Nama perusahaan, tokoh, organisasi, dan hal-hal lainnya di dalam cerita ini hanyalah fiktif. Mohon kebijakannya.
Silakan tinggalkan jejak bintang dan komentar yorobun❤️
***
"Ke mana, Ki?"
"A-aku...."
"Tunggu. Kamu nangis?" Fabian menatap Kiandra lekat-lekat. Sepertinya ia baru menyadari mata sembab Kian. "Ada apa? Kenapa? Siapa yang nyakitin kamu?" tanya Fabian pelan, berbaring meringkuk seraya menatap Kian lurus.
"Aku nggak nangis, Bi---"
"Kamu gak bisa bohong," sela Fabian, memotong ucapan Kian.
"Aku cuma kangen Bunda." Akhirnya Kian menjawab, meski suaranya goyah di akhir kalimat.
Sedangkan itu, Fabian bergeming. Kian memang pernah bercerita mengenai asal-usulnya pada Fabian. Kian bukan anak kandung Mama Tania. Kian hanyalah anak dari istri kedua ayahnya, Agni. Anak dari istri yang sangat dicintai Dirga hingga ajal menjemput wanita tersebut. Tapi ada beberapa hal yang tak pernah Kian ceritakan pada orang lain termasuk Fabian; bahwasanya Kian tertekan dengan keadaan yang mengharuskan dirinya sempurna, yang mengharuskan ia bersikap baik-baik saja di atas perasaannya yang terluka.
Kian cenderung selalu bersikap baik-baik saja. Dia tidak pernah menunjukkan apa-apa bahkan ketika dia terluka. Sering kali Fabian kecolongan, saking tidak bisa membaca Kian.
"Apa ini juga alasan kenapa kamu masih bangun jam segini?" bisik Fabian, membelai pipi putih Kian yang kini sedikit memerah seiring dengan mengalirnya setetes air mata di sana.
Kian mengangguk kecil tanpa bersuara, kemudian mulai terisak begitu Fabian meraih tubuhnya ke dalam dekapan. Kian menangis, melonggarnya dadanya dari sesak yang menghimpit. Di pelukan Fabian selalu nyaman, di pelukan Fabian selalu aman, persis seperti tujuh tahun lalu pertama mereka bertemu. Mungkin itu sebabnya perasaan Kian menjadi serakah, memandang Fabian bukan hanya sebagai seorang teman, tetapi lelaki sesungguhnya.
Berulang kali Kian meyakinkan dirinya untuk berhenti. Namun semakin Kian memaksa, semakin perasaan itu bertumbuh subur. Mengakar kuat hingga Kian tidak tahu bagaimana mengatasinya.
"Aku nggak tahu gimana persisnya perasaan kamu. tapi ketika kamu merasa sendiri, Ki, ingat, kamu masih punya aku." Fabian mengelus rambut panjang Kian dengan sayang. Berharap dengan itu Kian bisa lebih baik.
Namun, isakkan Kian semakin menjadi. Bukan karena dia kesakitan, tetapi karena lega ada seseorang untuk berbagi. Kian melampaui batas yang ia cipta sendiri, menumpahkan kesedihan dan rasa putus asa yang ia punya lewat air mata yang membasahi kaus Fabian. Kian memang membutuhkan pelukan seseorang saat ini. Kian sangat membutuhkannya sejak belasan tahun lalu, di setiap malam mengerikan yang ia lalui.
Kian sadar Kian berharap terlalu besar, tetapi salahkah... bila pada akhirnya Kian ingin pelukan ini ada untuk selamanya?
***
Hal pertama yang Fabian lihat ketika membuka mata pagi ini adalah, sosok Kian yang terlelap damai di sisinya. Wajah polos nan lembut itu masih terlihat cantik meski gurat lelah terlihat jelas dari kantung matanya yang membengkak. Ah, Fabian memang selalu mengagumi kelembutan Kian sejak pertama mereka kenal. Baginya, tidak ada perempuan lain yang lebih lembut dari Kian. Saking lembutnya, Kian bahkan tidak bisa melihat semut meninggal. Itu sebabnya sejak dulu, Fabian selalu ingin menjadi seseorang yang melindungi Kian. Kian adalah seseorang yang berarti untuknya.
Fabian mengusap puncak kepala Kian dan tersenyum kecil. "Jangan sedih lagi," bisiknya, yang entah didengar Kian atau tidak.
Perlahan Fabian turun dari ranjang. Matahari sebentar lagi terbit, ia harus segera keluar sebelum orang rumah bangun. Bisa berabe urusannya jika ia ketahuan tidur di kamar Kian. Kian pernah bilang, kalau ayahnya sangat galak. Makanya jika Fabian membawa Kian keluar, ia tidak pernah memulangkan Kian lewat dari jam sepuluh malam. Kian sering panik sendiri jika membawanya pulang lewat dari jam tersebut. Dan sekarang, jika ia ketahuan tidur di kamar Kian oleh ayahnya, bisa-bisa Fabian pulang hanya tinggal nama!
Fabian keluar dari kamar Kian, menuju balkon kemudian turun melalui tembok. Namun, selangkah lagi Fabian hendak melompat, pekikan seorang perempuan membuat Fabian kaget sehingga akhirnya Fabian nyuksruk di atas tanaman bunga di bawahnya.
"Kamu siapa? Siapa? Maling, ha?" cerca perempuan yang tak begitu jelas Fabian lihat karena guyuran air yang membasahi wajahnya.
Fabian mengibas-ngibaskan tangannya, menghindari cucuran air yang diarahkan ke arahnya dari sebuah selang. Lantas berdiri dengan segera saat perempuan itu berteriak maling.
"Hei, tunggu kamu! Tolong, maling!"
Fabian tidak lagi peduli dengan apapun. Segera ia berlari menuju motornya yang terparkir. Sesaat, sebelum melajukan motornya, ia menyempatkan untuk melihat gadis tadi. Dia... Krystal. Ya, Fabian mengenalnya. Dia kakak perempuan yang sering Kian ceritakan.
Fabian bergeming selama tiga sekon. Ternyata dia memang cantik, lebih cantik dari yang ia kira.
***
Kian berdiri di depan kantor Evergreen Corp. Perusahaan yang bergerak di bidang properti dan perhotelan yang akan menjadi tempat pertamanya bekerja. Meski bukan ini impiannya, tetapi setidaknya Kian akan berusaha menjalaninya dengan baik, seperti hidup yang ia lalui selama ini. Hanya berjalan tanpa kenikmatan.
Kian menarik napas panjang, kemudian berjalan tenang memasuki bangunan besar itu. Untuk beberapa saat, ia berdecak kagum dalam hati. Ini kali ketiga Kian memasuki kantor tersebut, tetapi rasanya masih saja takjub. Seorang lelaki muda seperti Keenan, bisa membangun perusahaan sebesar ini. Luar biasa.
"Kiandra!"
Kian tersenyum begitu melihat Fabian yang datang dari arah belakang kemudian mengacak puncak kepalanya. "Sekretaris baru Boss," decaknya.
"Hai, pengacara magang!" balas Kian terkekeh.
"Udah sarapan?" tanya Fabian seraya menggandeng bahu Kian berjalan menuju lift yang terletak di arah kiri setelah meja resepsionis.
"Udah," jawab Kian.
"Mau minum kopi?" tanya Fabian lagi seraya menekan tombol lift dan masuk ke dalamnya.
"Boleh." Kian mengangguk kecil, menatap Fabian dengan senyuman hangat.
"Kamu yang bikinin," lanjut Fabian membuat Kian melengos.
"Kirain kamu yang mau bikin buat aku." Kian tidak membual, Fabian sebenarnya pintar di dapur meski tidak sehebat Bara. Hanya saja, dia jarang melakukannya.
"Enakan kopi buatan kamu soalnya." Fabian terkekeh kecil.
Kian berdecih sebal. Tepat setelah pintu lift terbuka, mereka menghentikan pembicaraan. Dan, sama-sama bergeming saat di hadapan mereka, seseorang berdiri. Menatap keduanya dengan tatapan lurus yang sedikit menakutkan.
***