Part 8

1097 Words
Kesempatan datang bagai awan berlalu. Pegunakanlah ketika ia nampak di hadapanmu. -Ali bin Abi Thalib- **** Zafina tak henti menghela napas. Dia berusaha menetralkan detak jantungnya yang sedari tadi berdebar kencang. Bagaimana tidak gugup, ini pertama kalinya dia dan Adam mandi bersama. Bahkan, Zafina tidak pernah membayangkan bisa mandi romantis ini sebelumnya. Sekali lagi, dia menghembuskan napasnya. Duduk dengan tenang. Lihatlah Zafina, bahkan wajahmu tidak berhenti merah sedaritadi. Zafina memekik sambil memerhatikan dirinya lewat pantulan cermin meja rias. "Kamu capek?" tanya Adam tiba-tiba dari arah belakangnya. Zafina menatap pria itu dari cerminnya. "Enggak, Mas. Ada apa?" jawabnya sambil menggelengkan kepala pelan. Sumpah, berhenti berpikiran m***m, Za, sadarlah! Lagi-lagi Zafina memekik dalam hati. Dia mengartikan ucapan 'kamu capek' tadi dalam tanda kutip. Oh, God! "Mau makan malam di luar? Saya sekaligus mau ada yang di cari." Perlahan, senyum Zafina mengembang. "Boleh, Mas. Aku ganti baju dulu kalo gitu." Tentu saja dia akan menerima ajakan sang suami tersebut. Kapan lagi mereka makan bareng di luar? Adam tersenyum tipis, kemudian beranjak meninggalkan kamar. Dia akan menunggu Zafina berganti pakaian di ruang tengah saja, karena tidak ingin acara mengisi perutnya gagal hanya gara-gara melihat sang istri berganti pakaian. Huh, tubuh wanita itu ... Adam bingung kenapa bentuknya sempurna sekali. Segera pria itu menyadarkan diri dari pikiran tak benarnya dengan memijat pelipisnya pelan. Otaknya semakin ke sini, semakin tak bisa dikondisikan saja. "Mas Adam ...?" panggil Zafina yang sudah cantik dan rapih dengan pakaiannya. Apalagi senyum itu, astaga ... Adam hanya mampu membalasnya dengan senyuman kecil.  "Ayo berangkat," ucapnya kemudian melangkah lebih dulu menuju mobil. Pria itu tidak peka atau memang tak berniat menggandeng tangan Zafina? Benar-benar mengesalkan sekali! **** Selama di perjalanan menuju tempat makan, Zafina maupun Adam tidak ada yang memulai obrolan untuk memecah keheningan di antara mereka. Keduanya sama-sama bergelut dengan pikiran masing-masing. Adam sesekali melirik wanitanya, namun memilih bungkam saja. Dia tidak tahu harus memulai obrolan dari mana. "Hem ... Mas Adam mau nyari apa?" tanya Zafina kemudian. Akhirnya ... ada juga yang mengalah dan berani memulai obrolan di antara dua insan tersebut. "Gak jadi. Biar asisten saya saja yang mencarinya." Zafina mengangguk paham. "Kamu mau makan apa malam ini?" tanya Adam beberapa saat kemudian. Dia melirik sekilas, Zafina juga sedang melakukan hal yang sama padanya. "Aku ngikut Mas Adam aja. Memangnya malam ini Mas Adam lagi kepengen apa?" Adam diam, seraya memikirkan makanan apa yang enak dan sesuai seleranya. "Apa, ya ... kalau ke tempat makan yang biasa kita kunjungi mau? Saya lagi kepengen kopi di sana." Zafina menyunggingkan senyum, kemudian mengangguk setuju. Sudah lama juga mereka tidak mengunjungi tempat itu. Sekitar satu bulan, mungkin? Biasanya--sebelum menikah--setiap pulang ngantor atau malam hari, Adam mengajak Zafina bertemu untuk mengisi perut atau mengebol ke tempat makan itu. Tentu saja tak lupa mampir ke toko bunga Adela lebih dulu, membeli buket bunga mawar merah kesukaan Zafina. "Malam ini tidak ada buket bunga." Zafina menoleh pada Adam. Dia mengerti maksud ucapan pria itu. Bukankah mereka sehati? Memikirkan sesuatu yang sama dalam waktu yang sama juga. "Gak pa-pa, Mas. Aku udah senang banget diajak keluar kayak gini sama kamu. Udah lama, ya, kita gak begini." Adam hanya mengangguk kecil. Tidak memberikan respon apapun selain anggukan itu. Zafina tersenyum tipis. Sesampainya mereka di tempat tujuan, ada anak kecil yang tiba-tiba menghampiri Zafina. Kelihatan dari pakaiannya, anak ini seperti yang biasanya mengemis di pinggir jalan. Seketika hatinya bergerimis, Zafina tidak memiliki orang tua sejak kecil, tapi masih bisa hidup berkecukupan selama ini. Alhamdulillah. "Kak, aku mau balon kayak gitu," ucapnya sambil menunjuk ke arah anak kecil yang sedang bermain balon berbentuk dan memiliki gambar menyerupai buah semangka. Zafina menyunggingkan senyum. Dia mengusap puncak kepala anak kecil itu. "Di mana belinya?" tanyanya kemudian. Adam yang melihatnya hanya diam tanpa berucap satu kata pun. Dia nampak terpukau dengan sikap penyayang yang dimiliki istrinya tersebut. "Di sana, Kak, ayo ...!" ucap anak itu dengan semangat. Dia menarik tangan Zafina untuk segera mengikutinya menuju penjual balon yang dia maksud. Adam tersenyum tipis, lantas mengikutinya. "Itu, Kak, aku mau yang gambar pesawat." Anak itu menunjuk ke arah balon berbentuk dan bergambar pesawat warna biru dan kuning. Baru saja ingin membayar, tiga orang anak bersamaan menghampirinya. Rupanya ketiga anak itu adalah teman-teman dari anak yang meminta balon padanya tadi. "Kalian mau juga?" tanya Zafina mengerti akan tatapan mereka. Tiga anak itu mengangguk dengan senyum melebar. "Mau, mau, mau, Kak," jawab ketiganya serempak. Zafina mengangguk, kemudian mengusap puncak kepala mereka secara bergantian. "Semoga kebaikan Kakak cantik dibalas oleh Allah. Terima kasih, Kak," ucap anak laki-laki yang paling besar di antara yang lain. Kini giliran anak cewek yang mendekatinya, lantas mengusap permukaan perutnya secara tiba-tiba. "Semoga adik bayinya sehat." Zafina melebarkan mata dengan mengerutkan dahi. Bayi? "Terimakasih, Kak," ucap mereka sekali lagi, kemudian berlari meninggalkan Zafina dengan membawa balon mereka masing-masing. "S-sama-sama," balas Zafina kemudian--terdengar sangat pelan. Dia cukup terkejut dengan ucapan anak itu mengenai bayi, bahkan usapannya masih terasa sekali. "Bayi?" tanya Adam menyadarkan Zafina dari lamunan singkatnya. "Kamu hamil?" lanjutnya tak kalah kaget. Zafina menggeleng dengan cepat. "Belum, Mas. Mungkin anak itu salah bicara. Hem ... tapi semoga aja deh cepat ngisi, aku mau cepet nyusul Adela," serunya terdengar bahagia. Dia mengusap permukaan perutnya seraya mengaamiinkan ucapan anak yang tadi. Adam terkejut mendengarnya, namun tidak terlalu memperlihatkan keterkejutannya tersebut. "Ayo, saya sudah lapar ...." **** Dering pada ponselnya membangunkan Adam dari tidur nyenyaknya. Tetapi belum sempat menjawab panggilan masuknya, orang di seberang sana lebih dulu mengakhirinya. Pria itu melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Relin? Kenapa jam segini dia belum tidur? Satu pesan masuk beberapa detik kemudian. Relin: Aku mendadak harus kembali ke Indonesia, ada beberapa pekerjaan yang harus aku urus di Bandung besok. Aku kangen kamu, ke sini dong, tidur bareng aku malam ini. Adam melebarkan matanya, dia terkejut bukan main. Kekasihnya mendadak kembali ke Indonesia malam ini? Bukankah pernikahan kakaknya berlangsung empat hari lagi? Dia melirik ke arah sampingnya, Zafina tengah tidur lelap dengan memeluk sebelah lengannya. Dengan pelan, Adam menarik lengannya dan menempatkan Zafina dengan posisi tak kalah nyaman dari sebelumnya. Adam: Kamu bercanda? Relin: Enggak sama sekali, Sayang. Cepet ke sini. I miss you so much ...! Sebelum beranjak meninggalkan kasur, Adam kembali melirik ke arah Zafina. Dia tidak mungkin menolak Relin. Lagipula, dia juga merindukan wanita itu. Tanpa memikirkan perasaan Zafina, Adam segera bangkit dari tempat tidur. Mengenakan jaket dan meraih kunci mobilnya. Tak lupa pria itu memberitahu satpam kalau dirinya ada urusan mendadak dan tak tega kalau membangunkan sang istri tengah malam begini. Adam mengatakan akan memberitahu Zafina besok pagi saja. **** TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA CERITA ADAM DAN ZAFINA:)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD