SELAMAT MEMBACA CERITA ADAM DAN ZAFINA:)
"Aku ingin melihatmu bahagia. Bersamaku, bukan bersama dia."
-ZafinAdam-
****
Tanpa memakai alas kaki, Zafina melangkah lebar dan terburu-buru ke luar, menghampiri pak Yadi--satpam sekaligus tukang bersih-bersih halaman rumahnya. Pria hampir setengah abad tersebut mengangguk ramah saat Zafina menghampirinya, namun tak melunturkan kerutan bingung pada keningnya. Pak Yadi yang tengah merapikan tanaman itupun segera menaruh alat penggunting tanaman ke tempat yang benar.
"Ada apa, Mbak?" tanya pak Yadi lebih dulu sebelum Zafina mengatakan tujuannya.
"Pak Yadi liat mas Adam? Kok saya cari ke sekeliling rumah gak ada? Apa sedang olahraga pagi keliling komplek?" cecarnya dengan nada cemas. Sedari subuh dia bangun, Zafina sudah tidak menemukan Adam yang tertidur di sampingnya.
"Oh pak Adamnya udah pergi dari tadi malam, Mbak, ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan. Kata bapak gak mau ganggu tidur Mbak Zaza ... jadi akan memberitahu kepergiannya ketika pagi saja."
"Ha ...? Pekerjaan ... jam berapa berangkatnya, Pak?"
Pak Yadi terdiam beberapa saat, mengira-ngira sekitaran jam berapa Adam pergi tadi malam.
"Sekitaran jam dua kayaknya, Mbak, setelah saya abis keliling. Kebetulan tadi malam saya kena jadwal keliling komplek liat keamanan."
Bercerita sedikit, pak Yadi ini tinggal di rumah yang di bangun oleh Zafina di halaman belakang rumahnya--khusus untuk pak Yadi. Pak Yadi sendiri sudah dianggap Zafina seperti keluarganya sendiri.
Zafina mengernyit semakin bingung. Pekerjaan apa yang harus diselesaikan tengah malam?
"Ya sudah kalau gitu, pak, lanjutin lagi kerjaannya. Saya masuk ke dalam dulu," katanya dengan sorot mata sendu. Pak Yadi mengangguk untuk mengiyakannya.
Sesampainya di ruang tengah, Zafina terkesiap merasakan ponsel yang sedari tadi berada dalam genggamannya berdering. Nama seseorang yang begitu dia cemaskan tertera pada layar ponselnya. Dengan cepat Zafina menjawab panggilannya.
"Assalamu'alaikum, Mas?"
"Wa'alaikumsalam."
"Mas Adam ke mana? Kenapa enggak bangunkan aku tadi malam kalau mau berangkat? Aku sampai panik nyariin, Mas," ujar Zafina terdengar cemas.
Adam tertawa kecil di seberang saja. Dia tahu betul sang istri tersebut tengah mencemaskan dirinya. Terdengar dan kelihatan begitu jelas dari ucapannya.
"Saya akan berangkat ke Bandung pagi ini. Asisten pribadi saya tiba-tiba menelpon, ada berkas penting yang harus saya selesaikan untuk di bawa ke Bandung hari ini. Hem ... maafkan saya."
Adam tidak tahu maaf itu untuk kebohongannya, membuat Zafina mencemaskannya, atau maaf untuk yang lain.
Zafina menghembuskan napasnya. Dia sedikit lega mendengar Adam baik-baik saja di seberang sana.
"Sebelum berangkat, kamu jangan lupa sarapan. Hati-hati di jalannya."
"Iya. Saya akan pulang malam."
"Jam berapa?"
"Belum tahu. Sudah ya, saya siap-siap dulu. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Sekali lagi, Zafina menghembuskan napasnya. Dia bangkit dari tempat duduknya menuju kamar. Mandi, kemudian sarapan. Hari ini Zafina akan mengunjungi rumah makannya.
****
Relin melingkarkan kedua tangannya pada perut Adam. Pria itu baru saja selesai mandi, masih menggunakan handuk yang dia lilitkan di pinggang--tubuh bagian atasnya dia biarkan polos begitu saja di hadapan Relin.
Adam meletakkan ponselnya di atas nakas kamar Relin, kemudian membalik posisi tubuhnya menghadap wanita itu. Tangan kanannya bergerak menepikan setiap anak rambut yang nampak berantakan, menyelipkan ke belakang telinga Relin.
"Habis nelpon istri?" tanya Relin dengan bibir yang sudah memaju, nampak tak suka dengan apa yang baru saja Adam lakukan. Dia takut, hati pria itu akan berpindah pada orang baru.
"Kenapa, cemburu?" goda Adam. Kedua tangannya berada pada bahu Relin. Kemudian dengan cekatakan mengingatkan rambut panjang kekasihnya tersebut. "Tetap cantik."
Mendengar pujian itu, Relin mengurungkan niatnya untuk merajuk pagi ini. "Terimakasih sudah datang menemani dan ada di samping aku ketika aku membuka mata pagi ini," ucapnya terdengar tulus dan penuh kasih sayang. Relin berjinjit, dia merapikan rambut basah milik Adam. "Kamu juga tetap dan akan ganteng sampai nanti-nanti."
Adam mencubit gemas ujung hidung Relin. "Sudah ... sana mandi. Sesuai janji saya tadi malam, saya akan mengantar kamu ke Bandung hari ini."
"Kamu curang, biasanya mandi selalu ngajak aku!" decaknya sebal. Adam hanya terkekeh.
