pada sang pengambil foto.
Pria yang dipercaya mengabadikan moment-moment penuh cinta itu pun tersenyum semringah. “Justru karena modelnya yang luar biasa maka hasilnya juga jadi luar biasa. Kalian sempurna.”
Mereka tampak cukup akrab karena fotografer itu juga sudah sering menjadi professional yang digunakan agency yang menaungi Zaky dan dua rekannya yang lain. “Sayang sekali kau memutuskan keluar dari group, sejujurnya aku sangar kecewa.” Pria itu tampak mengatur kembali lensanya untuk pengambilan gambar berikutnya.
Zaky tersenyum, “Aku hanya ingin hidup sebagai warga biasa seperti yang diinginkan gadis manis ini.”
“Jangan memfitnahku, Zaky,” protes Clary, tetap membiarkan penata rias merapikan riasannya. Setelah semua beres mereka melanjutkan pemotretan di dekat tebing. Berlatarkan mentari yang akan tenggelam mereka berpelukan dengan mesra. Sungguh keindahan yang sempurna dari alam dan sepasang insan yang dimabuk cinta. Indah sekali.
Pemotretan berakhir jam sembilan malam. Zaky pun membawa kekasihnya untuk makan malam bersama para team photographer. Sebuah restaurant ternama di Korea menjadi tempat mereka mengobati lapar.
“Minum?” tawar Zaky pada sang kekasih.
“Tidak terima kasih, aku tak mau mabuk dan berakhir di ranjangmu.” Zaky tertawa begitu juga beberapa orang yang mendengarnya.
“Sepertinya harus tahan sampai pernikahan, Bos,” celetuk salah satu dari mereka yang memang sudah cukup akrab dengan Zaky. Zaky pun hanya bisa mengulas senyum dengan telinga memerah. Sedikit malu.
Selesai acara makan malam Zaky dan Clary pulang dengan satu mobil sedang yang lain kembali ke kantor mereka bersama rombongan.
“Mau jalan-jalan dulu?” Zaky menautkan jemari dengan kekasihnya sambil menjaga laju kendaraan pada jalurnya.
“Apa kau tak lelah?” Clary merebahkan kepala di bahu orang yang dicintainya.
“Ke taman sebentar, mau?”
“Dengan senang hati, Tuan Zaky.”
Zaky pun tersenyum, menjatuhkan kecupan di punggung tangan sang kekasih. Clary juga tersenyum manis. Tak barapa lama mobil pun memasuki parkiran di taman kota yang tak jauh dengan tempat tinggal Zaky. Turun dari mobil mereka melangkah menyusuri taman sambil bergandengan tangan.
“Dingin,” gumam Clary merapatkan tubuhnya. Zaky pun tersenyum, melepaskan tautan jemarinya dan beralih memeluk tubuh wanitanya.
“Perjalanan yang indah akan kita mulai setelah ini,” ujar Zaky, mencium kening Clary dengan hangat. “Dengan rasa saling percaya dan kesetiaan hati yang sudah teruji, kuharap akan mampu membangun keluarga yang baik untuk anak-anak kita nanti.”
“Kau benar. Ada banyak sekali harapan yang kutanam padamu, Zaky. Setelah begitu banyak masalah bisa kita lewati semoga tak akan ada lagi masalah ke depannya, hingga kita bisa focus untuk mendidik anak, dan kuharap Tuhan akan mempercayakan anak-anak yang lucu pada kita sesegera mungkin.”
Hari-hari keduanya kini selalu diwarnai dengan senyuman dan tawa. Berbeda dengan Adrian yang selalu uring-uringan. Semakin dekat dengan hari pernikahan Clary, pria itu makin frustasi. Mengabaikan Quensha begitu saja, bahkan sesekali membentaknya tanpa wanita itu tahu kesalahannya.
“Adrian.” Sang gadis memanggil langkah tergesa pria itu. Adrian menoleh sekilas lalu melanjutkan perjalanannya.
“Ada apa?” tanyanya. Kelembutan yang selama ini ia tunjukkan menguap sirna. Adrian tahu itu hanya sebuah rasa yang palsu. Ketika itu ia hanya ingin menunjukkan pada Clary kalau dirinya sudah baik-baik saja. Namun, nyatanya semakin lama rasa dalam hatinya tak pernah berubah. Bahkan Quensha pun dipandang sebagai benalu ketimbang sebagi kekasih.
“Kita akan ke Korea menghadiri pernikahan Clary dan Zaky, ‘kan? Tanggal berapa kita akan berangkat, aku juga harus mengatur jadwal dan meminta izin pada manager.”
Adrian memaku langkah. Sedikit mengepalkan tangan ia menahan emosi yang tiba-tiba menyapa diri. “Apa kau benar-benar harus ikut?” tanyanya dingin.
“Apa maksudmu?” Quensha menatap bingung. Entah apa salahnya ia tetap saja tak mengerti meski telah mencoba memahami setiap tindakan Adrian padanya. “Clary dan Zaky juga memintaku untuk dating, Adrian. Kita ini pasangan kekasih, jadi mana mungkin dating di waktu yang berbeda.”
Adrian memutar bola mata malas. “Terserah kau saja. Aku akan berangkat tiga hari lagi.” Pria itu pun meninggalkan Quensha yang menggantung tanya dalam bibirnya.
“Kenapa kau berubah, Adrian? Apa pernikahan ini benar-benar mempengaruhi emosimu? Jadi kau masih belum mampu melupakannya?” Quensha menitikkan air mata. Ia menghapusnya cepat, kemudian membalik arah untuk mencari managernya. Bagaimana pun dirinya masih ingin menjaga nama baik Adrian di mata semua orang. Jika hari ini ia menggunakan emosi dan tak datang ke pesta itu maka semua orang, terutama keluarga Adrian sendiri pasti akan menanyakannya. Dan, keretakan hubungan mereka pun akan tercium fans. Media akan bergosip, itu tak akan baik bagi Adrian yang kariernya sedang merangkak naik.
Sampai di ruang latihan Adrian menghempaskan bobot tubuhnya dengan asal. Mengabaikan orang lain yang menggunakan ruangan itu.
“Adrian.” Seseorang menyebut namanya membuatnya menoleh. Steven Marco mendekatinya. “Kau ingin memakai ruangan?”
Pemuda itu menggeleng. “Tidak,” jawabnya. “Kau pakai saja, aku hanya ingin menonton.”
“Okay,” ucap Steven kemudian kembali ke kelompoknya.
“Stev,” panggil Adrian. Pria bermata coklat itu pun menghentikan langkah. “Koreo lagu apa yang kau latih hari ini?”
“Stany With Me. Michaela akan tampil dengan lagu itu pada acara musik minggu malam nanti.”
“Boleh ikut berlatih?”
Stev tertawa mendengarnya. “Kau tak punya kerjaan, ya? Bukannya jadwalmu sangat padat.”
“Tidak, aku baru saja sembuh, dan manager mengundur semua jadwalku sampai dua minggu ke depan. Aku sedang istirahat.”
“Kalau begitu kenapa kau ingin berlatih? Istirahatkan tubuhmu. Atau berkencanlah dengan kekasihmu. Kasihan dia, akhir-akhir ini kelihatan kurang konsentrasi mungkin butuh di recharge.”
“Quensha sudah di recharge setiap hari, itulah kenapa aku kelahan dan sakit,” sahut Adrian asal.
Stev tertawa. “Ya, sudah kalau begitu. Tapi jangan salahkan jika setelah tubuhmu akan terasa remuk dan tenagamu tak bisa digunakan nanti malam.”
“Aku tak akan menggunakannya dalam waktu yang lama,” ucap Adrian membuat Stev kembali tertawa pelan.
Tak berapa lama Adrian sudah ada bersama backdancer itu. Karena ia tak akan terlibat dalam pementasan itu, dirinya hanya memilih posisi paling belakang. Hanya sekedar iseng untuk mencari keringat Adrian ikut berlatih dengan sedikit asal. Meski latihannya tak seperti para dancer itu, nyatanya keringat tetap membanjir membasahi tubuhnya.
Selang satu jam berlalu, akhirnya Adrian menyudahi latihannya. Pamit kepada Stev, ia kini menuju ruang latihan vocal. Seorang wanita langsung menghampirinya.
“Adrian, aku mencarimu dari tadi. Menelepon kau juga tak mengangkat ke mana saja?”
“Hanya latihan bareng Stev di ruang latihan. Ada apa Louisa?”
“Ini lagu untuk album barumu. Kami ingin mencoba melatihnya denganmu.” Louisa salah satu produser music di agensi itu, termasuk bertanggung jawab pada comeback album Adrian berikutnya.
Menanggapi berkas itu, Adrian membaca tiap liriknya syair demi syair. “Lagu yang bagus,” ucapnya memberi pujian. “Apa ini lagu yang diciptakan Katara Samada itu?”
“Iya.” Louisa mengambil posisi di depan komputernya. “Bisa coba kau test nadanya?”
Adrian masih mematung membaca lyric lagu itu. Menceritakan tentang bagaimana seorang pecinta yang patah hati karena ditinggal mati oleh kekasihnya. Liriknya begitu menyentuh hati. “Padahal Katara masih sangat muda, tapi lirik lagunya benar-benar menyentuh seakan dirinya mengalami semua kejadian ini.”
“Iya, dia luar biasa. Siapa sangka siswa menengah atas itu bisa melahirkan karya yang luar biasa. Dia cukup pantas menyandang nama besarnya.” Louisa pun turut memuji kehebatan pencipta lagu itu. “Jika kau bisa menyanyikannya dengan penghayatan yang pas, lagu ini akan membuat pendengarnya terenyuh dan mengucurkan air mata. Itu akan jadi sensasi yang luar biasa.”
“Iya, kau benar, Louisa.” Adrian menghela napas. “Ayo, kita coba latihannya.”
Louisa pun mengambil posisi, Adrian sendiri mencoba pengambilan nada dengan microfon yang biasa dipakai untuk rekaman. Bait pertama dilewati dengan mulus. Mereka menghentikannya dan kini duduk mencoba menganalisis kekurangannya.
“Apa nada dasarnya perlu dinaikkan?” tanya Adrian. “Sepertinya terlalu rendah, aku tak akan mencapainya pada bagian ini.” Pria itu menunjuk kertas yang dibawanya.
“Kau benar. Hasilnya juga terdengar kurang bagus.” Louisa pun menyetujui keputusan Adrian. “Coba kau naikkan lagi satu oktaf.”
“Sipp.” Adrian kembali mengambil posisi. Ia pun kembali berlatih. Waktu berlalu dengan cepat. Adrian dan Louisa masih terus mengkaji hasil latihan itu sampai mendapatkan apa yang mereka inginkan.
“Bisa kirim hasilnya padaku?”
Louisa mengangguk kemudian mengirimkan file hasil latihan itu pada Adrian. “Rekaman akan diambil setelah kau kembali dari Korea, ‘kan?” tanya Louisa.
Adrian mengangguk. “Di dunia hiburan kita susah mendapat libur yang benar-benar membuat istirahat. Apa kau tak berpikir hidup kita terlalu tertekan? Ah, ini melelahkan.”
Louisa terkekeh. “Tapi itu sebanding dengan apa yang kau dapatkan. Kariermu luar biasa untuk seorang pendatang baru.”
Adrian pun terkekeh. “Ya, aku harus mensyukurinya. Bagaimanapun itu rejeki, dan ini cita-citaku.”
“Itulah kenapa kau harus berjuang lebih dan lebih lagi.”
“Tentu saja,” sahut Adrian. “Semangat!”
“Semangat!” Mereka tertawa bersama. Sampai semua hasil test vocal hari ini masuk ke ipod Adrian barulah ia pamit undur diri. Malam sudah menyelimuti kota Amsterdam ketika Adrian keluar dari gedung agensi. Sekilas ia melirik pasangan kekasih yang baru saja melintas di depannya. Ia tersenyum kecut kembali teringat pada Clary. Adrian mencoba mengabaikannya, lalu masuk ke dalam mobil. Berpikir sejenak, Adrian mengambil ponsel di saku celana. Menghubungi Quensha.
“Sayang, apa kau masih ada di tempat latihan?” tanyanya mencoba kembali bersikap seperti dulu. Gadis itu tampak menjawab dengan bahagia. Ia memang masih ada di lantai 8. Baru saja menyudahi latihannya.
“Apa kau akan pulang sekarang? Aku menunggumu di parkiran.”
Quensha tersenyum senang. “Aku segera turun, Adrian.” Gadis itu pun mengambil tas yang dibawanya, berlari dengan cepat menuju parkiran. Ia tersenyum senang menatap Adrian yang melambai ke arahnya. “Ayo, kita pulang,” ajak Adrian sambil mengumbar senyum.
“Baiklah.” Quensha pun mendudukkan dirinya di sebelah Adrian, di samping kemudi.
“Malam ini mau menginap di rumahku, Quensha?”
“Jika kau menginginkannya, aku akan menginap.”
Adrian tersenyum mendengar jawaban kekasihnya. Ia menarik kepala Quensha dan mencium keningnya. “Maafkan sikapku selama ini.”
“Tak apa-apa, Adrian. Aku mengerti kenapa kau bersikap seperti itu.”
“Kau sangat baik, terima kasih, Sayang.” Adrian pun melajukan mobil menjauh dari sana. Keduanya tampak sangat bahagia. Namun, benarkah Adrian sebahagia yang terlihat?