Bab -7-

1740 Words
Lagi-lagi Soora berdecak saat suara operator wanita terdengar sebagai jawaban. Sudah hampir lima belas kali ia menghubungi Minji, berniat menanyakan beberapa hal pada kakak kesayangannya itu. Soora mencobanya lagi, tapi jawaban yang didapat masih sama saja nomor Minji tidak dapat dihubungi. Soora menggeram marah, saat teringat kejadian beberapa saat yang lalu di mana Jihoon menghampirinya yang tengah bermain bersama Taeoh dan mengatakan soal tanggal pernikahan mereka yang telah ditentukan. Rasanya Soora ingin mengumpat, bagaimana bisa dengan seenaknya Jihoon menentukan tanggal pernikahan mereka disaat ia dengan terang-terangan menolak perjodohan tersebut. Dan yang lebih mengherankan bagaimana keluarganya bisa dengan mudah menyetujui semua rencana Jihoon. Bahkan pria itu mengatakan jika keluarganya sudah merencanakan pernikahan mereka sejak lama. Soora merasa terhianati jika begini. Soora kembali mencoba menghubungi Minji, kali ini terdengar nada sambung. Soora mengambil napas dalam-dalam begitu seseorang menjawab panggilan dari seberang. ia tengah bersiap-siap untuk melayangkan pidato protesan pada sang Kakak. "Eonnie! Dengan tegas aku menolak menikah dengan Park Jihoon. Aku tidak mengenalnya eonnie, dan apa eonnie tahu? Dia itu tidak ada bagus-bagusnya sama sekali, dia itu dingin dan kaku persis seperti kulkas. Lagipula kenapa kalian seperti niat sekali menjodohkan ku dengan Jihoon? Aku tidak mau eonnie. Aku ingin menikah dengan orang yang aku cintai, pokoknya tidak mau!" Soora merengek bahkan meski sang kakak tidak melihatnya ia menghentak-hentakan dua kakinya ke lantai sambil mengerucutkan bibir. "Soora-ya, Minji sedang mandi," Soora tertegun saat bukan suara Minji yang ia dengar. Melainkan suara Daejong, suami Minji. Soora berdehem beberapa kali, jujur saja ia sedikit malu ketahuan merengek pada Minji. Apalagi terdengar jika Daejong terkikik dari seberang telepon, benar-benar menyebalkan. Samar-samar Soora mendengar suara Minji yang bertanya, dengan segera ia berteriak memanggil nama Minji sekeras mungkin. "Berhenti berteriak! Kau membuat telinga Daejong rusak bodooh!" seru Minji dengan nyolot. Soora mendengkus kemudian melanjutkan aksi protesnya yang sempat salah sasaran. Gadis itu terus mengeluh, menolak dan merengek pada Minji tanpa tahu dari celah pintu yang sedikit terbuka, Jihoon mentapnya intens. Pria itu sudah ada di sana sejak Soora berteriak nyaring, pada awalnya Jihoon hanya ingin memanggil Soora guna mengajak gadis itu makan malam di luar. Namun ia tidak sengaja mendapati Soora yang tengah merengek pada seseorang di seberang telepon. Ekspresi kesal gadis itu sontak menarik perhatianya, membuat lengkung kurva yang sudah amat jarang terlihat sejak satu tahun lalu muncul tanpa disadari. Jihoon mengurungkan niatnya sejenak, ia putuskan untuk menunggu Soora selesai menelepon dan lebih memilih mengamati gadis itu dalam diam. Hampir sepuluh menit Soora berbicara dengan Minji lewat telepon, berusaha membujuk sang Kakak untuk membatalkan perjodohan meski tidak membuahkan hasil sama sekali. Soora juga sudah berbicara pada sang Ibu tapi hasilnya juga tidak jauh berbeda. Jihoon mengetuk pintu kamar Taeoh perlahan, beberapa saat kemudian kepala Soora menyembul dari sela pintu. Sebisa mungkin Jihoon menahan wajahnya untuk tidak tersenyum saat Soora menatapnya dengan wajah memerah juga mata bulatnya yang kian membulat. Ia terlihat gugup seolah habis tertangkap basah. Jihoon yang menyadari hal itu hanya bisa terkekeh dalam hati, ia mengakui jika Soora terlihat menggemaskan sekarang. Tapi meski begitu Jihoon berusaha menampilkan eskpresi wajahnya yang ia buat sedatar mungkin. "Ada apa?" Soora bertanya gugup. Jujur saja ia sedikit terpesona dengan penampilan Jihoon, pria itu terlihat tampan dengan setelan berwarna hitam dan rambut coma, ia bahkan tak terlihat seperti seorang pria dengan satu anak. "Bersiaplah kita akan keluar untuk makan malam," setelah mengatakan itu Jihoon pergi. Soora yang masih mencerna perkataan Jihoon hanya terdiam kemudian beranjak kembali ke dalam kamar untuk bersiap. Butuh waktu lima belas menit bagi Soora untuk bersiap. Oh, sebenarnya bukan hanya dia melainkan Taeoh juga. Dengan menggendong Taeoh, Soora berjalan menuruni anak tangga untuk menemui Jihoon yang tengah sibuk dengan ponselnya di ruang tamu. Pria itu bangkit saat sadar Soora dan Taeoh mendekat. Dengan sigap ia mengambil alih Taeoh dan berjalan lebih dulu ke arah luar rumah. Soora mendengkus di belakang tapi tidak urung ia mengikuti Jihoon dan masuk ke dalam mobil. Suasana mobil terasa agak ramai karena Taeoh yang terus berceloteh. Anak laki-laki itu sudah sejak tadi sibuk bermain dengan Soora atau bersenandung lagu-lagu anak-anak. Soora sendiri mulai terlihat nyaman dan terbiasa, ia tidak segan atau canggung untuk mencium atau mencubit gemas pipi Taeoh saat merasa terlalu gemas. Jihoon yang masih sibuk dengan setir kemudi sesekali melirik ke arah Soora. Ia mengamati gadis itu lamat-lamat dalam diam, ia mengamati dengan jelas bagaimana cara Soora memperlakukan Taeoh ataupun mengajak anak itu bermain, sampai pada satu waktu Soora tidak sengaja melihat ke arahnya dan membuatnya segera memalingkan wajah. Soora menatap heran ke arah Jihoon saat sadar jalan yang dilalui mereka bukanlah jalan yang seharusnya. Tidak ada restoran atau kedai makanan, melainkan perumahan yang Soora sendiri tidak tahu di mana. Mobil Jihoon berhenti tepat di depan satu rumah bertingkat. Pria itu turun lantas membuka-kan pintu bagian penumpang untuk Soora dan Taeoh. "Ini rumah Ibuku. Kita akan menitipkan Taeoh sebentar di sini." Ketiganya masuk ke dalam rumah setelah seorang wanita paruh baya membuka pintu sambil tersenyum sumringah, wanita itu memperhatikan Soora dengan senyum cerah. "Wah, kau terlihat jauh lebih cantik dari yang ada di foto," ujarnya. Soora tersenyum canggung, ia sempat melirik ke arah Jihoon seolah meminta penjelasan. "Kami ingin menitipkan Taeoh sebentar di sini Bu, apa bisa?" Mama Park mengangguk semangat. Wanita baya itu mengambil alih Taeoh dan mempersilahkan keduanya untuk duduk. Tak lama kemudian dari arah tangga muncul seorang wanita muda. Ia menghampiri Soora, mengamati gadis itu dari atas ke bawah dan mengulanginya lagi. "Kau, Kang Soora?" tanya-nya menunjuk Soora. Yang ditanya mengangguk kaku, kemudian wanita muda tersebut memeluk Soora erat. "Perkenalkan, aku Park Yuri. Kakak Jihoon, ternyata benar apa yang dikatakan Ibu kau pasti jauh lebih cantik daripada di foto. Jihoon memang tidak salah pilih," lagi-lagi Soora tersipu. "Terima kasih. Eonnie juga sangat cantik," pujinya. Yuri menggeleng, wanita cantik itu mengambil duduk di sebelah Mama Park. "Kalian mau ke mana?" tanya Yuri, pertanyaan itu lebih ia tujukan pada Jihoon. "Makan malam," sahutnya pendek. Yuri mendengkus, ia menatap jahil ke arah Soora yang masih saja terdiam. Ia sadar jika gadis itu terlalu canggung. "Soora-ya, ku harap kau bisa betah berlama-lama dengan manusia batu satu ini ya. Dia itu sebenarnya tidak sekaku apa yang terlihat, hanya saja ia tidak bisa menunjukan perasaanya secara gamblang. Dia terlalu malu dan gengsian," buka Yuri yang membuat Jihoon terkejut. Soora yang semula hanya diam mengangguk sambil tersenyum tipis. Berbeda dari Jihoon yang cenderung menyebalkan dan suka seenaknya, Yuri terlihat jauh lebih bersahabat dan banyak bicara. Baru saja Yuri akan kembali membuka mulut Jihoon lebih dulu berdiri dengan menggandeng Soora. "Kami akan berangkat sekarang, mungkin akan kembali agak malam." Mama Park mengangguk. "Ya, nikmati kencan kalian. Jangan khawatirkan Taeoh, dia aman di sini," Jihoon mengangguk menimpali ucapan sang Kakak. Keduanya berpamitan dan bergegas untuk makan malam. Berbeda dengan saat perjalanan ke rumah Keluarga Park yang ramai karena celoteh Taeoh, perjalanan kali ini terasa lebih sepi. Baik Soora maupun Jihoon belum ada yang mau membuka suara. Soora masih asyik memandangi jalanan dari kaca mobil, sementara Jihoon fokus pada kemudi. Sebenarnya tidak juga, meski ia berusaha memfokuskan pikirannya sekeras apapun ia tidak bisa benar-benar fokus. Entah untuk alasan apa, ia melirik ke arah Soora sebentar. Matanya tanpa sengaja mengarah ke arah bibir ranum Soora yang saat ini tengah tersenyum tipis, ia jadi teringat insiden ciuman tempo hari. Kejadian itu masih ia ingat dengan jelasn, bahkan ia masih bisa mengingat bagaimana raut terkejut Soora juga rasa manis bibir gadis itu. Meski ini bukan ciuman pertamanya tapi entah mengapa ia tidak bisa melupakan hal itu. Tanpa sadar Jihoon menghela napas berat, hal itu menarik Soora untuk sekadar bertanya. "Kau baik-baik saja?" Jihoon berdehem sebagai jawaban. Ia segera memusatkan kembali fokusnya pada jalanan. Tidak butuh waktu lama bagi keduanya untuk sampai di satu restoran bintang lima. Keduanya turun dan segera menuju meja yang telah dipesan. Segera setelah pelayan memberikan menu Jihoon dan Soora memesan. Keadaan kembali canggung, sebenarnya Soora tidak suka suasana seperti itu tapi ia juga tidak memiliki topik untuk dibicarakan. "Terimakasih sudah mau tinggal." Soora mengangguk. "Ya. Aku hanya menuruti apa maumu sebagai balas budi karena kau sudah membantuku hari itu." "Jika aku boleh tahu, kenapa kau ingin sekali menahanku untuk tetap tinggal. Maksud ku, kau bisa mencari wanita lain untuk menjadi babysitter atau menjadi Ibu sambung untuk Taeoh. Kenapa harus aku?" "Bukankah sudah pernah ku jelaskan padamu alasannya?" "Menurutku itu tidak masuk akal. Jika kau hanya berasalan ingin agar Taeoh di didik oleh seseorang dengan perilaku baik, di luar sana bahkan banyak wanita yang jauh lebih baik daripada aku. Kau juga bisa mencari wanita yang sudah berpengalaman dalam mengurus bayi bukan," ucapan Soora tertahan saat seorang pelayan mengantarkan pesanan. "Maksudku, kau bisa mendapatkan seseorang yang lebih layak dan lebih baik untuk mengurus Taeoh. Aku bukan orang seperti apa yang kau bayangkan, aku bahkan belum bisa mengurus diriku sendiri dengan benar. Aku juga tidak terlalu menyukai anak kecil asal kau tahu." "Tapi kau terlihat nyaman bersama Taeoh." "Bukankah itu berbeda? Nyaman bukan berarti bisa mengurus dan mendidik. Mudah untuk menyukai anak seperti Taeoh," Jihoon terkekeh. "Tapi bagaimana jika aku hanya ingin kau yang menjadi Ibu sambung untuk Taeoh? Kau tidak bisa menolak hal itu lagipula," Jihoon berkata santai sebelum memotong daging steak dan memasukannya ke dalam mulut. "Ku sarankan padamu untuk tidak perlu memikirkan atau mencemaskan apapun, kau hanya perlu mengikuti alur dan menerima apa yang terjadi. Itu akan jauh lebih mudah." "Lalu apa artinya ini? Makan malam berdua, apa ini masuk dalam rencanamu untuk menjadikan ku Ibu Sambung? Ku rasa tidak," Soora sudah terlihat jengkel dengan tanggapan Jihoon yang terkesan tidak peduli. "Menurutmu? Menikah bukan sesuatu hal main-main, perlu pendekatan juga penyesuaian bukan." "Jika kau tahu hal itu kenapa kau masih melakukannya? Asal kau tahu, aku hanya ingin menikah dengan orang yang ku cintai, dan itu bukan dirimu Tuan," seringai tampak jelas di bibir Jihoon. Apa yang dikatakan Soora sesuai dengan apa yang ia pikirkan. "Lalu? Kau ingin kembali pada Hunjae? Dia sudah menghianatimu omong-omong, dan akulah yang menyelamatkan mu. Kau tidak ingin membuatnya sebagai balas budi?" Kepalan tangan erat Soora tersampir di samping tubuh. Ia tidak tahu jika berbicara dengan Jihoon bisa membuatnya sekesal ini. Ia juga tidak habis pikir, kenapa Jihoon begitu ingin menjadikannya Ibu sambung, terlepas dari apa alasan yang ia katakan itu terdengar ganjil menurut Soora. "Apa kau merencanakan sesuatu yang tidak ku tahu?" tebak Soora. Ia menatap Jihoon dengan penuh selidik. Ditatap seperti itu tidak lantas membuat Jihoon merubah ekspresinya secara signifikan, meski ia terkejut pada mulanya tapi ia bisa dengan cepat menggendalikan keadaan. "Jika iya, apa yang akan kau lakukan?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD