Chapter 13

1199 Words
Aini keluar dari tenda Shen Mujin dengan perasaan kesal luar biasa. Gadis itu membiarkan rasa simpatinya pada perut Shen Mujin yang dia kira bermasalah, namun ternyata oh ternyata pria yang sudah dia anggap menyebalkan itu saja pertama kali bertemu memikirkan hal lain diluar pembahasan mereka. Aini berlari keluar tenda Shen Mujin dengan perasaan kesal meninggalkan Shen Mujin sendirian di dalam tenda tanpa ada niat untuk kembali.  "Biarkan saja tidak jadi bahas hal penting." Kesal Aini, dia berjalan ke arah lain. "Aku sudah meluangkan kebaikan hati nuraniku untuk simpati padanya, namun ternyata dia menyebalkan. Kamera apa yang akan dia beli? Kamera yang biasa aku pakai untuk merekam video? Cih!" kesal Aini. "Ckckck! Kepala itu ingin aku pisahkan dari lehernya!" Aini melotot di sepanjang jalan. Johni dan Lu Yang yang melihat lototan dahsyat Aini itu merasa ngeri. Nona muda Basri ini memang benar - benar mengerikan, dia tak segan dan tak takut berteriak di depan bos. Batin Lu Yang. Ya, depan bos. Itu Nona Aini, karena Nona Aini adalah Nona muda Basri. Sedangkan dia? Dia hanyalah asisten pribadi yang tak ada artinya.  Nona Aini ini benar - benar berani dengan Tuan Shen. Dia tidak takutkah dengan kekuasaan uang Tuan Shen? Batin Johni bertanya. Johni saja yang tidak tahu apa yang telah terjadi. Jika Johni tahu kebenaran tenang Aini, dia pasti stroke di tempat. Dua orang beda kewarganegaraan namun sama jenis kelamin itu sedang mengarungi alam pikir mereka tentang keberanian dari Aini aka nona Aini dari sudut pandang mereka masing - masing. Sedangkan di dalam tenda mewah milik Shen Mujin, pria itu terlihat menggertakan giginya kesal. "Sial." "Kenapa aku bisa berbicara seperti itu padanya?" Shen Mujin heran, kenapa sampai dia berani membicarakan isi otak dan isi pikirannya di depan Aini. Dia sendiri tak tahu jawabannya. Yang pastinya, banyak gambar ekspektasi bibir Aini yang berseliweran di dalam otaknya. Gambar bibir Aini telah merecokinya! Shen Mujin melihat mangkuk nasi, masih penuh. Dia sudah kenyang meskipun mangkuk nasinya masih penuh. Kenyang dengan gambar - gambar bibir Aini telah dia lihat terbuka dan tertutup terus - menerus saat makan, kenyang karena melihat jilatan lidah Aini pada bibir gadis itu. "Ada apa denganku akhir - akhir ini?" kepala Shen Mujin terasa pusing. Pusing memikirkan tingkah lakunya terhadap Aini. Pria itu tidak menyadari bahwa dia sudah terbawa arus sangat jauh ketika berkenalan dengan Aini.  °°° "Sudah satu bulan Aini di tenda pengungsian, kapan dia selesai?" Ben tak pernah alpa setiap hari melontarkan pertanyaan itu pada sang istri. Popy melihat dongkol ke arah laki - laki yang telah hidup bersama selama lebih dari 40 tahun dengan pria itu.  "Jangan tanya lagi pertanyaan itu, Ben. Jangan sampai aku sendiri yang akan terbang ke Zhaotong untuk membawa pulang putri bungsu kita," ujar Popy.  Perempuan 66 tahun yang kini telah menjadi nenek dari empat orang cucu itu terlihat depresi. Depresi karena sang putri bungsu lebih memilih menjauh pergi ke negeri orang dari pada menetap di rumah mereka. Keberanian Aini patut diacungi jempol, dia tak takut jauh dari rumah. Beruntung ada orang - orang Basri yang menjadi relawan untuk menjaga anak bungsu mereka. Keputusan ayahnya memang memberatkan dia dan suami, sebab orang tua mana yang mau anak gadis mereka pergi jauh, namun mereka juga tidak bisa memutuskan cita - cita dan harapan dari anak mereka. Sang putri sudah tertarik membantu orang dari dia kecil. Hal yang baik, putrinya tidak sombong meskipun dia adalah nona muda Basri dan Ruiz. Popy tinggal dengan ayahnya – Randra, Naufal – anak lelaki nomor dua dan dua orang cucu yang diberikan Naufal dari pernikahannya dengan Lia kecil. Randra sering melakukan perjalanan ke rumah tua Basri yang berada di Bandung. Sebab di sana ada makam sang istri yang dimakamkan di taman makan keluarga Basri. Randra tinggal di rumah Basri di Jakarta karena mengenang masa - masa indah yang dia lalui dengan sang istri dari mereka remaja, bertunangan, menikah hingga tua bersama, di rumah itu juga dia bisa mengenang saat terakhir sang istri menutup mata untuk selamanya.  Namun, kadang - kadang Naufal dan Lia kecil memilih tinggal nomaden, sebab profesi Lia kecil yang merupakan tentara wanita. Dia ditugaskan di mana saja di seluruh Indonesia, jadi Naufal dengan senang hati mengikuti ke mana sang istri ditugaskan, dia sama sekali tak keberatan. Naufal meninggalkan dua bocah laki - laki berumur empat dan dua tahun di rumah Basri di Jakarta. Saat ini Lia kecil ditugaskan di perbatasan Papua dan Papua Nugini. Naufal dengan senang hati ikut istrinya sambil menjalakan bisnis resort Basri yang ada di Raja Ampat. "Nenek Poko!" pekikan seorang bocah laki - laki berusia empat tahun. Bocah itu berlari ketakutan ke arah kakek dan neneknya yang sedang duduk di ruang tamu membahas kapan putri bungsu mereka pulang lagi ke rumah. "Ada apa Adam?" tanya Popy, perempuan 66 tahun itu memeluk tubuh cucu laki - lakinya yang berlari kencang ke arahnya. Tak lama kemudian terlihat seorang bocah laki - laki berumur dua tahun menyusul lari dengan senyum lebar penuh dengan maksud tertentu, tangannya ada sesuatu berwarna coklat, benda itu masih bergerak - gerak ingin lompat terbang dari jepitan jari ibu dan jari telunjuk bocah itu. "Lihat Amir, dari tadi Amir menakuti Adam terus!" Adam berlomba menaiki tubuh tua neneknya. "Aduh pinggangku!" Popy mengeluhkan sakit pinggang. "Ha! Ini dia! Makan dia! Gigit dia! Makan dia! Gigit dia!" bocah yang bernama Amir itu mendekatkan benda yang masih bergerak di jemarinya, hal itu lantas membuat Adam menjerit ketakutan. "Ah! Ah! Ah!" Tubuh tua Popy yang tua itu diinjak - injak oleh Adam, bocah empat tahun. "Eh! Amir! Apa yang kamu pegang?" tanya Popy. Amir tersenyum lebar, dengan bangga dia menjawab, "Kecoa dari dalam saluran got di depan gerbang rumah." Mata Popy melotot. Cus! "Akh! Pinggangku!" Ben berteriak mengaduh kesakitan. Satu besar dan satu kecil berlomba memanjat naik ke arah tubuhnya. "Buang itu! Buang itu Amir! Itu barang menjijikan!" Popy teriak mengerikan. Bukannya menurut, bocah dua tahun anak kedua pasangan Naufal – Lia kecil itu tersenyum lebar hingga sudut bibirnya hampir mencapai kedua telinga.  Amir memperlihatkan dan mendekatkan kecoa yang dia tangkap ketika bermain di luar gerbang rumahnya.  "Nah! Ini dia! Makan dia! Gigit Adam! Gigit nenek Poko!" "Ah! Ah! Ah!" dua orang beda generasi itu berteriak histeris. "Tolong! Tolong!" "Tulang punggungku!" Ben terlihat sangat tersiksa ketika dua orang itu menaiki tubuh tua yang telah berumur 73 tahun itu. "Hah! Makan dia! Makan Adam! Gigit nenek Poko! Gigit kakek Ben!" "Cucuku laknat!" Ben menggertakan giginya dongkol ke arah anak Naufal. "Naufal bocah busuk! Kenapa kau taruh anakmu yang ini di sini!" Ben berteriak histeris. Di hutan di daerah perbatasan. Haciu! Bersin seseorang. "Kau flu?" seorang wanita cantik wajah ras campuran melirik ke arah pria berumur 35 tahun. Naufal tersenyum manis ke arah perempuan itu, "Tidak, aku tidak flu. Aku hanya kekurangan kasih sayangmu tadi malam," jawab Naufal genit ke arah wanita itu, dia mengerling nakal sambil menjilati sudut bibir kanan. Mata perempuan 31 tahun itu menatap tajam.  Dua lusin prajurit yang terdiri dari satu lusin wanita dan satu lusin pria terlihat mundur beberapa langkah. Pikir mereka pasti pelatih mereka akan mengaum. Kapten pasti akan mengaum pada suaminya!  Mata perempuan yang telah menikah selama lima tahun dengan Naufal itu tiba - tiba berubah cerah. "Suamiku, jangan katakan di sini." Wajah wanita itu memerah tersipu malu. Tiba - tiba mata Naufal cerah. "Wah! Istriku Ariella muncul!" "???" Tanda tanya besar dari para prajurit. Mana auman yang mereka tunggu - tunggu? Mana bunyi patah tulang yang biasa mereka dengar? Mana pergulatan dahsyat yang biasa mereka saksikan? Yang disuguhkan pada mereka adalah wajah memerah nan malu - malu dari pelatih sadis bin kejam mereka. Kapten, kenapa Anda berubah pikiran?! °°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD