Chapter 12

1359 Words
 Sudah satu minggu Shen Mujin pergi ke Beijing. Aini sudah hafal jadwal berangkat dan jadwal datang pria itu, sebab sudah beberapa kali mereka bertemu.  Satu bulan di tempat pengungsian membuat Aini lebih bersemangat. Sebab, kota dan county yang luluh lantak akibat getaran dahsyat gempa sudah mulai diperbaiki. Sudah sekitar lima puluh persen jalan dan bangunan dibersihkan dari reruntuhan, pekerjaan yang sangat cepat karena banyak donatur yang turut mengulurkan tangan mereka untuk membantu. "Aini." Terdengar suara seorang laki - laki. Aini berbalik, rupanya itu temannya, "Anming, ada apa?" tanya Aini. Laki - laki yang bernama Anming itu tersenyum, "Kamu sudah makan siang?"  Aini menggeleng, "Belum. Kamu?" jawab Aini. Anming menggeleng, "Aku juga belum," jawab Anming. "Um, maukah kamu makan siang bersamaku? Em maksudku kita makan siang bersama," ujar Anming gugup.  Wajah pria bermata sipit itu tersipu malu. "Boleh. Kenapa tidak? Aku juga sudah lapar," jawab Aini tanpa keberatan.  Wajah Anming terlihat bahagia, "Ayo ke tenda di sana!" Anming terlihat bersemangat.  Aini melangkah mengikuti. "Maaf, tapi saya ada sesuatu yang penting yang harus saya bahasa dengan Nona Aini." Suara bas tiba - tiba terdengar di pendengaran Aini dan Anming. Langkah kaki mereka terhenti. Aini menoleh ke arah belakangnya, ada pria yang sudah dia duga. Siapa lagi kalau bukan Shen Mujin. Wajah Anming terlihat kaku ketika melihat wajah serius dari Shen Mujin. Aini melirik ke arah Anming. Sejenak dia tak enak hati karena sudah mengangguk dan mengaku akan makan siang bersama. "Em–" "Ini penting." Suara Shen Mujin memotong ucapan Aini. Mata dingin Shen Mujin diarahkan ke Anming. "Tidak apa - apa, Aini. Nanti besok atau lain kali saja kita makan bersama," ujar Anming, pria itu menggigil ketakutan karena ditatap oleh Shen Mujin. Siapapun juga tahu bahwa berani melawan Shen Mujin berarti berani mati. Orang sukses dan konglomerat di China daratan itu sangat kuat pengaruhnya. "Anming, nanti lain kali." Aini tersenyum. Anming mengangguk, sejenak dia terpana dengan senyum manis Aini, dia hendak membalas, namun tatapan bak pisau menghujaninya. Anming buru - buru pergi, dia lari terbirit - b***t. Mata Aini melirik ke arah Shen Mujin. "Tuan Shen, mohon tatapan Anda di kondisi kan." Shen Mujin mengalihkan tatapan matanya ke arah Aini. Sekarang Shen Mujin sudah tahu kenapa gadis manis di depannya ini terlihat tak takut padanya, sebab gadis di depannya ini adalah Nona Muda Basri. Ah, mungkin juga nona muda Ruiz. "Nona Aini, ayo ke tenda saya," ujar Shen Mujin mengajak Aini ke tendanya. Shen Mujin berjalan, dua tangannya dia tautkan ke belakang. Aini mengikuti. Hal penting apa yang akan dibahas oleh pria menyebalkan ini? Batin Aini bertanya. Sesampainya di tanda Shen Mujin. Pria itu duduk di kursi lipat di depannya ada meja lipat yang telah disediakan beberapa macam makanan. Kening Aini berkerut. Hal penting apa yang dibahas di meja makan? Batin Aini. "Apa yang ingin Anda bahas dengan saya, Tuan Shen?" tanya Aini. Shen Mujin mendongak, tangannya menunjuk ke kursi lipat di depannya, "Sebelum membahas hal penting, sebaiknya kita makan dulu. Aku lapar setelah dari perjalanan," ujar Shen Mujin. Aini tak dapat berkata - kata lagi. Dia juga lapar. "Tenang, koki yang membunuh bebek ini adalah muslim dari Turki," ujar Shen Mujin meyakinkan Aini. "Bukan membunuh, tapi menyembelih." Koreksi Aini terhadap ucapan Shen Mujin. Shen Mujin memandang serius ke arah Aini, "Apakah membunuh dan menyembelih itu berbeda?"  "Ya," jawab Aini singkat. "Dari mana bedanya?" tanya Shen Mujin. Aini melirik ke arah Johni – sang penerjemah bahasa Indonesia – Mandarin yang duduk tak jauh di pojok tenda sambil memegang buku dan pena, "Tanya pada penerjemah Anda, Tuan Shen." "...." Shen Mujin melirik ke arah Johni. Lirikan membawa petaka. Ditatap oleh dua orang itu membuat p****t Johni seperti duduk di tumpukan jarum jahit.  Kesalahannya duduk di dalam tenda Bos!  Yesus, tolong aku. Batin Johni berteriak. "Em, Tuan Shen. Tiba - tiba saya merasakan bahwa bertiga di dalam tenda ini memakan banyak oksigen. Jadi saya putuskan untuk mencari oksigen gratis di luar. Permisi," pamit Johni. Pria 37 tahun itu berdiri lalu cepat - cepat keluar dari tenda Shen Mujin. Bos, anda sendiri yang menyuruhku untuk tetap stand by di pojok tenda untuk mencatat setiap kata dan kalimat yang keluar dari mulut nona Aini. Sekarang kenapa anda berbalik haluan menatap saya seolah saya maling?! Batin Johni berteriak. Lu Yang yang berdiri di luar tenda hanya memandangi Johni dengan tatapan iba. Malang sekali nasibmu. Batin Lu Yang. Sepeninggal Johni, Aini duduk dengan hati lega di kursi lipat. Dia senang tidak ada penerjemah di antara dia dan Shen Mujin. Sebab jika ada kata ejekan atau cemoohan untuk Shen Mujin dalam bahasa Indonesia, tidak ada yang menerjemahkan ke dalam bahasa Mandarin. "Ok, mari makan." Aini bersemangat mengambil mangkuk nasi, lauk - pauk dia ambil tanpa sungkan. Shen Mujin menyusul mengambil mangkuk nasi, lalu dia mengambil lauk - pauk yang sama seperti yang diambil oleh Aini. "Rasa bebek ini enak," ujar Aini menilai rasa makanan dari bebek yang dia makan. Shen Mujin melihat bebek yang dia makan. "Bebek kari?" kening Shen Mujin berkerut. Dia menebak nama makanan. "Ya. Rasanya seperti opor ayam," jawab Aini. Mata Shen Mujin melihat ke arah Aini, "Opor ayam?" Aini mengangguk, "Sejenis ayam santan." Shen Mujin mengangguk. Tiba - tiba dia ingin merasakan bagaimana rasa ayam santan yang dikatakan oleh Aini itu.  Aini makan dengan lahap, dua mangkuk nasi bersarang tidur di dalam perutnya. Ketika Shen Mujin melihat Aini menjilat kedua bibir montok berisi Aini, tiba - tiba dia juga menjilat bibirnya sesuai dengan gerakan yang Aini lakukan. Aini mendongak ke arah Shen Mujin sambil mengusap perutnya yang buncit karena banyaknya makanan, "Ayam kari ini enak, kan?" Aini tersenyum, dia minta pendapat dari Shen Mujin, sebab yang dia lihat dari Shen Mujin, pria itu juga menjilat bibir karena kelezatan ayam kare. Padahal itu hanya pikiran Aini saja. "Ya. Rasanya enak," jawab Shen Mujin fokus di bibir merah muda Aini yang tanpa memakai lipstick atau lipbalm. Rasa enak yang ambigu. Aini tersenyum. "Sudah lama tidak makan ayam kare, aku kenyang hari ini," ujar Aini senang. Merasa masih haus, gadis 20 tahun itu meraih gelas dan meminum air itu hingga tandas.  Tenggorokan Aini yang sedang menurunkan air ke lambung naik - turun, hal itu membuat Shen Mujin juga melakukan hal yang sama, menelan sesuatu, namun bedanya Aini menelan air mineral sedangkan Shen Mujin menelan air ludah. "Huh! Akhirnya aku kenyang!" Aini menghela napas lega. Dia duduk bersandar di meja lipat hijau.  Aini memandang ke arah Shen Mujin. "Makan cepat, katanya ingin membahas hal penting denganku," ujar Aini. Gadis itu melirik mangkuk Shen Mujin. Masih banyak nasi! Mata Aini melotot, "Tuan Shen, Anda makan sangat lamban," ujar Aini protes. Jelas saja dia protes, sebab dia sudah menghabiskan dua mangkuk nasi sedangkan Shen Mujin bahkan setengah mangkuk nasi pun belum terhitung. Kalau begini kapan bisa membahas hal penting?! Batin Aini berteriak. Jelas saja Shen Mujin makan sangat lamban, sebab dia dari tadi hanya mengambil nasi dan lauk - pauk untuk mengikuti Ainji, yang Shen Mujin kerjakan ialah menatap Aini makan makanan. Dan yang Shen Mujin tatap itu adalah bibir indah berisi montok Aini. "Tuan Shen, kenapa anda makan lamban sekali? Apakah perut anda merasa kurang nyaman?" tanya Aini. Dia terlihat bersimpati ketika melihat wajah bengong Shen Mujin yang sedang melihat ke arahnya seperti orang terhipnotis. Shen Mujin tak menjawab, dia hanya fokus pada bibir Aini yang terbuka tertutup berbicara. Dalam alam pikir pria 30 tahun itu, banyak pikiran yang bersileweran, antara lain, dia sejujurnya sangat penasaran dengan video ASMR yang Aini unggah di YouTube. Dia bertanya, seperti apa bentuk bibir Aini yang sedang makan di depan kamera, di mana saja kamera di dudukan untuk merekam gambar makan Aini. Jenis kamera apa yang dipakai oleh Aini dalam merekam aksinya. Timbul rasa iri di otak Shen Mujin, tiba - tiba dia sangat cemburu pada kamera yang merekam aksi makan ASMR dari Aini, bukan tanpa alasan dia iri dan cemburu, alasannya yaitu karena kamera itu dapat leluasa menonton dan melihat Aini memakan makanan yang ada. Ah, bahkan kamera itu ikut merekam aksi Aini. Tiba - tiba pikiran Shen Mujin blank. Semua berisi tentang bentuk bibir Aini yang terekam di kamera. "Tuan Shen, apakah anda mendengarkan ku?" "...." Shen Mujin bengong. "Tuan Shen, jika Anda ada masalah perut, saya sarankan Anda harus ke dokter untuk memeriksa penyakit apa itu," celoteh Aini. Lu Yang berdehem. "Ehm!" Shen Mujin tiba - tiba tersadar. Dia menatap Aini, dengan penuh percaya diri dia mengangguk, "Ya. Saya akan ke toko elektronik untuk membeli kamera apa yang biasa anda pakai untuk merekam aksi bibir anda." "...." Yesus! Buddha! Johni dan Lu Yang bersiap mengambil ancang - ancang, mereka berdua pasang kuda - kuda. "Shem Mujin kampret!" Cus! Dua orang itu start lari menjauh dari tenda Shen Mujin. Bos besar memang sangat berani!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD