Angin tidak berhembus untuk menggoyangkan pepohonan, melainkan menguji kekuatan akarnya.
-Ali bin Abi Thalib-
****
Ketika pagi tiba, senyum Zafina tidak bisa berhenti mengembang dalam setiap detiknya. Dia seperti akan meledak sekarang juga, karena amat bahagia.
Di depan kaca besar di kamar mandi, dia menelisik setiap celah tubuhnya. Ada beberapa tanda kepemilikan di sana. Iyap, tanda kepemilikan yang dibuat dengan sengaja oleh pasangan halalnya. Siapa lagi kalau bukan Adam?
Tangannya terarah pada permukaan perutnya. Apa sebentar lagi perut datarnya tersebut akan menyusul perut sang sahabat--Adela--yang sudah mulai membuncit? Betapa bahagianya Zafina, dia sudah menjadi milik Adam seutuhnya. Tidak hanya menjadi istri di atas kertas.
Ketukan pada pintu kamar mandi membuyarkan lamunan panjang Zafina, dia bergegas memperbaiki jubah mandinya--mengenakannya dengan benar kembali. Apa dia siap bertemu Adam sekarang? Ah, Zafina yakin pipinya sudah memerah sekarang.
Setelah menghembuskan napasnya panjang, dan meyakinkan diri untuk tetap santai, Zafina perlahan membuka pintu kamar mandi.
"Iya, Mas?" tanya Zafina. Ada sudah berdiri di hadapannya. Hanya menggunakan celana selutut, tanpa atasan apapun. Pria itu membiarkan tubuh bagian atasnya polos, tak tertutup kain apapun. Mata Zafina melebar seketika, apa tanpa merah pada d**a pria itu adalah perbuatannya tadi malam? Argh! Sejak kapan dia menjadi gadis liar seperti semalam?
Adam benar-benar membuat Zafina merasa nyaman dan diinginkan dalam setiap perlakuannya. Hingga membuat seorang gadis kaku, dan tak pernah disentuh itu menjadi liat tak terkendali.
"S-saya mau mandi. Saya akan segera ke kantor."
Zafina segera mengangguk, masih dengan kepala menunduk--malu. Terdengar sesekali Zafina mencuri kesempatan menghembuskan napas untuk menetralkan detak jantungnya. "Aku buatkan sarapan sebentar."
Adam mengangguk, kemudian segera masuk ke dalam kamar mandi.
Sebelum ke dapur, Zafina lebih dulu mengganti jubah mandinya dengan pakaian santai tanpa lengan miliknya, dan tentu saja tak lupa menyiapkan setelan kerja sang suami.
Pagi ini, Zafina akan membuat beberapa makanan sehat yang baik dikonsumsi saat pagi hari.
Tidak memerlukan waktu lama, makanan tersaji rapi di atas meja. Baru saja ingin membuka pintu kamar--untuk melihat sang suami, Adam lebih dulu keluar dari dalam sana. Sudah rapi dengan pakaian kerjanya, hanya saja belum mengenakan dasi dan jasnya.
"Sarapan sudah siap, mau makan sekarang?" tanya Zafina, Adam mengangguk. Sebelum Zafina beranjak, Adam lebih dulu mencegah pergerakannya.
Kedua benda kenyal pria itu mendarat cepat pada permukaan dua benda kenyal milik Zafina. "Sebagai menu pembuka sebelum memulai sarapan," ucapnya begitu santai, ditambah tatapan yang begitu sulit dijelaskan.
Adam lebih dulu melangkah meninggalkan Zafina yang mematung di tempatnya menuju dapur. Menuruni setiap undakan tangga, seraya berucap, "Jangan mematung seperti itu, dibiasakan saja dengan apa yang baru saja saya lakukan. Karena mungkin saya akan melalukannya di setiap pagi."
Zafina memukul kepalanya untuk menyadarkan diri dari lamunannya tadi. "Bodoh, ah!" omelnya pada diri sendiri. Sekarang malunya bertambah dengan pria itu.
****
Hari ini Zafina tidak mengunjungi rumah makan miliknya, melainkan mampir ke rumah Adela. Tadi, wanita itu mengabarinya kalau hari ini Adela sedang butuh teman bercerita di rumah. Tentu saja Zafina akan meluangkan waktunya untuk sang sahabat tersebut. Lagi pula, mereka sudah seminggu tidak bertemu. Satu sama lain di antara mereka sudah saling merindukan.
Pintu utama rumah Adela terbuka lebar, senyum mbok Jum mengembang begitu melihat siapa tamunya. "Neng Zaza? Apa kabar Neng, duh ... lamanya gak bertemu, makin cantik aja sih pengantin baru yang satu ini," goda mbok Jum pada Zafina.
Zafina terkekeh malu. "Mbok Jum bisa aja. Alhamdulillah, Zaza baik, Mbok. Iya nih, udah hampir tiga minggu ya Zaza gak mampir ke sini, terakhir kali ke sini sehari sebelum hari pernikahan kemarin."
Mbok Jum mengangguk. "Ya ampun, Mbok hampir lupa. Ayo, Neng Zaza, silakan masuk. Neng Adel ada di dapur, lagi bikin kue."
Mata Zafina berbinar. Sudah lama sekali mereka tidak membuat kue bersama. Kedua wanita itu melangkah beriringan, sambil sesekali bertukar canda.
"Del," panggil Zafina. Dia meletakkan tasnya di kursi meja makan. Kemudian menghampiri Adela yang sedang sibuk dengan beberapa alat pembuat kue. "Gimana kabar lo sama dedek bayi?" lanjutnya.
Adela tersenyum, wajahnya begitu cerah--tanda kebahagiaan itu selalu menyelimutinya. "Alhamdulillah, kabar baik, Za. Lo sama mas Adam gimana?"
"Alhamdulillah, baik juga, Del." Zafina tersenyum senang. Kemudian membantu Adela membuat kue.
Adela menatap Zafina beberapa saat, sebelum melanjutkan pekerjaannya. Hal itu membuat Zafina bingung.
"Kenapa menatap gue kayak gitu?"
Kekehan terdengar dari wanita itu. Masih saja menyebalkan, padahal sebentar lagi menjadi seorang ibu.
"Kapan mau menutup rambut indah kamu itu, Za? Katanya setelah menikah mau kerudungan juga, nyusul aku." Adela mengucapkannya sambil bercanda, agar Zafina tidak merasa tersinggung.
Zafina terdiam, sebelum senyum itu tercetak manis dari bibir indahnya. "Mas Adam belum sama sekali menegur gue," balasnya dengan raut sedih. "Apa gue duluan yang mengubah penampilan gue, tanpa menunggu mas Adam menyuruh?" lanjutnya meminta pendapat.
Adela mengangguk mantap. "Menutup aurat itu wajib, Za, dan wanita yang tidak menutup aurat akan masuk neraka. Gue gak mau elo, orang yang gue sayangi, terus-terusan memperlihatkan keindahan rambutnya pada orang banyak."
Zafina mengerti. Dia menghela napasnya. Bukankah niat awalnya setelah menikah ingin memperbaiki akhlak dan lebih lebih mendekatkan diri lagi kepada Allah dan Rasulullah? Lalu kenapa dia masih saja melakukan yang dilarang oleh-Nya?
Ingat, Zafina, kamu sudah dewasa, sudah menjadi seorang istri, dan mungkin sebentar lagi akan menjadi seorang ibu. Tidakkah kamu malu masih membuka aurat yang tidak seharusnya dipamerkan pada khalayak umum?
"Astaghfirullah," gumam Zafina menyadarkan dirinya. Dia sudah salah. Harus segera bertobat dan sesegeranya memperbaiki diri. Kalau dia tetap pada dirinya yang sekarang, bukan hanya dia yang akan masuk negara tetapi suaminya juga. Orangtuanya di syurga sana pun akan diminta pertanggung jawaban atas dirinya.
Astaghfirullah.
Katakanlah kepada orang laki–laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara k*********a; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allâh maha mengatahui apa yang mereka perbuat.” Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara k*********a, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera–putera mereka, atau putera–putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau b***k-b***k yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allâh, wahai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. [an-Nûr/24:31]
"Wahai Asma! Sesungguhnya wanita jika sudah baligh maka tidak boleh nampak dari anggota badannya kecuali ini dan ini (beliau mengisyaratkan ke muka dan telapak tangan)." [HR. Abu Dâwud, no. 4104 dan al-Baihaqi, no. 3218. Hadist ini di shahihkan oleh syaikh al-Albâni rahimahullah]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: (yang pertama adalah) Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan (yang kedua adalah) para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berpaling dari ketaatan dan mengajak lainnya untuk mengikuti mereka, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.” [HR. Muslim, no. 2128]
Dalam riwayat lain Abu Hurairah menjelaskan, bahwasanya aroma Surga bisa dicium dari jarak 500 tahun. [HR. Malik dari riwayat Yahya Al-Laisiy, no. 1626]
"Tegur kalau gue salah, ya, Del. Gue masih harus banyak belajar dan perlu bimbingan."
Adela menyunggingkan senyumnya, mengusap lengan Zafina yang sudah dia anggap seperti sodaranya. "Gue menegur bukan berarti menggurui atau gue sudah lebih baik dari lo, enggak. Kita sama-sama belajar dan mengingatkan untuk segala hal menuju kebaikan bersama. Bukankah cita-cita kita mau jadi wanita dan istri sholehah?"
Zafina terharu. Dia mengangguk. "Gue gak nyangka, elo yang selalu gue tegur, bahkan gue omelin soal ini dan itu bisa sedewasa ini sekarang. Gue jadi malu, gue masih jauh dari kata baik."
"Enggak, Za. Kita sama kok, masih perlu nasehat, dan dukungan untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi ke depannya. Gak ada yang lebih baik di antara kita. Jangan pernah sungkan bahkan malu untuk meminta tolong atau bercerita sama gue. Apapun dan kapanpun, gue selalu berusaha ada buat lo. Kita sodara, Za, jadi jangan pernah sungkan ya."
"Walaupun kita sudah menikah, elo akan tetap menjadi Zafina yang gue kenal, dan gue tetap menjadi Adela yang lo kenal. Gak nyangka, ya, kita besar sama-sama dan sekarang sudah memiliki keluarga masing-masing. Gue senang karena lo masih menjadi Zafina yang gue kenal--gak pernah berubah, selalu sayang dan menjadi teman terbaik gue."
Zafina membawa Adela ke dalam pelukannya. Mereka saling memeluk satu sama lain--begitu sayang.
“Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR. Bukhari 5534 dan Muslim 2628)
“Secara umum, hendaknya orang yang engkau pilih menjadi sahabat memiliki lima sifat berikut: orang yang berakal, memiliki akhlak yang baik, bukan orang fasik, bukan ahli bid’ah, dan bukan orang yang rakus dengan dunia.” (Mukhtasar Minhajul Qashidin 2/36).
Sembari menunggu kue matang, Zafina duduk bersampingan bersama Adela di ruang tengah. Zafina beberapa kali mengusap permukaan perut Adela yang sudah kelihatan membuncit.
"Gak ada mual sampai sekarang, Del?" tanya Zafina.
Adela menggeleng. "Gak ada, Za, malah Mas Rayhan yang mual-mual terus. Bahkan dia yang sering sakit dan mengidam ini-itu. Lucu, ya, dedeknya sayang banget kayaknya sama abi-nya."
Zafina ikut senang mendengarnya. Bagaimana kalau dirinya hamil juga? Apa Adam akan semanis Rayhan?
"Diseringin lo bikinnya, biar cepat jadi, nyusul gue." Adela terkikik geli.
"Doain aja, lagi usaha ini."
Keduanya sama-sama tertawa. Ada banyak hal yang mereka ceritakan, dari bagaimana Rayhan mengidam, mengalami morning sickness, dan bagaimana Rayhan memperlakukan Adela--begitu manis dan romantis. Zafina ikut berbahagia mendengarnya, sambil berdoa dalam hati semoga hubungannya kelak akan sebahagia Adela dan Rayhan.
****
TERIMAKASIH SUDAH MENUNGGU CERITA ADAM DAN ZAFINA:)
Salam manis,
Novi❤