Relin memberikan kecupan singkat pada pipi kiri Adam sebelum dia beranjak dari tempatnya menuju kamar mandi. "Untung aku sayang."
Adam tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Wanita itu selalu berhasil membuatnya merasa disayangi melebihi siapapun.
"Saya tidak masuk bekerja hari ini," ucap Adam ketika sambungan teleponnya pada orang di seberang sana tersambung.
"Bapak sakit?"
"Tidak, saya ada urusan penting lain hari ini."
"Baik, Pak, akan saya atur ulang jadwal Bapak."
"Terima kasih."
****
Ketika jam makan siang, pelayan wanita memasuki ruangan pribadinya dengan sopan.
"Ada apa, Ainy?" tanya Zafina pada pelayan wanita yang bernama Ainy tersebut. Umur Zafina lebih tua satu tahun dari Ainy.
"Begini, Bu, saya mau mengundurkan diri ... saya akan berhenti bekerja dari hari besok," ucap Ainy dengan sopan. Dia sedikit ragu mengatakannya, sebab dia pun sudah teramat nyaman bekerja di rumah makan dengan atasan sebaik dan seramah Zafina. Tidak pernah sekalipun Ainy melihat Zafina memarahi atau bersikap tidak sopan pada pelayan yang lain.
Tentu saja pengunduran diri Ainy secara tiba-tiba tersebut membuat Zafina terkejut. "Kenapa? Kamu ada masalah?"
Ainy menggeleng cepat, tidak membenarkan ucapan itu. "Saya akan menikah satu bulan lagi, Bu. Calon suami saya yang menyuruh sebaiknya berhenti bekerja."
Kening Zafina berhenti berkerut, berganti dengan senyum lebar. Binar mata Zafina menampakkan sang empunya sedang merasa senang. "Benarkah? Ini kabar paling mengejutkan dan membahagiakan yang saya terima hari ini. Saya senang akhirnya kamu akan menikah, saya doakan untuk dilancarkan segala urusannya, dan doa terbaik buat kamu, keluarga, dan calonnya."
Ainy mengangguk dengan senyum tak kalah lebar. "Terimakasih sudah baik sekali pada saya selama ini, Bu, saya sudah menganggap ibu dan semua teman-teman di sini sebagai keluarga saya."
Zafina mengangguk. "Sama-sama. Pekerjaan kamu sama yang lain juga bagus dan rapih sekali, tidak pernah mengecewakan saya."
"Undangannya segera menyusul ya, Bu," kekeh Ainy kemudian. Kebetulan sekali undangan pernikahannya belum selesai dicetak.
Zafina ikut tertawa.
Sepeninggal Ainy, Zafina pergi keluar untuk mencari soto lamongan. Hari ini tiba-tiba saja dia kepikiran dan ingin sekali memakan makanan yang satu itu. Ditambah dengan sambal dan jeruk nipis. Enak sekali!
****
Di tempat yang berbeda, kedua pasangan yang sedang dimabuk cinta baru saja selesai mengurus pekerjaannya. Bukan pekerjaan mereka, lebih tepatnya hanya pekerjaan Relin. "Habis ini mau ke mana?" tanya Adam seraya menyalakan mesin dan segera melajukan mobilnya peninggalkan pelataran salah satu butik terkenal di Bandung tersebut.
"Temenin aku belanja dulu, ya, setelah itu kita makan. Gimana?"
Adam mengangguk. Dia melajukan mobilnya menuju pusat perbelanjaan.
"Besok kamu beneran berangkat lagi ke Singapura?" tanya Adam entah sudah yang keberapa kalinya.
Relin tertawa kecil. Dia memeluk lengan kiri Adam. "Beneran, Sayang. Kan acaranya tiga hari lagi, gak mungkin aku kalau gak hadir di acara penting ini."
Adam mengangguk kecil, dia mengusap puncak kepala Relin, kemudian meninggalkan kecupannya di sana. "Iya, Sayang. Mau saya antar lagi besok?"
Dengan cepat Relin menggeleng. "Gak usah, Sayang, gak usah ih. Aku selalu ngerepotin kamu."
"Apa yang enggak buat kamu?" goda Adam sambil kembali tertawa. Wanita itu berdecak, salah tingkah.
"Kamu mah ngegombalin aku terus." Relin memajukan bibirnya. "Lucu ya, Dam, kita yang sayang-sayangan, kamu nikahnya sama orang lain."
Adam langsung menolehkan kepala, menatap Relin. Dia diam, kehilangan kata-kata dalam sekejap.
"Ah ... gak pa-pa, jangan terlalu memikirkan perasaan aku, aku baik-baik aja. Aku sabar kok nunggu duda kamu." Relin menggembungkan pipinya yang nampak merona. Kemudian menghembuskan napasnya, sambil tertawa kecil. "Aku sayang sama kamu," lanjutnya dengan kembali menyandarkan kepala pada lengan Adam.
Adam mengusap rambut Relin, tanpa mengucapkan sepatah katapun. Entahlah, perasaannya sekarang begitu membingungkan. Di satu sisi dia sangat mencintai Relin dan perasaan ingin memiliki itu tetap sama, sedangkan di satu sisi lain dia tidak rela melepaskan Zafina, apalagi membayangkan wanita itu bersama dengan pria lain di luar sana.
Sudah cinta sama Zafina?
Tidak. Adam selalu menyangkal diri dan perasaannya akan hal itu. Hanya Relin yang dia cintai selama ini.
Dan akan tetap Relin.
Benarkah?
****
TERIMAKASIH SUDAH MENUNGGU DAN MEMBACA CERITA ADAM DAN ZAFINA:)