Chapter 26

1397 Words
"Eyang, makan bubur dan sup ayam sangat enak dan sehat." Suara siapa lagi kalau bukan suara cadel nan manis dari anak nomor dua pasangan Naufal Mochtar Basri dan Ariella Achtiana Roussseau.  Randra tersenyum, dia mengangguk dan mendekatkan mangkuk sup ke arah sendok berisi sup dari Amir. Hari ini wajah Ben datar bagai papan cuci. Insiden tadi malam masih membekas di ingatan pria 73 tahun itu. Sangat membekas. Seumur hidupnya, yang terlalu kelewat batas adalah cucu laknatnya ini. "Terima kasih," ujar Randra. Amir mengangguk antusias nan manis. "Amir cicit yang pintar kan, Eyang?" "Ya, Amir adalah cicit Eyang yang pintar." Randra mengangguk dan membenarkan agar hati sang cicit senang. Adam tak mau kalah, seperti biasa, jika sang adik sering mengambil makanan untuk kakek buyutnya, dia akan mengambil air hangat. "Eyang, Adam juga pintar, kan?" wajahnya terlihat dengan penuh harap. Randra tersenyum. "Ya, Adam juga pintar." Adam mengangguk senang. "Hah, pintar darimana? Masuk kubangan got dan saluran got saja harus aku tendang," celetuk suara cadel Amir. Adam, "...." masih depresi mengingat ingatan kemarin sore.  Popy hanya bisa menggelengkan kepalanya saja. Sang cucu yang bernama Amir itu lebih pintar bicara di bandingkan dengan Adam. Ketika umur Adam menginjak tiga tahun, dia baru bisa mengatakan kalimat yang sederhana dan tak terlalu panjang, itupun masih tergagu dan terlihat takut berbicara dengan orang. Namun, berbeda dengan Amir yang menginjak usia satu setengah lima tahun sudah pandai berbicara, meski suaranya cadel dan masih teler beberapa huruf, tapi keluarga masih mengerti maksudnya. Ada dugaan dalam benak Popy, semoga saja sang cucu Amir ini tidak mengikuti kepribadian dari anak menantu perempuannya – Ariela. Popy juga tak menyangka bahwa dia dan Bushra akan menjadi besan, padahal mereka sepupu, ibu mereka bersaudara. Satu sifat yang membuat Amir berbeda dari yang lain, selain pandai bicara, dia juga pandai … nakal. Randra menahan tawa, dia tak ingin mengeluarkan tawanya, dia tak ingin menyinggung perasaan cicitnya Adam. "Ayo makan," ujar Randra. Adam dan Amir mengangguk. Kursi makan bayi milik Amir agak ditinggikan dari yang lainnya, jadi terkesan seperti dia yang berkuasa, hal ini membuat dia sering menindas sang kakak dan juga … Kakek. Kakek Ben pastinya. "Bukankah Aini sedang dalam perjalanan ke Jakarta?" Randra membuka suara setelah bubur nya habis. Ben dan Popy terlihat mengangguk. "Kemarin sore Aini sudah tiba di Beijing, anak buah Basri di Zhaotong memberi tahu," ujar Ben. Randra mengangguk mengerti. "Berarti tinggal tunggu kabar Aini tiba, atau dia sendiri yang langsung pulang ke rumah tanpa menunggu jemputan dari supir." "Ya, Ayah," Ben mengangguk. Dia tahu sifat asli dari putrinya, tidak terlalu suka pamer. Perjalanan dari bandara ke rumah bisa dia lalui dengan sendiri saja tanpa ada jemputan. Toh malah anak bungsunya itu lebih senang. "Hum? Tante Aini yang cantik itu akan pulang ke rumah?" suara cadel Amir terdengar, dia baru satu kali bertemu dengan adik dari sang ayah. Namun, kesan pertamanya baik tentang sang Tante. Popy mengangguk, "Iya, mungkin hari ini, em, siang mungkin," jawab Popy. Amir manggut - manggut. "Baguslah, Amir nonton Tante Aini di tv, bantu - bantu orang, baik sekali." Popy dan Ben mengangguk kuat, Randra dan Adam juga mengangguk kuat. "Nanti Amir mau minta bantu Tante Aini untuk melakukan bantu - bantu ah," ujar suara cadel Amir. "Mau bantu - bantu apa?" Popy melihat ke arah cucunya. "Mau bantu - bantu buat bersihin kubangan air got di depan selokan pagar rumah." Randra, "...." Ben, "...." Popy, "...." Adam, "???" tidak mengerti ucapan sang adik. Bantu - bantu kubangan air kepalamu! Batin Ben dongkol. °°° Taman indah, kebun bunga elegan menambah suasana damai dari pasangan suami - istri yang telah menikah selama lebih dari dua puluh tahun. Gerakan lihai kaki perempuan 43 tahun itu sangat indah menggaris dan mewarnai kain kanvas dengan kuas lukis. Di samping Chana, ada Aqlam – sang suami yang telah berusia 40 tahun. Aqlam tak pernah bosan memandangi apa yang dilakukan oleh sang istri, rutinitas yang dilakukan oleh wanita yang dia cintai. "Bagaimana menurut mu warna bunga lili merah muda ini?" suara Chana terdengar. "Indah, sangat indah," jawab Aqlam. Chana melirik ke sebelah kiri, ada Aqlam, "Setiap lukisanku, selalu kamu bilang indah, sangat indah, dan terlalu indah, apakah tidak ada kata kain?" Chana merajuk. Aqlam terkekeh geli, dia meriah kuas lukis yang dijepit di antara jemari sang istri lalu meletakannya di tempat kuas. Tak lupa juga Aqlam mencuci kedua kaki sang istri. "Kenyataan memang seperti itu, Chana. Aku tidak bisa berbohong." Aqlam memijit pelan dan lembut punggung kaki Chana. "Semua lukisan yang kamu lukis memang indah, aku harus berkata apa lagi? Bahkan terlalu indah." Chana tersenyum senang, dia menaikan kaki kanan lalu menyentuh pipi kiri suaminya, air terciprat ke arah wajah Aqlam. "Hahahahaha!" Chana terbahak.  Air masuk ke dalam mulut dan hidung suaminya. Aqlam menaikan sebelah alisnya. Tak lama kemudian tubuh montok berisi nan gempal itu jatuh duduk mengangkang di atas pangkuan Aqlam. "Ahahaha-um?!" Chana melotot. Aqlam tersenyum miring. "Olahraga pagi sepertinya enak setelah sarapan." "Hei! Tunggu! Satu lukisan belum!" Salam tak menghiraukan teriakan panik sang istri. "Ini masih pagi Aqlam! "Hum, lalu?" "Waktu santai." "Santai di kamar." "Aku tidak percaya kamu!" "Hum, tidak apa, tapi aku selalu percaya kamu." "Percaya apa?" "Percaya bahwa malam baru kamu bangun." "Hei!" Chana melotot. Suara debat suami - istri itu terdengar di sepanjang jalan dari kebun bunga menuju kamar mereka.  Para bodyguard dan pelayan sudah terbiasa dengan posisi mesra tuan dan nyonya mereka. Mereka tak perlu kaget lagi dengan posisi gendongan ala tuan Aqlam pada sang istri. Kedua kaki Chana menjepit pinggang Aqlam dan mereka berlalu tanpa merasa malu. Fahmi yang merupakan anak bungsu dari Aqlam dan Chana tak ambil pusing, dia melanjutkan main game di ponsel. °°° "Ben." Panggil Popy mondar - mandir tak jelas.  Mereka baru saja selesai makan pagi. Amir baru saja mengantarkan sang kakek buyutnya untuk beristirahat. Terlihat sangat lengket dengan Randra, namun tak masalah malah itu bagus. Manfaatnya juga bagus. Semakin dia lengket dengan kakek buyutnya, semakin dia disayang oleh sang kakek buyut, semakin dia disayang oleh kakek buyut, semakin dia bisa menindas semua orang. Amir ini, sangat licik seperti ayahnya. "Hum?" Ben melirik ke arah Popy. "Aini belum telepon juga?" "Belum." "Kalau begitu kirim supir dan bodyguard saja ke bandara lalu diperiksa," saran popy. "Bandara mana?" "Bandara mana saja, atau semuanya," jawab Popy. "Ok." Ben terlihat menuruti permintaan sang istri. Anak bungsu mereka belum juga ada kabar. °°° Pagi - pagi, Naufal sudah ada di depan tenda milik tentara. Beberapa prajurit memberi hormat meskipun mereka tahu bahwa Naufal bukan bagian dari militer. Naufal hanya mengangguk tanpa membalas. Mata pria 35 tahun itu jelalatan melihat ke arah dalam tenda, berharap melihat orang yang dia cari. "Masuk saja." Suara Irfan terdengar. "Hehehee." Naufal terkekeh, dia berjalan masuk ke dalam tenda besar itu.  Di dalam tenda ada beberapa perwira militer, satu kolonel, dua mayor, tiga letnan satu, dan satu kapten, kapten itu adalah sang istri tercintanya – Lia. "Ah, Pak Basri, selamat pagi," sapa kolonel. "Selamat pagi Pak Kolonel Jery," balas Naufal. "Mari duduk, Pak Basri," ujar seorang mayor. "Terima kasih Pak." Naufal memilih duduk tak jauh dari Lia kecil yang sedang menikmati teh pagi. Aiisssh, ini bukan istriku Ariella, ini si ganas Lia. Batin Naufal susah. "Kemarin sore itu cukup menegangkan, beruntung ada Ibu Lia yang sigap dan juga Anda yang langsung cepat tanggap, para pemberontak tertangkap." Kolonel Jery terlihat mengagumi bakat dan keahlian dari Naufal dan Lia. Pasangan suami istri yang pas. Naufal mengangguk, "Kapten Lia yang sangat hebat." Naufal melirik ke arah Lia. Lia sendiri tak mengacuhkan dia menyeruput teh. Ck! Si Lia ini kapan tidurnya? Orang mau ketemu sama Airella. Batin Naufal mencebik. "Ah, benar. Kapten Lia sangat tangguh. Saya sangat mengagumi Kapten Lia." mayor b mengangguk membenarkan. "Kapten Lia, kudengar Anda dan suami Anda terlihat sangat kompak ketika memburu para pemberontak?" letnan satu bertanya. Slet. Tatapan bak silet dilayangkan oleh Lia ke arah letnan itu. "Siapa yang suamiku?" Mampus kau. Batin Naufal. Dia cepat - cepat berdiri dari duduk. "Saya sepertinya ada urusan, permisi." Dan …. Cus! Naufal kabur dari dalam tenda. "Hahahahahah!" Irfan terbahak. Dia tak kuat menahan tawa. "Letnan mulut ember," cebik Naufal ketika sudah berada di luar tenda.  Kesalahan besar dengan menyebutkan dirinya suami di depan Lia. Cari mati. Krek! "Aaaakh!" Terdengar suara teriakan. Naufal bergidik ngeri. "Letnan Sandi, saya kira Anda harus mempertajam lagi refleks Anda." Suara dingin bernada tegas perempuan terdengar. Krek! "Aaahh! Baik! Baik kapten!" Cus! Naufal melarikan diri dari dekat tenda. Lia ganas sudah bangkit. Salah sendiri. °°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD