Makan malam yang diadakan keluarga Adinata sebulan sekali seperti biasa berjalan ramai. Seluruh keluarga berkumpul, tak terkecuali satu pun. Mereka tahu betul bahwa Royan Adinata sangat tidak suka jika anak cucunya lebih mementingkan pekerjaan atau urusan lain ketimbang keluarga. Ia amat ketat, menakutkan, dan kekanakan di saat yang sama. Di usianya yang sudah memasuki angka ke-81, ia masih sanggup memarahi anak cucunya selama satu setengah jam jika mereka berhalangan hadir apalagi dengan alasan yang sepele. Fabian salah satu orang yang paling sering terkena marah. Untungnya, anak itu bermulut manis sampai Royan tidak bisa berkata-kata lagi jika sudah berhadapan dengannya.
Pernah ketika masih kuliah, Fabian tidak hadir karena makan malam diadakan pada malam Minggu dan kebetulan Fabian ada janji dengan pacar keduanya. Esoknya, Fabian disidang oleh Royan. Tapi dengan otak licik nan jenius Fabian, Royan takluk. Fabian bilang, dia diundang makan malam oleh keluarga pacarnya. Royan senang, ia pikir Fabian menemukan perempuan yang akan sungguh-sungguh ia pacari dan kemudian akan ia nikahi kelak. Nyatanya, Fabian bohong. Mereka justru pergi ke bar, bermain-main, dan putus seminggu kemudian. Ketika Royan menanyakan kembali perihal perempuan itu, alibi Fabian hanyalah, dia bukan orang yang tepat. Padahal Fabian-nya yang b******k. Dan berganti-ganti pasangan masih jadi kebiasaan yang belum bisa dia tinggalkan hingga saat ini.
Kembali pada saat ini, semua orang makan sambil sesekali mengobrol. Tidak ada aturan ketat bahwa selama makan bersama berlangsung orang-orang harus khidmat. Royan lebih percaya bahwa makan diselingi mengobrol ringan adalah salah satu metode agar keluarga bisa lebih dekat.
"Jadi kamu kerja di kantor advokat Aron sekarang?" tanya Royan pada Fabian yang sejak tadi hanya asyik makan tanpa menyimak pembicaraan keluarga.
Fabian menghentikan aktivitasnya, menatap Sang Kakek dengan senyum andalan. "Ya, begitulah," Fabian menjawab singkat.
"Kamu masuk dengan seleksi murni, kan?" tanya Royan. Semua mata kini tertuju pada Fabian yang tersenyum kaku. Suasana mendadak hening.
"Ya, masa Fabian nyogok, Kek? Kak Aron udah kaya gitu, mana mau nerima sogokan dari cowok kere kayak Fabian?" Kekehan kecil Fabian sama sekali tak mencairkan suasana. Seolah baik Royan mau pun yang lainnya tahu, Fabian tidak bisa dipercaya.
"Kalau nyogok pake kenalan cewek?" celetuk Zheea, satu-satunya perempuan muda di sana yang sejak tadi makan dalam hening. Bahkan ketika melontarkan pertanyaan itu pun, seolah dia baru saja bertanya perihal menu makan malam. Sangat tenang, santai, dan tanpa mengalihkan perhatian dari makanannya.
Fabian melotot tak percaya, menatap kakak sepupunya sambil menahan sebal. Zheea memang jarang melontarkan lelucon, tetapi sekalinya melucu, bisa membuat orang-orang mengumpat. Ralat, Fabian saja sebenarnya.
Fabian terkekeh sumbang. "Lho, Kak Zhee kok su'udzan? Tanya aja Kak Keenan, aku seleksi murni, kok."
Yang disebut seketika merotasikan bola mata, sudah ketebak dari awal.
"Tuh, muka Kak Keenan udah kayak gitu, berarti dia gak tahu apa-apa!" Zheea tersenyum tipis, penuh kemenangan.
"Kak Zhee makin cantik makin ngeselin, heran." Fabian berdecak.
Sementara, Zheea memicing. "Jadi, itu pujian atau cacian?" desisnya. Bibir mungilnya yang berlipstik merah menyeringai.
Perdebatan mereka akhirnya terhenti saat Royan tiba-tiba bersuara, "Kian. Yang Kakek lihat di lift kantor Keenan kemarin, dia pacar kamu?"
Fabian seketika tersedak. Lalu Zheea dan seluruh keluarga menatap ke arahnya, melayangkan tanya lewat tatapan tajam mereka. Tak terkecuali Lana dan Jefri, orang tuanya yang bisa ditebak bahwa keduanya sama penasaran.
"Bukan," balas Fabian setelah diam beberapa detik. "Dia temen SMA Fabian. Kakek, kan, tahu? Atau Kakek lupa? Ah, nggak mungkin, kan?"
"Berapa tahun kamu temenan sama Kian? Enam?" Kini Jefri yang mengajukan tanya. Seolah paham apa yang dipikirkannya dengan Royan adalah sama.
"Tujuh tahun, Pa. Dari kelas 1 SMA." Fabian masih bersikap santai, sama sekali tak terpengaruh dengan tatapan orang-orang di sekelilingnya yang tak seluruhnya bisa dia baca.
"Kenapa kalian nggak menikah saja?"
Uhuk! Fabian tersedak jus jeruk yang baru saja ia tenggak. Menikah? Dengan Kian? Astaga.
"Kakek ngaco! Kita udah temenan dari lama."
***
Kian, di rumah gak? Aku mau ke rumah Arlita. Mau makanan apa? Sekalian aku lewat nanti.
Kian menghela napas ketika membaca pesan singkat Fabian. Dia... selalu saja seperti itu. Bermaksud baik, tetapi melukai tanpa disadari.
Gak usah, Bi. Aku kenyang hehe.
Kian menyimpan asal ponselnya di atas bantal, lantas merebahkan tubuh. Meringkuk seperti bayi dan terdiam. Netranya menatap lurus jendela yang terbuka. Banyak hal melintas di benaknya, membuat Kian termangu untuk waktu yang lama.
Kemudian, ucapan ayahnya beberapa saat lalu terngiang kembali, "Sebenarnya Papa kurang srek kamu kerja di kantor sepupunya Fabian. Papa mau kamu punya perusahaan sendiri, seenggaknya mandiri dari mulai hal terkecil."
"Kerja di kantor tersebut juga salah satu usaha Kian untuk mandiri," balas Kian kala itu. Sedikit merasa tersalahkan, padahal ia hanya berusaha dari nol. Segalanya tidak ada yang instan, bukan?
"Tapi alangkah baiknya kalau kamu menempati posisi yang lebih tinggi, bukan cuma sekretaris. Ingat, kamu keluarga Bagaskara."
Lagi. Kian meringis. Bagaskara, keluarga Bagaskara. Kian merasa nama itu terlalu berat untuknya. Nama itu terlalu membuatnya sesak. Membuatnya bahkan terkungkung, tak bisa lepas melakukan apa yang hatinya inginkan. Jujur, Kian ingin bebas. Tapi sisi lain dirinya tak pernah bisa. Kian masih berharap terhadap keluarga Bagaskara. Harapan yang hanya ia dekap sendiri, entah sampai kapan.
Menarik selimut, Kian mendekap erat dirinya, memejamkan mata lirih. Mengendus aroma konsentrat yang lembut dari kain tebal tersebut. Aroma yang selalu mengingatkannya pada mendiang bundanya yang telah lama pergi. Kian menangis dalam diam di sana, berimajinasi bahwa tangan lembut Bunda memeluknya.
Dering ponsel membuat Kian membuka mata. Lantas menemukan nama Fabian terpampang di layar.
"Aku di luar. Sini cepet. Dingin."
Tuuut. Panggilan berakhir begitu saja. Bahkan Kian belum sempat mengucapkan sepatah kata pun.
Fabian, apa dia akan menyadari sisa air mata Kian seperti waktu sebelumnya? Kian harap tidak. Meski sebagian dirinya menginginkan Fabian mengerti, kemudian memeluknya seperti saat itu.
Kian membutuhkannya sekarang. Tapi, Kian tidak bisa mengatakannya.
***