Dalam hidup ini, Fabian seolah ditakdirkan untuk memiliki segalanya: keluarga yang kaya, bakat yang genius, dan wajah tampan yang memungkinkannya untuk dikagumi perempuan mana pun. Hampir semua orang merasa iri pada Fabian. Ia tak perlu bekerja keras untuk mendapatkan sesuatu. Namun tetap saja, sesempurna apa pun seorang manusia, pastinya ada celah yang mereka miliki. Hanya saja, sebagian orang tak menyadari letak celah itu di mana.
Fabian duduk santai di sofa panjang di ruangan Keenan. Sudah menjadi kebiasaannya sejak dulu jika datang ke kantor Keenan ia akan bertindak seperti di kantornya sendiri. Tentunya karena Keenan juga tidak pernah mempermasalahkan keberadaan Fabian. Asal ia tidak mengganggu pekerjaannya. Jika sampai terjadi, siap-siap saja terkena amukan Keenan.
Sementara itu, di depan sana, Kian tengah memahami beberapa pekerjaan yang Keenan jelaskan barusan. Sedikit canggung karena Keenan tidak begitu banyak bicara dan juga, terlalu tampan untuk menjadi seorang boss.
"Kak, Papa bilang katanya mau nikah?" tanya Fabian seraya terfokus pada ponsel, membaca beberapa artikel berita hari ini.
"Siapa?" sahut Keenan di balik komputernya.
"Ya, Kakak. Siapa lagi? Masa aku?"
"Ngaco."
Fabian menghela napas dalam, menyimpan ponselnya di atas meja dan berbalik menatap Keenan yang tengah berkutat dengan pekerjaannya.
"Serius Kak Kee gak punya gebetan?"
"Pernah."
"Astaga, aku nanya keadaan sekarang ini. Pernah bukan jawaban," gerutu Fabian. Biasanya Fabian terkenal cool di kalangan teman-temannya, tetapi jika sudah berhadapan dengan Papa, keluarga, dan sahabatnya, mohon maaf, tidak ada lagi Fabian dengan imej cool tersebut.
Fabian melangkah mendekati Keenan, duduk di sudut meja kerja saudara sepupunya tersebut. "Kak, kerja keras emang bagus. Tapi ayolah, menikmati hidup juga perlu. Cari cewek, kek, atau apa. Kakak tahu nggak, Om Nathan selalu ngocehin soal Kakak. Katanya Kakak gak tertarik sama cewek. Kakak gak mungkin gay, kan?"
Dug! Keenan memukul meja kerjanya sehingga membuat Fabian terperenyak untuk beberapa waktu.
"Udah nemu kantor Advokat buat magang?" Ucapan yang terlontar dari mulut Keenan tersebut membuat Fabian menganga tak percaya. "Belum? Mending kamu coba ke kantornya Aron, siapa tahu diterima. Biar kamu ada kesibukan dan nggak ganggu pekerjaan aku terus."
Fabian speechless. Sumpah, manusia jenis apa Keenan ini? Kadang Fabian tidak mengerti. Padahal Keenan tidak jauh berbeda darinya; tampan, kaya, sekali senyum ratusan perempuan jatuh cinta, cerdas, lalu kenapa dia seperti tidak memiliki ketertarikan apa pun pada perempuan? Ah, Fabian merinding memikirkan kemungkinan terburuk yang singgah di otaknya.
"Udah. Minggu depan udah mulai masuk," balas Fabian. Keenan menggeleng pelan dan berusaha memusatkan kembali perhatiannya pada pekerjaan. "Tapi beneran, kemaren Om Nathan bilang katanya Kakak mau nika---"
"FABIAN! Pulang!"
Fabian berdiri dengan refleks, tersenyum geli melihat kemarahan Keenan.
"Iya iya, maaf. Tapi boleh pinjem Kian?"
Melihat Keenan mengangkat vas bunga di depannya membuat Fabian tertawa pelan dan segera berlari mundur. Keenan sedang galak mode on.
"Aku pulang!" seru Fabian, meraih ponselnya di meja, dan keluar dari ruangan Keenan masih dengan sisa-sisa tawanya.
"Bi!" panggil Kian yang sontak berdiri melihat Fabian keluar dari ruangan Keenan.
Dengan sekejap, raut wajah Fabian berubah menjadi lebih tenang. Berdeham, Fabian berjalan mendekat ke arah Kian dan tersenyum tipis.
"Gimana pekerjaannya?" tanya Fabian, berdiri di depan meja Kian.
"Masih hari pertama, bahkan aku baru mulai beberapa jam kerja. Ya, begitu... belum ada kesulitan apa pun, sih, sejauh ini."
"Kak Keenan-nya gimana?" Fabian tanya.
"Gimana gimana?" Kian mengkerutkan kening. "Dia baik, cuma masih belum banyak bicara, jadi aku canggung."
"Cih, belum tahu aja kamu. Agak lama dikit juga sifat aslinya keluar: cerewet."
Kian mengernyit, menatap ke ruangan Keenan, kemudian menatap Fabian kembali. "Pak Keenan cerewet?" tanya Kian polos. Saat tawa kecil Fabian terdengar, Kian memahami makna dari ucapan Fabian barusan.
***
Keenan menghentikan pekerjaannya begitu Fabian keluar. Pernikahan? Perempuan? Keenan sama sekali tidak pernah memikirkan kedua hal tersebut. Pada usia berapa ia akan menikah, dan perempuan mana yang akan dinikahinya, Keenan tidak tahu. Baginya hanya dua orang perempuan yang harus ia bahagiakan di dunia ini; Lintang ibunya, dan Zheea adiknya.
Pernah ketika remaja dulu, ia berpikir untuk membahagiakan perempuan lain selain adik dan ibunya, tetapi orang itu pergi bahkan tanpa mengucapkan sepatah kata pamit. Dan sampai saat ini, ruang yang ditinggalkan perempuan tersebut masih kosong. Keenan tidak berniat untuk mengisinya dengan hati yang lain, atau mencoba mencari kembali hati yang pernah pergi tersebut. Entahlah, hanya saja... Keenan benar-benar mati rasa sejak hari itu.
***
Kian makan di kantin kantor seorang diri, berhubung Keenan bilang ada urusan pribadi barusan. Beberapa orang terlihat tak asing, Kian pernah bertemu mereka ketika ia wawancara. Dan sisanya, Kian sama sekali tak mengenali wajah mereka.
Makan sendirian di tengah keramaian memang sedikit canggung. Tapi apalah daya, Kian tak begitu pandai menjalin komunikasi dengan orang baru. Yang dilakukannya sejak tadi hanya tersenyum formal pada beberapa orang yang melihatnya, kemudian mulai melanjutkan makan dengan khidmat. Sampai, suara di belakang membuat Kian menoleh senang.
"Kiandra!"
"Martha?" tanya Kian, menyimpan sendok makannya dan bergegas meraih tangan perempuan berambut panjang tersebut untuk duduk bersamanya.
"Kamu kerja di sini?" tanya Kian dengan kedua binar di bola matanya. Rasanya melegakan ada seseorang yang ia kenali.
Martha Ayuni, teman sekolah Kian tersebut mengangguk seantusias Kian. Padahal dulu keduanya tak begitu dekat. Mereka bahkan tidak tinggal di kelas yang sama atau pernah mengikuti kegiatan ekstrakurikuler bersama. Tapi kebetulan Martha pernah satu kelas dengan Fabian ketika kelas sebelas. Makanya sedikit banyak, mereka saling mengenal karena pernah saling menyapa satu sama lain.
"Iya. Aku masih masa training. Baru sebulan." Martha berdecak heboh. "Wah, aku gak nyangka bisa satu kantor sama temen sekolah."
Kian hanya tertawa kecil merespon keantusiasan Martha. Memang sejak dulu Martha terkenal dengan sifat cerewet dan aktifnya. Tak heran jika lingkup pertemanan perempuan tinggi itu juga sangat luas.
"Aku juga gak nyangka. Tapi aku seneng, akhirnya ada orang yang aku kenal. Ini hari pertama aku soalnya."
Obrolan keduanya pun berlanjut. Mulai dari bertanya kabar masing-masing, berbicara seputar kantor, hingga hal-hal ringan lainnya. Ah, Kian lega bisa bertemu Martha. Katanya, Martha menempati posisi bagian keuangan. Berarti letak ruangannya sangat jauh dari ruangan Kian. Tapi tak apa, setidaknya jika Kian harus makan siang di kantor, ia tidak akan sendirian lagi.
"Udah pernah ketemu sama adeknya Pak Keenan nggak, Ki?" tanya Martha seraya menyeruput tehnya.
"Adeknya? Belum. Ini, kan, masih hari pertama aku," balas Kian.
"Hm, iya ya. Tapi aku saranin harus hati-hati. Sumpah aku pernah ketemu dia dan orangnya jutek abis, sombong, galak, jauh banget sama Pak Keenan, padahal cantik," cibir Martha.
Kian memiringkan kepala. "Iyakah?" tanyanya.
"Iya. Namanya Zheea. Kalau gak salah lulusan SMA Woollim juga. Kamu tahu, kan, siswi yang pernah jadi juara umum? Nah, dia!"
Kian mengernyit. Rasa-rasanya nama Zheea tidak asing. Zheea, SMA Woollim, juara umum..., tunggu!
"Zheea? Kak Zheea yang jadi model majalah itu?!" pekik Kian tak percaya.
Ketika Martha mengangguk, saat itu pula Kian menghela napas panjang. Astaga, dunia memang sempit. Zheea Rafisqy Adinata, seseorang yang membuat Kian iri, ternyata adik dari bossnya, yang artinya juga sepupu Fabian. Benar-benar, dunia memang sempit.
***