Bab -9-

2001 Words
Suara bel terdengar nyaring saat Soora tengah menemani Taeoh bermain, ia segera membopong Taeoh dan berjalan menuju pintu utama. Pintu terbuka memunculkan seorang pria dengan seragam delivery membawa satu kotak berukuran cukup besar. Ia mengatakan jika itu adalah kiriman untuk Kang Soora. Soora menerima dengan bingung, seingatnya ia tidak membeli barang apapun atau sekiranya mendapat kiriman dari siapapun. Dengan lamat Soora mengamati kotak tersebut. Tidak ada nama ataupun alamat pengirim, hanya ada stiker emoticon tersenyum berwarna kuning juga stiker Penguin di atas kotak. "Apa bapak tahu siapa pengirim paket ini?" tanya Soora setelah menandatangani bukti penerima. Petugas delivery tersebut menggeleng. "Maaf, saya tidak tahu." Setelah petugas delivery undur diri, Soora tak lantas membuka kotak tersebut. Ia khawatir jika kotak tersebut berisi sesuatu yang tidak seharusnya. Bersamaan dengan itu ponselnya berdering. Soora mendudukan Taeoh di kursi bayi kemudian mengangkat panggilan. Nomor tidak dikenal, entah siapa. "Yeobseyo," sapanya. "Kau pergi ke butik?" tanya suara dari seberang telepon. "Siapa kau?" "Jihoon," jawaban pendek yang membuat Soora mendengkus jengkel. "Ani," sahutnya dengan nada enggan. "Kenapa? Kau harus mengukur pakaian untuk acara pertunangan," katanya lagi. Soora berdecak, ia mencibir dalam hati. "Bagaimana aku ke sana, aku saja tidak tahu butik mana yang kau maksud. Lagipula, memangnya siapa yang mau bertunangan denganmu?" jawabnya. Terdengar Jihoon menghela napas, sesekali Soora memerhatikan Taeoh yang masih asyik bergumam sendiri sambil bermain boneka beruang kecil miliknya yang entah sejak kapan sudah berpindah tangan menjadi milik anak berpipi gembil itu. "Tunggu di rumah, jangan ke mana-mana. Akan ku jemput," ujar Jihoon kemudian. Saat Jihoon akan memutus panggilan, Soora lebih dulu menginterupsi. "Apa kau membeli sesuatu? Atau ada yang memberimu paket?" tanya Soora pelan. Terdengar jeda beberapa saat sebelum Jihoon menjawab pertanyaan yang diajukan. "Tidak. Kenapa?" "Tidak papa, tidak jadi." Seolah tidak ingin ambil pusing, Jihoon memutuskan panggilan segera. Setelah panggilan terputus, Soora kembali melihat ke arah kotak, mengamati dengan seksama barangkali ia menemukan petunjuk atau apapun yang berhubungan dengan si pengirim. "Aneh. Tidak ada apa-apa sama sekali selain stiker," gumamnya. "Maaa." Suara Taeoh membuat Soora menoleh, ia tersenyum ke arah anak itu kemudian mencubit pipinya gemas. Taeoh merespon dengan berteriak girang sambil menghentak-hentakan boneka beruang coklatnya, ia tampak senang. "Kenapa kau lucu sekali seperti anak beruang, heum." Soora baru saja tersadar jika Taeoh selalu antusias dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan beruang, banyak baju-baju atau pernak pernik Taeoh yang berhubungan dengan beruang atau memiliki unsur beruang di dalamnya. "Bagaimana kalau kau ku panggil Aegi Gom saja? Lucu bukan?" lagi-lagi Taeoh berteriak senang seolah setuju dengan ucapan Soora. "Baiklah, mulai sekarang kau adalah Aegi Gom," katanya gemas. Ia tak menyadari jika Jihoon telah sampai ke rumah, pria itu memperhatikan tiap tingkah lakunya dalam diam dari ambang pintu. "Aegi Gom," lirihnya. Ekspresinya yang semula terlihat bahagia sontak berubah menjadi murung tatkala menyebut kata Bayi Beruang. "Siapa yang kau panggil Aegi Gom?" suara itu membuat Soora menoleh. Jihoon berjalan pelan ke arahnya, ia melonggarkan dasi kemudian duduk pada sofa tak jauh dari tempat keberadaan Soora juga Taeoh. "Kau sudah datang? Sejak kapan?" "Tadi. Sudahlah, sebaiknya kalian bersiap aku akan mandi dan bersiap juga baru setelah itu kita berangkat ke butik," kata Jihoon membaringkan kepalanya pada sandaran sofa. Ia menghela napas berat sembari memejamkan mata erat. Kepalanya mendadak pening mengingat laporan anak buahnya soal hasil pencarian Soondeuk. Ia baru saja diberitahu jika salah satu anak buah miliknya pernah melihat Soondeuk di salah satu toko swalayan di daerah sekitar apartemen tempat mereka tinggal. Tapi saat mereka memeriksa daerah tersebut, tidak ada apapun. "Kau baik-baik saja?" tanya Soora pelan. Sebenarnya ia malas bertanya, tapi jika terjadi sesuatu dengan Jihoon maka ia juga yang akan repot. Batinnya. "Heum. Sana cepatlah bersiap," usir Jihoon dengan mengibaskan tangan. Soora mendengkus, ia sudah berusaha berbuat baik tapi Jihoon membalasnya dengan memancing rasa kesal. Benar-benar. Ketiganya sudah siap dengan setelan berwarna kombinasi hitam putih. Bukan hal yang disengaja, murni hanya sebuah kebetulan. Soora terdiam sembari menggengam erat stroler Taeoh saat Jihoon menatapnya intens. Apa yang salah dari penampilannya? Ia hanya memakai baju terusan di atas lutut dengan rambut tergerai bebas juga poni yang menutupi dahinya. Apa itu terlalu berlebihan? "Ada yang salah?" Jihoon menggeleng cepat, ia berbalik kemudian berjalan lebih dulu. "Apa dia selalu aneh seperti itu setiap hari?" gumam Soora sendiri. Ia mengalihkan pandangan ke arah Taeoh yang kini sibuk bermain jari. "Taeoh-ah, apa Ayahmu memang aneh seperti itu?" Tanpa diduga Taeoh tersenyum lebar ke arah Soora, membuat gadis itu ikut tersenyum dan mengangguk kecil. Ia merasa jika Taeoh juga menyetujui ucapannya. "Benar. Taeoh saja setuju dia itu aneh," gumamnya lantas menyusul Jihoon. Tidak kurang dari tiga puluh menit perjalanan yang mereka tempuh untuk sampai di Fleur butik. Jihoon lagi-lagi turun lebih dulu, Soora berdecak kesal. Begitu memasuki bagian dalam butik Soora terperangah. Banyak gaun-gaun cantik yang berjejer rapi lengkap dengan beberapa aksesoris lainnya yang tidak kalah cantik. Seorang perempuan muda datang menyambut. Jihoon dan perempuan itu saling menyapa dan mengobrol sebentar, seperti sudah saling mengenal. "Hai, perkenalkan aku Yeri Kim, teman Jihoon sekaligus pemilik butik," ujarnya ramah. "Soora, Kang Soora." "Calon istri Jihoon?" Soora melotot, dengan gerakan cepat ia menggeleng. "Ani. Tidak seperti itu," sanggahnya. Yeri mengernyitkan alis, kemudian Soora menghela napas. Baru saja ia akan membuka mulut, Jihoon lebih dulu datang dan merengkuh pinggangnya. Ia tersenyum lebar ke arah Yeri sampai-sampai lesung pada pipi kirinya terlihat jelas. "Noona, bisa tolong pilihkan gaun yang bagus untuknya? Untuk pertunangan kita berdua," Jihoon sengaja menekan kata pertunangan. Ia ingin meyakinkan Yeri jika mereka berdua memang benar akan menikah, setidaknya bertunangan lebih dulu. Yeri mengangguk. Ia lantas meminta Soora untuk mengikutinya melihat rekomendasi gaun-gaun miliknya. Soora menurut saja, ia menyerahkan Taeoh pada Jihoon kemudian berjalan mengikuti Yeri. Menunggu. Jihoon membenci kata-kata itu seumur hidupnya, tapi kini ia harus menunggu Soora kembali dengan beberapa gaun untuk diperlihatkan. Sudah hampir dua puluh menit ia menunggu, tapi dua wanita itu tidak kunjung kembali. Apa memilih gaun sesulit itu? "Maa," Taeoh berceloteh. Jihoon segera membawa Taeoh ke pangkuannya, anak itu merengut dengan ekspresi yang aneh menurut Jihoon. Tak lama setelahnya ia menangis, membuat Jihoon terkejut dan kelabakan. Ia memang sudah terbiasa mengurus Taeoh seorang diri, ia bahkan bisa dibilang cukup mahir dalam hal mengganti popok atau memandikan Taeoh. Tapi ada satu hal yang kadang masih jadi peer bagi Jihoon, yaitu saat Taeoh menangis tanpa sebab. Terkadang tangisnya akan reda saat ia diberi s**u formula, mainan kesukaanya atau diganti popoknya. Tapi kali ini tidak, Jihoon sudah memberi anak itu s**u yang memang sudah disediakan tapi tak membuahkan hasil. Ia juga sudah diberi boneka beruang tapi sama saja. Apa mungkin popoknya telah penuh? Saat Jihoon hendak beranjak mengganti popok Taeoh, Soora datang, ia menghampiri Jihoon dan mengambil alih Taeoh. Kurang dari satu menit tangis Taeoh terhenti. Anak itu menyembunyikan wajahnya diantara ceruk leher Soora dengan masih sesenggukan. Soora dengan lembut menenangkan Taeoh, ia menepuk juga menyenandungkan lagu-lagu dengan suara lirih. Setelah Taeoh tenang, Soora membaringkan pelan-pelan anak itu pada sofa. Rupanya Taeoh tertidur setelah puas menangis. Soora tersenyum kecil lantas mencium kening Taeoh lembut. "Sudah selesai?" tanya Yeri setengah berbisik. Soora mengangguk lantas kembali ke tempat sebelumnya untuk mencoba gaun yang sudah dipilihkan Yeri untuknya. Tepat saat Soora memasuki kamar ganti, Yeri segera menarik lengan Jihoon untuk agak menjauh. "Apa kau serius untuk menikahinya?" todong Yeri cepat. Jihoon terdiam beberapa saat sebelum kemudian mengangguk. "Kau sudah benar-benar bercerai dengan Soondeuk bukan?" tanya Yeri lagi. Kali ini terjadi jeda agak panjang bagi Jihoon untuk menjawab, tapi pria itu mengganguk juga pada akhrinya. "Tapi kenapa kau masih berusaha sekeras itu untuk menemukan Soondeuk?" "Apa maksud Noona?" Yeri berdecak. Ia menatap sinis ke arah Jihoon sambil berkacak pinggang. "Katakan saja sejujurnya, kau mungkin bisa membohongi semua orang bahkan dirimu sendiri. Tapi kau tidak bisa membohongi ku, apa rencanamu yang sebenarnya Park Jihoon?" Jihoon terdiam. Ia tentu tahu jika Yeri bukanlah orang yang bisa dengan mudah ia bohongi, mereka sudah mengenal sejak dulu kala dan tentu saja mudah bagi Yeri untuk mengetahui Jihoon tengah berbohong atau tidak. "Tidak ada," jawaban pendek Jihoon sudah cukup membuat Yeri mengerti, ia mengangguk kecil kemudian menepuk bahu Jihoon pelan. "Terserah padamu jika tidak mau memberitahu ku. Aku hanya mengingatkan, apapun yang sedang kau rencanakan jangan sampai menyakiti pihak manapun hanya demi keegoisan satu pihak. Kau tidak akan pernah tahu bagaimana hati seseorang sebelumnya, dan bagaimana akhirnya nanti." "Jangan sampai kau menyesal atau lebih parahnya mengulang kesalahan di masa lalu." Pesan Yeri membuat Jihoon lagi-lagi terdiam. Apa yang Yeri peringati mungkin saja akan terjadi, ia akan menyakiti bahkan mengorbankan satu pihak hanya demi keegoisan juga obsesinya sendiri. Jihoon tahu apa yang ia lakukan bukan satu hal yang bisa dibenarkan. Jika diberi pilihan, ia juga takkan mau menyakiti hati siapapun nantinya tapi ia juga tidak bisa berbuat hal lain. Ia hanya ingin yang terbaik untuk keluarganya. Jihoon kembali dengan lunglai, kepalanya menjadi semakin pening mendengar peringatan Yeri beberapa saat lalu. Ia jadi bimbang, haruskah ia melanjutkan rencana-nya atau tidak. Langkah Jihoon terhenti tepat saat netranya bertubrukan dengan Soora yang baru saja selesai berganti pakaian. Gadis itu memakai gaun panjang di bawah lutut dengan potongan atas yang memperlihatkan bagian bahu. Itu tampak sempurna dengan rambutnya yang kini ia gulung ke bagian atas dengan beberapa anak rambut yang menjuntai hingga menampakan leher jenjangnya. "Bagaimana?" tanya Soora membuat kesadaran Jihoon kembali. Pria itu berdehem, memalingkan wajah sambil berujar. "Heum," komentarnya singkat. Soora mencibir. Yeri tersenyum kecil, ia segera membantu Soora untuk berganti pakaian. "Kau terlihat cocok memakai gaun itu, hanya perlu memperbaiki sedikit pada bagian pinggang maka akan terlihat lebih sempurna," ujar Yeri sembari tersenyum. Soora mengangguk kecil, merasa malu oleh sanjungan Yeri. "Soora-ssi," panggilan itu membuatnya menoleh. Soora tertegun saat ekspresi Yeri berbeda dari sebelumnya, senyum lembut tak ada lagi di wajahnya tergantikan dengan ekspresi penuh keseriusan. "Kau serius akan bertunangan dengan Jihoon?" tanya-nya. Soora terdiam, ia sendiri tidak yakin. Bahkan jika ia bisa, ia ingin kabur dan tidak melanjutkan perjodohan konyol ini. Tapi ia juga memikirkan keluarganya, apa yang akan terjadi jika dirinya benar-benar kabur. Ia akan mengecewakan orang-orang tersayangnya. Prinsip hidup Soora ialah, kebahagiaan keluarga adalah yang utama. Oleh karena itu meski terpaksa ia akan mencoba menerima. Senyum tipis Soora cukup untuk membuat Yeri paham jawaban si gadis Kang. Ia turut tersenyum kecil kemudian mengusap bahu Soora. "Jika ada yang ingin kau tanyakan seputar Jihoon, kau bisa bertanya padaku." Soora mengangguk paham, keduanya berjalan beriringan kembali ke tempat Jihoon juga Taeoh berada. Jihoon berdiri sembari menggendong Taeoh yang rupanya sudah terbangun. Setelah mengobrol sejenak keduanya memutuskan untuk berpamitan pulang "Maa," Taeoh meregangkan tangan ke arah Soora, minta digendong. "Mau makan malam?" Jihoon bertanya lagi-lagi tanpa memperhatikan Soora, akhir-akhir ini pria itu terlalu sibuk dengan ponselnya. "Boleh." Mobil melaju pelan menuju salah satu restoran Jepang terkenal. Setelah sampai ketiganya duduk di satu meja tak jauh dari pintu masuk, Soora masih memangku Taeoh ia menunggu Jihoon kembali dari meninjam kursi khusus untuk bayi yang memang disediakan pihak restoran. Saat Soora tengah mengajak Taeoh bermain tidak sengaja ekor matanya menangkap sesuatu. Terhalang beberapa meja, tepat di depan sana ia melihat Hunjae juga Zizi tengah makan bersama dengan keluarga Hunjae. Bagaimana Soora tahu, sebelumnya ia pernah dikenalkan Hunjae pada keluarganya tepat saat hubungan mereka menginjak bulan ke tujuh. Dan setelahnya beberapa kali Soora berkunjung ke rumah Hunjae. Rasa tidak nyaman mulai kembali menghampiri Soora. Rasa sesak juga sakit itu kembali menyerang bahkan kini jauh lebih mengerikan. Gadis itu menunduk, menyembunyikan air matanya yang sudah mulai menetes tepat saat Jihoon kembali. "Kau kenapa?" tanya Jihoon penasaran. Soora menggeleng, ia sempat menghapus air matanya dengan kasar sebelum mendongak ke arah Jihoon. Jihoon tahu jika Soora baru saja menangis, ia juga tahu apa penyebab sampai Soora seperti itu. Saat ia akan meminjam kursi khusus bayi tanpa sengaja ia berpapasan dengan Hunjae yang baru saja kembali dari toilet. "Kau sudah memesan?" gelengan kepala jadi jawaban Soora. Jihoon masih diam, ia memindahkan Taeoh pada kursi bayi lantas memanggil pelayan. "Tidak perlu dilihat jika itu membuatmu sakit hati. Kau hanya perlu membiasakan diri dengan rasa sakit maka hidupmu akan jauh lebih baik. Karena sejatinya tidak ada yang bisa benar-benar melupakan kenangan buruk. Kau hanya bisa terbiasa tanpa pernah bisa lupa."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD