"Ajarilah anak-anak kalian berkuda, berenang, dan memanah."
(HR Bukhari, Muslim)
"Lemparkanlah (panah) dan tunggangilah (kuda)."
(HR Muslim)
****
Zafina mengarahkan titik alat pembidik tepat berada pada titik sasaran. Ketika dirasa telah tepat mengarah pada titik target, wanita itu melepaskan anak panahnya dengan pasti hingga terbang dan mendarat dengan sempurna pada titik sasarannya.
Bersamaan dengan anak panahnya mendarat sempurna, mata Zafina melebar serta senyum lebar tak ketinggalan untuk menghiasi wajah cantiknya. Wanita itu teramat senang, ini bidikannya yang ketiga--setelah mengalami kegagalan pada bidikan pertama dan kedua.
Memanah adalah salah satu dari tiga olahraga yang disunnahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selain berkuda dan berenang.
"Yeahhh!!!" teriaknya senang, sambil melompat kecil. Tepukan tangan bangga seseorang dari samping kanan mengalihkan perhatian Zafina. "Ana berhasil, Bang!" katanya kemudian dengan mata berbinar.
Ilyash mengangguk penuh kebanggaan pada adiknya tersebut. "Lebih giat berlatih lagi, Abang yakin kamu akan lebih hebat dari hari ini."
Zafina mengangguk mantap. Binar mata dan senyum lebarnya membuat Ilyash gemas. Pria itu mengusap puncak kepala Zafina yang sudah tertutup kerudung beberapa hari ini. Kecantikan wanita itu bertambah berkali-kali lipat dari sebelumnya.
Masya Allah.
"Ana ganti baju sama kerudung dulu, sudah penuh banget keringatnya," ucap Zafina pada Ilyash. Pria itu mengangguk, kemudian mengambil tempat di salah satu kursi panjang di depan ruang ganti sekaligus toilet wanita--tempat biasanya seorang pria menunggu wanitanya berganti pakaian atau buang air.
Zafina hanya membasuh beberapa bagian tubuhnya, seperti bagian lengan, kaki, dan leher. Awalnya dia berniat mandi, tapi karena kelupaan membawa peralatan mandinya, terpaksa hari ini hanya membasuh beberapa bagian tubuh saja.
Usai berpakaian rapih, Zafina segera keluar menghampiri Ilyash yang tengah menunggunya.
"Bang?" panggil Zafina, sedikit mengagetkan Ilyash yang tengah sibuk dengan ponselnya tersebut.
"Udah?"
Zafina mengangguk sambil menyunggingkan senyum. "Seperti yang Abang lihat," jawabnya santai, dengan ekspresi tanpa dosa sedikitpun. Ilyash terkekeh.
Senyum Zafina membuat pria manapun akan terpesona ketika melihatnya. Cantik dan manis sekali.

Ilyash segera menyadarkan diri dari lamunan singkatnya. Ingat, Yash, dia adikmu.
"Mau makan dulu sebelum pulang?" tawar Ilyash, kebetulan masih ada waktu untuk mengisi perut dan mengobrol, hari belum terlalu sore.
Mata Zafina kembali berbinar, lalu mengangguk dengan semangat. "Abang yang mentraktir Ana, ya ...!" katanya dengan ekspresi seperti anak kecil minta dibelikan balon pada ibunya.
Ilyash tak bisa menahan tawanya. "Lalu, siapa lagi kalau bukan Abang yang mentraktir? Seingat Abang, kamu gak pernah kena giliran mentraktir."
Kini tawa Zafina yang pecah. Benar sekali. Dari dulu hingga sekarang, Zafina tidak pernah membayar tagihan ketika mereka makan bersama.
"Abang masih ingat sekali apa yang kamu ucapkan dulu, 'nanti kalau Ana besar dan punya penghasilan sendiri, Ana yang akan mentraktir Abang'. Nah ... sekarang Abang akan menagih janji itu," pinta Ilyash teringat pada janji Zafina beberapa tahun yang lalu--pada saat wanita itu masih duduk bangku sekolah menengah atas.
Zafina membulatkan matanya. Bibirnya seketika memaju beberapa senti. Tangannya pun tak tinggal diam, dia memberikan cubitannya pada lengan Ilyash. "Reseknya gak pernah ilang!" rajuknya--berpura-pura.
Ilyash terkekeh. Kemudian melingkarkan tangannya pada bahu Zafina. "Abang yang akan mentraktir, uang Abang banyak," ujarnya dengan bangga. Seolah tengah memamerkan kesuksesan dan kekayaannya selama ini.
"Gitu dong! Baru namanya Abang Ana!" Zafina ikut terkekeh. "Tapi ... next biar Ana yang bayarin. Ana juga banyak uang," katanya tak mau kalah.
"Baiklah. Abang harap kamu gak lupa sama janji itu, ya?"
Zafina mencibir. "Memangnya muka Ana ini, muka-muka pembohong?" tanyanya dengan nada kesal, dia menatap Ilyash dengan memicing.
****
Di ruang kerjanya, Adam tengah menyelesaikan beberapa pekerjaan penting untuk besok. Namun, ponsel tiba-tiba berdering dan berhasil mengalihkan perhatiannya dari layar benda canggihnya.
Senyum Adam seketika mengembang sempurna. Nama seorang wanita yang amat dia cintai tertera pada layar ponselnya itu mampu menghilangkan rasa penat akibat seharian dipadatkan dengan berbagai macam jadwal pekerjaan.
Relin.
"Halo, Sayang?" sapa Adam lebih dulu ketika sambungan telepon mereka tersambung.
"Hai. Kamu apa kabar di sana, Sayang? Sekarang lagi apa?" tanya Relin di seberang sana. Wanita itu bersandar pada kepala sofa, dia baru saja pulang dari jalan-jalan mengelilingi kota.
Adam tersenyum lebar. Senang sekali menerima perhatian dari wanitanya. "Baik. Kamu gimana di sana, senang? Hem ... saya seperti biasa, masih di ruang kerja dengan setumpuk pekerjaan."
Terdengar decakan kesal dari seberang sana. "Kamu jangan hanya memikirkan pekerjaan. Aku gak mau kamu sakit karena kertas-kertas itu." Relin kemudian mengubah panggilan suaranya, menjadi panggilan video. Kini dia dapat melihat wajah tampan Adam--yang sudah amat dia rindukan. "Satu lagi, jangan terlalu memikirkan keadaanku di sini ... aku baik-baik aja."
Adam terkekeh. "Iya, Sayang. Saya sangat merindukan kamu. Cepatlah pulang. Selama kamu pergi, saya makan siang sendirian."
Yap, selama ini ... setiap jam makan siang, Adam akan mengunjungi kediaman Relin atau bertemu di suatu tempat untuk makan siang bersama.
Relin menghembuskan napasnya. "Satu minggu lagi. Sabar, ya, Sayang. Ngomong-ngomong, gimana ... sudah?" tanyanya sambil menggigit bibir bagian bawah. Ada kekecewaan dari tatapannya ketika dia membayangkan bagaimana percintaan yang terjadi antara Adam dan Zafina. Sebenarnya, Relin tidak rela membagi Adam dengan wanita itu.
Adam menaikkan sebelah alisnya, namun beberapa saat kemudian dia mulai mengerti ke mana arah pembicaraan Relin. Adam tertawa kecil untuk mencairkan suasana. Dia dapat melihat kekecewaan itu dari mata wanitanya. "Hem ... sudah."
Tatapan Relin berubah sendu. "Bagus deh, hem ... sudah berapa kali?"
"Satu, dua, tiga, atau mungkin lebih," candanya sambil tertawa. Sebenarnya ... hampir setiap malam dia selalu mengulang malam romantis itu bersama Zafina. Seketika Adam teringat mengenai kegiatan panas mereka. Entah sejak kapan, wanita dengan pahatan tubuh amat sempurna di setiap bagian itu menjadi candu untuknya.
Relin berdecak dan mendesis secara bersamaan. Dia merasa kesal. "Kamu jangan sampai bermain hati sama dia. Ingat, ada aku di hati kamu. Cuman aku yang boleh kamu cintai!"
Ucapan itu terdengar seperti sebuah perintah yang harus Adam lakukan.
"Siap, Bos!" Adam berseru semangat.
"Hem ... ya sudah kalo gitu. Aku tutup dulu teleponnya. Gerah abis jalan-jalan, mau mandi. Daahhh, Sayang ...!"
Adam tersenyum miring, panggilan telepon di antara mereka sudah terputus. Pria itu kemudian memijat pelipisnya. Ucapan Relin tadi mengingatkan pada Zafina. Apa sudah selesai latihan memanahnya?
Adam: Sudah selesai latihan memanahnya?
Adam mengirimkan satu pesan untuk Zafina, yang tak lama kemudian mendapat balasan.
Zafina: Sudah. Ini lagi makan sambil ngobrol sama Bang Ayash. Habis ini langsung pulang.
Adam menggertakkan gigi. Entah sejak kapan, dia merasa tidak suka dengan lelaki bernama Ilyash atau Ayash itu. Apapun yang dia lakukan terjadap Zafina, selalu berhasil membuatnya sedikit merasa ... kesal.
Adam meletakkan ponselnya sedikit kasar, tidak berniat membalas pesan Zafina. Segera dia menyelesaikan pekerjaannya, setelah itu meninggalkan ruangannya menuju rumah. Dia harus lebih dulu tiba di rumah.
****
Helaan napas terdengar dari Adam, dia merasa lega. Kata satpam, sang istri belum pulang.
Adam meletakkan tas dan jas kerjanya di atas sofa, kemudian dia mengambil tempat di bagian sisi yang kosong sambil membuka kancing kedua lengan kemeja dan menggulungnya masing-masing hingga siku.
Baru saja mengecek email pada layar tabletnya, deru mobil dari pelataran rumahnya terdengar. Itu pasti mobil Ilyash.
Dengan langkahan lebar dan tergesa-gesa, Adam melangkah ke teras. Dia melihat Zafina yang baru saja keluar dari mobil pria itu.
"Assalamu'alaikum, Mas," ucap Zafina sambil mencium punggung dan telapak tangan Adam.
"Wa'alaikumsalam."
Adam melingkarkan tangan kanannya pada pinggang Zafina--erat, membuat Zafina terkejut. Kemudian menyunggingkan senyumnya pada Ilyash yang kelihatannya tengah memerhatikan sikapnya pada Zafina.
Ilyash membalas senyum Adam, lantas mengangguk. "Saya permisi," ucapnya pada Adam. Lalu, tatapannya beralih pada Zafina, "Na, Abang pulang."
"Gak mampir dulu, Bang? Maghrib-an bareng di sini?" tawar Zafina. Adam mengeraskan rahang sambil menggerutu dalam hati. Cih!
"Enggak, Abang maghrib-an di mesjid aja nanti. Gampanglah."
Seperginya Ilyash, Adam tidak juga menyingkirkan tangannya dari pinggang Zafina, membuat wanita itu sedikit heran--perlakuan Adam seperti ini tidak pernah dia terima sebelumnya.
"Ayo ... masuk," ucap Adam membawa sang istri tersebut meninggalkan teras.
"Mas Adam mau mandi sekarang?" tanya Zafina ketika mereka sudah sampai di kamar. Dia meletakkan tas kerja suaminya di atas meja, dan meletakkan jas yang dikenakan Adam tadi pada keranjang pakaian kotor.
"Iya, sudah gerah banget."
Zafina mengangguk. Dia masuk ke dalam kamar mandi untuk menyiapkan air.
"Mau ke mana?" tanya Adam ketika melihat Zafina yang berniat keluar setelah dia masuk ke dalam kamar mandi.
"Ha? Ke-keluar ... Mas."
"Siapa yang nyuruh kamu keluar?"
Dahi Zafina mengerut--bungung.
"Sini mandi bareng sama saya."
****
TERIMAKASIH SUDAH MENUNGGU DAN MEMBACA CERITA ADAM DAN ZAFINA:)
Salam manis,
Novi❤