Chapter 25

1350 Words
Mobil berhenti di depan sebuah rumah. Sang supir dengan sigap keluar dari jok kemudi, dia berjalan lalu menunduk hormat ke arah sang majikan. "Tuan, saya sudah melaksanakan perintah Anda." Pria yang merupakan majikannya itu membuka pintu mobil belakang lalu menggendong tubuh mungil nan berisi berparas manis itu. Beberapa menit kemudian.  Kamar merah elegan, karpet permadani berbulu, ranjang king size yang mewah, seprei putih halus. Merah marun bercampur hitam mendominasi kamar elegan nan mewah itu. Kelambu merah marun itu menghalangi pandangan dua tubuh yang berada di atas ranjang itu. Meski begitu, bayang - bayang mereka dapat dilihat. Di samping ranjang ada meja yang menampung sebotol wine mewah dan sebuah gelas dengan wine di dalamnya. Di pinggir bibir gelas basah menandakan bahwa seseorang baru saja mencicipi kenikmatan wine itu. Shen Mujin melihat ke arah wajah Aini yang sedang tertidur, ah, lebih tepatnya tak sadarkan diri. Ditatapnya lama wajah indah milik Aini.  Ibu jari kanan Shen Mujin menyentuh mata, turun ke hidung lalu berakhir di bibir kecil nan berisi merah muda itu. Cukup lama mata pria itu memandangi bibir merah muda milik Aini, ibu jarinya mengusap dan menyentuh terus - menerus bibir milik Aini. Sebuah senyum miring tercetak di salah satu sudut bibir pria 30 tahun itu. "Kau ingin berbagi?" suara seraknya terdengar. "Kau suka berbagi?" Hanya sunyi yang terasa di dalam kamar itu. Napas teratur milik Aini menandakan bahwa gadis itu tak tahu apa yang akan terjadi padanya. "Mari berbagi." Shen Mujin mulai melepaskan jas biru dongker yang dia pakai. Dilemparkan ke sembarang arah, berakhir di ujung ranjang bagian bawah.  Kenop baju Aini satu persatu dilepaskan, ketika mata Shen Mujin melihat leher turun ke arah lembah gunung kembar yang tertutup bra yang difasilitasi oleh Shen, mata Shen Mujin menyala merah tak tahan. Krek! Robek. Bra itu robek. Napas Shen Mujin memburu bagai dikejar anjing. Satu kata yang mendeskripsikan Shen Mujin sekarang. Nekat. Tambah satu kata lagi. Gila. Ranjang itu bergoyang hingga tak tahu kapan berhenti. Suara geraman serak seorang pria terdengar samar - samar. °°° (Perhatian: konflik yang terjadi di latar tempat atau wilayah di sini adalah hanya setingan belaka, fiktif dan tidak nyata, ini hanya untuk memperkaya cerita. Terima kasih, ttd Jimmywall.) Naufal menyeret tiga mayat yang merupakan pemberontak sekaligus. Ketika sampai di pos perbatasan, sudah ada wakil panglima TNI. Muhammad Irfan Baqi yang masih merupakan saudara sepupu dari sang ibu. "Mereka menyekap satu keluarga yang tidak bersalah serta membunuh tiga orang anggota TNI anak asli Papua dengan alasan bahwa mereka berkhianat." Suara Naufal terdengar. Irfan mengangguk mengerti. Pria yang dia lihat sekarang bukan anggota TNI manapun, namun keahliannya untuk membela negara patut diacungi jempol. Irfan tahu alasan kenapa keponakan yang masih mengalir darah Baqi ini ada di sini, apa lagi kalau bukan untuk menemani wanita tercintanya – istri tercinta – Ariella Achtiana Rousseau yang saat ini juga adalah anak buahnya. Anak buah tersadis. Lia kecil terlihat berdiri memperhatikan wajah - wajah yang merupakan para pemberontak. "Mereka bukan orang asli di sini, mereka adalah pendatang dari daerah lain," ujar Lia kecil. Irfan mengangguk mengerti. Dia melihat penuh simpati pada empat orang yang dibawa oleh Lia kecil, bukan bersimpati karena mereka ditangkap, namun bersimpati pada kaki mereka yang telah dipatahkan oleh Lia Kecil. Seorang kapten dari batalyon dengan skil tembak dan beladiri luar biasa. Hanya Lia kecil yang merupakan keluarga Nabhan yang memilih jalan hidup menjadi tentara, yang lainnya berfokus pada bisnis dan usaha. "Mereka ini yang menghasut orang - orang untuk memberontak dengan memberikan iming - iming uang yang cukup menggiurkan," ujar Lia kecil dingin. Kepribadian ini, biarpun Naufal yang merupakan suaminya, Naufal tak akan mengaku. Istri yang Naufal akui hanya satu, Ariella saja.  Naufal menggelengkan kepalanya ketika melihat wajah - wajah penuh sakit dari para pemberontak. "Kasihan sekali kalian." "Bawa ke kepolisian, tugas kita untuk melindungi keamanan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, biarkan kepolisian memproses kasusnya." Perintah Irfan. "Siap, Komandan!" Satu jam kemudian. Naufal berjalan berjinjit ke dalam sebuah tenda hijau tua. "Sebaiknya malam ini kamu tidur di tenda lain, istrimu tidak akan muncul malam ini." Terdengar suara. "Ah, Om Irfan." Naufal melirik ke arah sepupu sang ibu. "Bikin kaget Opal saja." Irfan tersenyum geli, "Tidak percaya apa kata Om?" Irfan menaikan sebelah alisnya, "Om hanya mengingatkan saja, dari pada besok kau ke tukang urut lagi." Naufal mencebik kesal. "Padahal tadi sore Opal sudah pesan karpet bulu dan selimut tebal, rencana mau kencan sampai pagi di dalam tenda, tapi karena … his! Pakai acara pemberontak segala, Ariella jadi tidur kan, malah Lia kecil ganas yang bangun." Naufal menggertakan giginya kesal. Malam ini sepertinya dia tak bisa tidur sambil memeluk sang istri. Irfan tersenyum geli, dia melihat sesuatu di genggaman Naufal, pria 55 tahun itu menaikan sebelah alisnya, "Apa yang kamu pegang?" Dengan mulut mencebik kesal, Naufal menjawab, "Pil KB untuk Ariel." "Hahahahahaha!" Irfan terbahak sampai air matanya membludak. Tak perlu dia katakan lagi pasti pil KB ini tak akan digunakan oleh anak buahnya yang bernama Lia itu. "Jangan tertawa Om. Opal hari ini merasa sangat kesal, tadi sore Opal sudah berhasil menggaet Areilla untuk santai, makanya malam ada rencana buat olahraga malam dengan Ariella, tapi, ah! Sudahlah, Opal ingat saja, Opal ingin patahkan tangan tahanan tadi." Dongkol Naufal. Irfan merangkul keponakannya berjalan menjauh dari tenda. Mereka duduk di tempat yang agak sepi. "Malam ini, temani Om Irfan saja di tenda, dari pada kamu sendiri di dalam tenda berbulu hangat namun otak ngeres terus." Naufal mendengkus dongkol. "Simpan pil KB itu, malam ini tak bisa terpakai untuk Aril, percaya sama Om. Dia sedang menginterogasi seorang yang merupakan pimpinan pemberontak." Irfan mangambil pil KB dari tangan Naufal lalu memasukannya ke dalam saku celana Naufal. "Malam ini bukan istrimu, tapi sepupu ganasmu – Lia kecil," lanjut Irfan. Irfan dan Naufal duduk tak jauh dari tenda. "Hah, beginilah jika punya istri berjiwa tiga, setiap malam Opal harus tidur waspada. Baik alhamdulillah syukur kalau yang tidur dengan Opal itu Ariella, coba kalau Lia kecil? Opal besok pagi kalau tidak ke dokter tulang ke tukang urut. Itu masih mending, coba kalau yang tidur dengan Opal itu Lolly? Sudah pisah kepala dan leher Opal," Naufal mengembuskan napas. Tidak mudah hidup dengan orang yang berkepribadian ganda, apalagi lebih dari dua kepribadian. Naufal masih beruntung jika dipergoki tidur oleh Lia kecil, paling hanya beberapa sendi yang bergeser, itu bisa dikembalikan seperti semula lagi, tapi bagaimana jika dia dipergoki tidur oleh Lolly – kepribadian yang cenderung bunuh diri yang adalah nama dari kepribadian nomor tiga dari Areilla? Kepala dan leher lepas, apa masih bisa menyambungkan lagi seperti semula? Jawabannya pasti mati, istilah lain, koit. Irfan mengerti dengan beban yang dirasakan oleh sang keponakan. Tidak ada yang bisa mengendalikan Lia kecil selain mendiang nenek buyut dari Lia kecil – Lia Rahmawati Farikin. Pernikahan Naufal dan Lia kecil hampir batal lima tahun lalu karena kepribadian kedua Lia yang muncul. Lia menjadi lebih agresif ketika sang nenek buyut meninggal pada umurnya yang ke 105 tahun bersamaan dengan umur sang kakek buyut, 115 tahun. Pasangan suami - istri itu pergi menghadap Ilahi bersama, di menit, jam dan hari yang sama. °°° "Aaaaaaakkh!" Aink tersentak bangun, tubuhnya terjungkal ke belakang dan menginjak renda dari kelambu merah marun. Renda kelambu itu robek. "Aaaaaaaaaahh!" Aini histeris. Tiba -  tiba dia merasakan perubahan dalam dirinya. Aini melihat ke arah daerah pribadinya lalu melihat ke arah atas seprei putih. "Tidak!" Shen Mujin tersentak bangun dari tidur. Wajah pria itu terlihat … cerah. Aini menatap nyalang penuh syok ke arah Shen Mujjn. Jari telunjuknya dia acungkan ke arah pria berotot itu. "Kau! Kau Shen Mujin … apa yang kau lakukan padaku?!" wajah syok Aini ke arah Shen Mujin. Shen Mujin melihat wajah syok Aini. Bukan rasa bersalah yang dia rasakan namun rasa senang kepuasan yang telah dia rasakan.  "Kita telah berbagi malam bersama." "Aaaaaahh!" Aini hampir gila.  Seumur hidupnya dia tak pernah dilecehkan se-eksplisit ini. Tidak pernah. Aini tak dapat mempercayai dan menerima apa yang telah terjadi. Dia menolak. Tubuh, batin, pikiran, raga, jiwa semuanya menolak apa yang terjadi padanya.  Aink tidak bodoh, dia tahu apa yang telah terjadi pada dirinya. Dia tidak lagi gadis. Tidak lagi gadis! "Kau!" Aini menunjuk marah ke arah Shen Mujin. "Kau membiusku!" °°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD