Bab -8-

1448 Words
"Jika iya, apa yang akan kau lakukan?" "Akan ku pastikan rencanamu tidak pernah berhasil," Soora memberikan tekanan pada tiap kata yang ia ucap. Jihoon mengangguk, ia melihat Soora sambil menyeringai. "Baiklah, coba saja." Acara makan malam berakhir lebih cepat dari rencana. Jihoon juga Soora dalam perjalanan kembali ke rumah Mama Park untuk menjemput Taeoh. Suasana mobil kembali hening, hanya terdengar suara deru mesin juga samar-samar siaran radio dengan volume lirih. "Besok datanglah ke Butik, aku sudah membuat janji dengan salah satu temanku untuk mengukur pakaian. Kau bisa mengajak Taeoh juga, sekalian untuk pendekatan," Jihoon berkata tanpa melihat ke arah Soora. "Kenapa harus aku, yang membuat janji itu kau 'kan," timpal Soora. Ia masih saja kesal dengan pria tinggi di sampingnya. "Ya. Tapi apa menurutmu aku bisa mengukur gaun?" kata Jihoon. Bisa dilihat jika Soora mendengkus, ia paham pasti gadis itu merasa amat kesal sekarang. Keduanya tiba di kediaman Mama Park. Setelah berbasa-basi juga mengobrol sebentar, mereka memutuskan untuk pulang ke rumah. Sesampainya di rumah Soora segera menuju kamar Taeoh untuk membaringkan anak itu yang sudah tertidur pulas. Tak lama setelahnya Jihoon menyusul, ia memperhatikan Soora yang tengah membaringkan Taeoh dengan hati-hati dari ambang pintu. "Terlihat lebih baik," perkataan Jihoon membuat Soora berjingkat kaget. Tanpa mempedulikan Jihoon, Soora berjalan melewatinya menuju dapur. Ia menuang segelas air lalu meneguknya hingga tandas. "Bisa jangan mengikuti ku?" kata Soora pada Jihoon yang berada tak jauh di belakangnya. Bukannya menjauh Jihoon justru mendekat. Ia merebut gelas di tangan Soora lalu kembali mengisinya dengan air dan meneguknya. "Ini rumah ku, terserah padaku mau ke mana," jawabnya acuh. "Kalau begitu aku akan pergi besok." "Kau masih dalam perjanjian membalas budi omong-omong." "Tidak ada perjanjian sampai kapan aku harus tinggal untuk membalas budi jika kau lupa," sahut Soora sebelum melangkah pergi. "Menarik," gumam Jihoon memperhatikan punggung Soora yang menghilang di balik tembok. Pagi menjelang. Soora terbangun karena tangis kencang Taeoh yang menggangunya. Dengan mata setengah terpejam ia mendekati box bayi, menggendong si anak kemudian mengganti popoknya yang ternyata telah penuh. Dengan hati-hati Soora mulai melepas dan memasang kembali popok, ia masih mengingat-ingat bagaimana caranya mengganti popok yang ia pelajari lewat internet. Setelah selesai dengan Taeoh Soora putuskan untuk turun ke lantai satu, ia berniat membuat sarapan juga bubur untuk Taeoh. Tepat saat Soora memasuki area dapur hidungnya mencium bau wangi masakan, ia segera menelisik mencari tahu sumber harum tersebut. Di depan kompor dengan celemek berwarna abu-abu Jihoon tengah berkutat dengan beberapa bahan masakan. Pria itu menggulung sampai siku baju lengan panjang yang ia gunakan. Tangannya memotong kentang juga wortel layaknya seorang ahli, ia memasukan bahan-bahan tersebut ke dalam panci kemudian mengaduknya sebentar. Soora masih memperhatikan Jihoon dalam diam, ia tidak tahu jika Jihoon bisa memasak. Jihoon berbalik, ia meletakan mangkok berisi sup dalam nampan kemudian tersenyum ke arah Soora dan Taeoh yang ada dalam gendongan. Ia mendekat, mengambil alih Taeoh dan mendudukan anak itu di kursi makan khusus bayi. "Duduklah, makanan akan segera siap," katanya. Soora menurut saja, ia masih bingung dengan sikap Jihoon yang mendadak baik. Baru saja semalam pria itu bersikap menyebalkan kenapa pagi ini ia bersikap berbeda, aneh. Acara makan dimulai dengan celoteh Taeoh, anak itu kian aktif berbicara meski belum jelas apa yang ia katakan. Soora sendiri sibuk mengaduk sup di hadapannya, ia tak berselera. Jihoon yang menyadari hal itu berkomentar. "Jika tidak suka tidak perlu diaduk terus menerus, kau bisa memasak untuk dirimu sendiri atau memesan saja," katanya kembali menyuap nasi ke dalam mulut. Pria itu terlihat agak kerepotan untuk memakan sarapannya sekaligus menyuapi Taeoh sarapan. Dengan inisiatif Soora mengambil mangkok makan Taeoh, ia mulai menyuapi anak itu dalam diam. Jihoon yang memperhatikan hal tersebut hanya tersenyum tipis, sepertinya rencananya berhasil. Malam sebelumnya ia menemui Soora yang belum juga dapat tertidur, gadis itu duduk di ruang tamu menghadap pintu utama. Jihoon yang tahu jika Soora masih kesal kepadanya mengambil tempat duduk di sofa tunggal tak jauh dari gadis tersebut. "Aku tahu kau kesal padaku. Aku juga tahu kau menolak perjodohan ini dengan keras. Tapi jika boleh, aku ingin tahu alasan mu yang sebenarnya kenapa kau begitu keras menolak perjodohan ini." Soora bergeming. Gadis dengan sweater biru itu belum berniat membuka suara, hanya helaan napas yang terdengar di sunyinya malam. "Baiklah. Mungkin kau tidak," perkataan Jihoon tertahan karena Soora memotongnya lebih dulu. "Aku takut. Aku baru saja mengalami kegagalan juga penghianatan, orang yang selama ini sudah ku percayai dengan sepenuh hati justru memberikan rasa sakit yang luar biasa. Aku hanya ingin menenangkan hatiku lebih dulu," "semua itu terlalu sulit. Tidak mudah buatku lepas dari apa yang baru saja terjadi." "Tapi kau tampak baik-baik saja, kau bahkan masih sanggup untuk mendebat ku," Soora tertawa kecil mendengar jawaban Jihoon. "Kau hanya melihat apa yang terlihat. Tidak semua yang kau lihat sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi, Tuan." "Lalu? Apa yang akan kau lakukan?" "Pergi. Seperti kataku sebelumnya, aku ingin menangkan hati ku. Dan lagi, aku tidak akan membiarkan rencanamu berhasil, entah apapun rencana mu itu." "Termasuk soal Taeoh? Ah, sebenarnya aku tidak ingin memberitahu mu soal ini. Hanya saja sepertinya perlu, kau terlihat sudah salah paham dengan rencana yang ku maksud," Jihoon mulai melancarkan aksinya untuk menahan Soora lebih lama. "Sebenarnya benar. Terlalu janggal jika alasan ku menahanmu hanya sekadar untuk mendidik juga merawat Taeoh, jika seperti itu aku bisa mencari seorang babysitter. Tapi tujuanku lebih dari itu," "aku ingin agar Taeoh merasakan kasih sayang seorang Ibu yang sesungguhnya. Aku merasa kasihan pada anak itu, usianya masih terlalu kecil untuk kehilangan sosok seorang Ibu, dan kau pasti tahu jika pengasuh takkan sama dengan seorang Ibu," terang Jihoon membuat Soora terdiam. "Tapi kenapa harus aku?" "Minji Noona yang menyarankan dirimu. Ia mengatakan jika dirimu memiliki kepribadian yang baik, dan setelah melihat interaksimu bersama Taeoh aku membenarkan hal itu. Meskipun kau agak galak di beberapa kesempatan. Taeoh juga sepertinya sudah nyaman dengamu, sekadar informasi aku sudah beberapa kali menyewa pengasuh tapi Taeoh tidak pernah terlihat nyaman bersama mereka. Lagipula Minji Noona tidak mungkin menyarankan seseorang yang tidak layak bukan." Penjelasan Jihoon membuat Soora berpikir keras. Ia membenarkan jika terlalu kecil bagi Taeoh untuk kehilangan sosok Ibu, tapi di sisi lain ia juga tidak bisa mengabaikan fakta jika ia tidak bisa terus ada di sana. "Kita bisa membuat kesepakatan jika kau bersedia tinggal. Kau bisa membantu ku merawat Taeoh, dan aku akan membantu mu melupakan sakit hatimu," usul Jihoon tiba-tiba. Alis Soora mengernyit, kurang paham dengan maksud ucapan Jihoon. "Hanya kerja sama yang menurutku saling menguntungkan." "Apa maksudmu dengan membantuku melupakan sakit hatiku?" tanya Soora lirih. Dalam kepalanya muncul beberapa spekulasi soal apa yang baru saja Jihoon sampaikan. "Memang apalagi? Aku sudah pernah bilang akan menjadikanmu Ibu sambung bagi Taeoh, dan baru saja ku katakan aku akan membantumu melupakan sakit hatimu. Ku rasa kau bisa menangkap apa yang ku maksud." "Aku tidak mau, bukankah itu hanya akan menguntung kan dirimu? Kau bisa menemukan seseorang yang bisa mengasuh Taeoh tapi aku? Aku tipe orang yang sulit untuk melupakan sesuatu, apalagi jika itu menyakiti hatiku," terang Soora tegas. Melihat reaksi Soora yang tidak sesuai harapan membuat Jihoon segera memutar akal. Ia mengulas senyum kecil, mendekat ke arah Soora dan duduk di sebelah gadis itu. "Kau hanya belum mencobanya. Kita bisa memulai sebagai teman jika kau mau." Soora tertegun saat Jihoon menatapnya lembut, jarak antar keduanya yang terlalu dekat membuat degub jantungnya terasa kian cepat. "Akan ku pikirkan. Tapi kau jangan berharap banyak, kemungkinan ku untuk menolak kesepakatan jauh lebih besar," ujar Soora memalingkan wajah. Ia gugup ditatap demikian. Jihoon mengangguk saja, dalam hati ia tertawa, rencananya berhasil. Meski Soora mengatakan jika kemungkinan ia menolak akan jauh lebih besar tapi dilihat dari gerak tubuhnya sudah terlihat jelas jika ia akan menerima. Jihoon itu pengamat yang baik. Ia bisa dengan mudah membaca pergerakan lawan bicara hanya dengan membaca gerak tubuh. Begitupun dengan Soora. Menurut Jihoon Soora layaknya sebuah buku yang terbuka, mudah untuk menebak juga membaca apa yang ada di benak gadis itu. Beberapa hari berada di satu rumah yang sama membuat Jihoon bisa menyimpulkan jika Soora memiliki empati yang besar, sudah terlihat jelas baginya jika ia takkan tega meninggalkan Taeoh. Jihoon hanya perlu menambah sedikit bumbu cerita menyedihkan yang ia karang untuk mengelabui gadis itu supaya mau tinggal lebih lama. Licik memang, tapi demi kelancaran rencanaya Jihoon tidak memperdulikan apapun. Ia hanya ingin Taeoh tidak kehilangan sosok Ibu selagi ia berusaha mencari dan membawa Soondeuk juga Jesper pulang kembali ke rumah. Ia juga paham jika nantinya ia akan menyakiti hati Soora seperti apa yang Hunjae lakukan. Mungkin lebih parah. Tapi persetan dengan semua itu, obsesinya untuk kembali berkumpul dengan keluarga kecilnya jauh lebih besar. Jihoon hanya ingin bisa kembali menjadi keluarga utuh seperti sebelumnya, ia tak peduli meski harus menjadi jahat dan menyakiti banyak pihak. Sekali lagi, Jihoon tidak peduli.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD