Sean duduk disalah satu meja di dalam Olivia Café. Dirinya terlihat asyik menatap layar ponselnya. Di jam makan siang ini dia hanya ingin sekedar duduk saja didalam kafe itu. Seorang pelayan datang dari arah belakang menuju ke mejanya.
"Anda ingin pesan apa, Sir?" Tanya pelayan kafe itu dengan sopan.
"Caffelatte." Jawabnya
Setelah mencatat pesanan Sean, pelayan itu pun pergi.
Tak lama ada seorang pelayan wanita berjalan menuju meja Sean. Langkah kaki pelayan itu terhenti seketika melihat seseorang yang sedang duduk disana. Melihat Sean duduk dimeja tujuannya. Tanpa bisa dikontrol Sierra menjatuhkan nampan itu membuat seluruh pengunjung kafe termasuk Sean menatapnya. Sean langsung berdiri melihat Sierra mematung lima meter didepannya.
Sierra berbalik dan lari keluar dari kafe. Dia tidak mempedulikan rekan kerjanya memanggil-manggil namanya. Dia masih harus terus berlari agar tidak bertemu lagi dengan Sean. Sierra menyeberang jalan tanpa mempedulikan lalu lintas. Dia bahkan hampir tertabrak dan mendapat omelan para pengendara mobil.
"Ma-maaf. Maaf." Gumamnya dan kembali berlari.
Sean keluar dari kafe dan masuk kedalam mobil. Memikirkan raut wajah Sierra yang terlihat sangat terkejut dan takut saat melihatnya. Sean tersenyum miring. Meskipun gadis itu terus berlari, pada akhirnya akan bertemu lagi dengannya. Karena Sean sudah membelinya dengan harga sangat mahal. Walaupun gadis itu berusaha menjauh darinya, dia tidak akan pernah bisa menjauh dari Sean. Karena, Sierra adalah milik Sean. Itulah kata hatinya sehingga Sean membiarkan gadis itu menjauh sekali lagi darinya. Sean menyalakan mesin mobilnya dan pergi ke perusahaannya.
-
"Bodoh!" Gertak lelaki itu. "Kenapa gadis itu bisa pergi? Aku tidak mau tahu, pokoknya kau harus menemukannya sebelum gadis itu pergi bersama Sean!"
"Tapi Sir, sepertinya dia tidak akan pergi dengan Mr. Parker."
Kening lelaki itu berkerut. "Kenapa?"
"Karena dia terlihat ketakutan dan langsung lari saat melihat Mr. Parker di kafe tadi siang." Jelas pengawal itu.
Lelaki itu menyeringai. "Sepertinya Sean sedang melakukan permainan dengan gadis itu." Gumamnya lalu menatap pengawalnya. "Apa kau yakin Sean tidak mengejarnya saat dia baru keluar dari kafe?"
"Iya Sir. Mr. Parker membiarkannya pergi."
"Ini aneh." Gumamnya dan tersenyum. "Apa Sean sudah berubah menjadi malaikat? Iblis seperti dia tidak mungkin menjadi malaikat hanya karena seorang gadis. Kau cari dimana keberadaan Sierra dan bawa dia kembali pulang."
"Baik Sir." Jawab pengawal itu dan menunduk sejenak sebelum keluar dari ruangan.
-
Sierra menghentikan langkahnya di halte bus. Dia tidak bisa terus berlari karena merasa lelah. Akhirnya Sierra memutuskan untuk menaiki bus dengan sisa uangnya. Sepanjang jalan dia terus memikirkan cara apa lagi agar tidak bertemu dengan Sean. Pindah ke luar negeri? Tidak mungkin! Sierra tidak mempunyai paspor dan visa. Menjadi imigran gelap? Resikonya terlalu berbahaya. Lagipula dia tidak punya siapapun didunia ini.
Sierra turun di halte bus ketiga. Dia rasa ini sudah cukup jauh dia lari. Sierra berjalan disepanjang trotoar dan memperhatikan keadaan sekitar. Dia harus mencari pekerjaan dan tempat tinggal. Dia tidak boleh kembali ke rumah Javier karena tidak ingin merepotkan lelaki itu lagi. Tiba-tiba langkah Sierra terhenti didepan toko bunga. Matanya berbinar melihat sebuah tulisan yang ada didinding kaca toko tersebut. Dicari karyawan. Sierra tersenyum dan masuk kedalam toko bunga itu. Sepanjang langkah menuju pintu, sisi kanan kirinya sudah bertengger beberapa pot dan bunga hias.
"Permisi." Ucap Sierra berharap pemilik toko bunga itu segera keluar.
Seorang wanita paruh baya keluar dari sebuah pintu dan tertegun melihat Sierra berdiri disana. "Oh, maaf membuatmu menunggu lama." Jawab wanita itu.
Sierra tersenyum. "Tidak apa-apa. Aku, emm apa anda membutuhkan seorang karyawan toko?"
"Kau mau jadi karyawan toko?" Tanya wanita itu sangat ragu.
"Iya. Ada apa? Apa anda sudah tidak membutuhkan karyawan toko?"
"Tidak. Bukan itu maksudku."
"Lalu?"
"Aku tidak membutuhkan pekerja paruh waktu." Jawabnya dan memperhatikan pakaian Sierra.
Sierra ikut memperhatikan dirinya. Astaga! Dia keluar masih dengan seragam pelayan kafe. Pantas saja pemilik toko bunga itu mengatakan kalau dia tidak ingin menerima karyawan paruh waktu.
"Em, aku baru saja berhenti bekerja. Aku belum sempat mengganti pakaianku. Maafkan aku."
Wanita itu menghampiri Sierra. "Kenapa kau berhenti dengan pekerjaanmu yang dulu?"
"Aku, masa kerjaku sudah berakhir hari ini." Jawabnya bohong.
"Baiklah. Kalau begitu kau sudah bisa bekerja disini." Putus pemilik toko tersebut. "Siapa namamu?"
"Namaku Sierra Harrison. Anda bisa memanggilku dengan nama Sierra."
"Baiklah Serra."
"Maaf. Sierra, Madam. Bukan Serra." Ralat Sierra halus.
Pemilik toko itu terkekeh pelan. "Maaf. Pendengaranku memang sudah tidak bagus."
"Tidak apa-apa."
"Kemarilah." Pinta pemikik toko itu dan menuntun Sierra masuk kesebuah ruangan. "Apa kau punya tempat tinggal?"
"Belum."
Wanita itu menghentikan langkahnya dan menghela napas pelan. "Syukurlah. Aku memang mencari penjaga toko yang bersedia tinggal disini. Kau tenang saja, diruangan belakang sudah ada semuanya. Aku jarang menengok tokoku, jadi aku mempercayakannya padamu."
"Terima kasih."
-
Sean menepikan mobilnya didepan rumah b****l milik Molly. Malam ini dia ingin tidur dengan wanita. Mungkin saat Molly melihatnya nanti, dia akan bertanya-tanya kenapa Sean masih datang ketempatnya walaupun sudah mendapatkan Sierra.
"Mr. Parker?" Sapa Molly saat melihat Sean berjalan memasuki rumah tersebut.
"Dimana Claire?" Tanya Sean.
"Anda datang kemari?" Tanya Molly dan memperhatikan sekeliling untuk mencari Sierra. "Anda tidak datang dengan Sierra?"
"Sierra?" Sean menaikkan sebelah alisnya. Apa gadis itu bernama Sierra? "Maksudmu gadis yang sudah aku beli itu?" Sean bertanya balik.
"Iya. Apa anda tidak datang dengannya?"
Sean tersenyum miring. "Apa urusan pelanggan sudah menjadi urusan tuan rumah ini?"
"Iya?"
"Aku hanya bertanya dimana Claire." Jawab Sean merasa malas untuk melanjutkan percakapannya dengan Molly.
"Claire ada dikamarnya, Sir." Jawab Molly.
Sean berjalan menaiki anak tangga tanpa mempedulikan Molly yang masih menatapnya. Sampai didepan pintu kamar Claire, Sean langsung membukanya. Dia melihat Claire sedang menarik risleting pakaiannya. Sepertinya wanita itu baru saja mandi. Sean berjalan mendekatinya dan memeluknya dari belakang. Sontak Claire menoleh dan sedikit terkejut melihat Sean.
"Mr. Parker?"
Sean tersenyum dan mengambil alih tangan Claire lalu menurunkan risletingnya. "Sepertinya kau harus mandi dua kali." Gumamnya
Mereka berdua masuk kedalam kamar mandi. Claire menanggalkan pakaian Sean sembari mencium setiap lekuk tubuh lelaki itu. Tubuh mereka berdua diguyur oleh dinginnya air shower.
"Aku kira anda tidak akan datang kemari lagi, setelah, setelah membeli Sierra." Ucap Claire.
Sean tersenyum miring. "Kau tahu, aku tidak akan pernah puas dengan satu wanita sepertinya." Bohong Sean. Dia tidak habis pikir kenapa orang-orang didalam rumah ini selalu mencampuri urusannya dengan gadis itu. "Sepertinya aku tidak akan membiarkanmu tidur malam ini." Bisik Sean dan menggigit daun telinga Claire sampai wanita itu mendesah.
-
Sean terbangun tepat pukul lima pagi saat mendengar ponselnya terus berdering. Padahal baru satu jam yang lalu dia tertidur setelah bermain dengan Claire. Sean menyipit saat menatap layar ponselnya yang silau didalam ruangan gelap. Dia melihat sekretarisnya yang menelponnya dipagi buta.
"Selamat pagi Sir." Sapa Marcos
"Ada apa?"
"Mr. Miguel."
Sean membuka matanya lebar saat mendengar nama itu. Wajahnya diselimuti emosi saat mendengar penjelasan singkat Marcos melalui telepon. Tangannya mencengkeram kuat ponselnya seakan mampu meremukkannya. Dirinya bangkit dari ranjang dan meraih pakaiannya saat Marcos sudah mematikan sambungan teleponnya. Sean pergi pagi-pagi dari rumah b****l itu menuju kerumahnya untuk bertemu dengan Marcos.
Setelah hampir dua puluh menit Sean pun sudah sampai didepan mansionnya. Seorang pelayan yang berdiri didepan rumahnya membuka pintu mobil mempersilakan Sean keluar. Sean masuk kedalam rumah dengan langkah lebarnya. Seorang kepala pelayan rumahnya menghampirinya.
"Selamat pagi Sir."
"Dimana Marcos?" Sean meninggikan suaranya karena menahan emosinya.
Saat Matt akan menjawab pertanyaan tuannya, dia dan Sean melihat Marcos menuruni anak tangga dengan terburu-buru. Marcos menghampiri Sean dan menundukkan kepalanya sejenak.
"Selamat pagi Sir."
Sean tidak menjawab sapaan dari Marcos. Dirinya sudah diselimuti emosi karena mendengar rencana saudara tirinya itu. Saudara? Sean tidak menganggapnya saudara karena ulahnya yang membuatnya terpisah dari ibu kandungnya. Keadaan keluarga mereka memang sangat rumit dan Sean tidak ingin membahasnya sekarang.
"Apa maksudmu?!" Sean bertanya dengan sedikit menggertak sampai suaranya menggema.
"Maafkan saya Sir. Seperti yang sudah saya katakan ditelepon. Mr. Miguel ingin merebut WG group. Kami baru saja menangkap salah satu karyawan yang menjadi suruhannya Mr. Miguel."
"Siapa orang itu?"
"Dia adalah salah satu manager yang bernama Marvin Boot."
Sean tertegun mendengar nama itu. Bukankah Marvin adalah manager kepercayaannya? "Marvin?"
"Benar Sir. Marvin Boot sudah memalsukan beberapa dokumen dan memberikan yang asli pada Mr. Miguel dua hari yang lalu."
"Dokumen apa saja?"
Marcos terlihat menghela napas sejenak untuk menjawab pertanyaan Sean. Dia tahu kalau Sean mendengar jawabannya pasti akan marah besar. Dan Marcos sangat paham bagaimana Sean saat sedang marah, bahkan Marcos sendiri harus selalu mewaspadai nyawanya sendiri.
"Kenapa kau tidak menajawabnya? Dokumen apa?!" Bentak Sean.
"Dokumen kerjasama dengan Mr. Trey Pexton, hasil pertemuan dengan Saint Blue dan dokumen kepemilikan saham. Mr. Miguel bisa dengan mudah untuk membeli saham perusahaan tersebut karena-" Penjelasan Marcos terhenti saat Sean meninju pipi kanannya.
Marcos terdorong kebelakang sampai menabrak sebuah meja yang ada ditengah-tengah ruangan itu. Sean mencengkeram kerah jas Marcos dan menatapnya tajam. "Dimana b******n itu?" Desisnya.
"Marvin sudah kami tangkap Sir. Sekarang dia, dia ada ditempat biasa." Jawab Marcos tersengal-sengal karena menahan perih dipipinya. Dia mengelap ujung bibirnya yang mengeluarkan darah saat Sean sudah melepaskan cengkeraman dikerah jasnya.
"b******n itu, aku tidak akan membiarkannya mati dengan mudah." Desis Sean lalu keluar rumah diikuti Marcos.
Mereka berdua pergi menggunakan limosin. Sepanjang jalan Marcos memperhatikan Sean melalui spion kecil didepannya. Sean hanya diam dan menatap keluar jendela. Dirinya menyandar di punggung jok penumpang dengan kedua tangannya masih mengepal karena emosi. Dia tidak menyangka ternyata orang yang dipercayainya itu justru mengkhianatinya.
Mobil itu berhenti disebuah rumah yang jauh dari keramaian kota Saint Louis. Terdapat empat pengawal yang menjaga depan rumah itu. Rumah sederhana itu adalah tempat dimana Sean menghukum semua orang-orang yang mengkhianatinya sampai mencoba untuk membunuhnya. Selesai memberi hukuman pada orang-orang tersebut sampai mati, Sean memerintahkan para pengawalnya untuk membuang jasad orang itu. Bahkan membuang jasadnya adalah perlakuan paling baik yang dilakukan Sean karena dia pernah menyuruh pengawalnya untuk memutilasi, memberikan jasadnya pada anjing peliharaannya dirumah itu, atau menyuruh orang itu untuk memotong dagingnya sendiri dan memakannya.
Bukan hanya lelaki saja yang mendapatkan hukuman seperti itu. Sean juga pernah menghukum seorang wanita dari rumah b****l milik Molly setelah mengetahui wanita itu ternyata merupakan salah satu mata-mata saudara tirinya itu untuk mendekatinya. Hukumannya pun tak jauh beda, Sean memotong kedua payudaranya lalu menyuruh wanita itu untuk memakannya.
Salah satu pengawal yang berjaga didepan rumah itu membukakan pintu mobil untuk Sean. Sean langsung berjalan masuk kedalam rumah. Rumah itu hanya mempunyai dua ruangan. Ruangan depan dan ruangan belakang. Ruang depan berisi satu set sofa dan satu set kursi kayu. Biasanya ruangan depan digunakan para penjaga untuk sekedar istirahat. Sedangkan ruangan belakang tak berpintu dan berjendela itulah tempat yang paling mengerikan bagi siapapun yang masuk kesana. Bau ruangan itupun dipenuhi aroma anyir darah karena tidak ada ventilasi udara. Disebelah kanan kiri terdapat banyak sekali benda-benda tajam dan tumpul, serta beberapa alat pukul.
Sean menghentikan langkahnya tiga meter dari penghuni ruangan tersebut. Kedua tangan laki-laki yang berdiri didepan Sean terangkat keatas dan dililit dengan rantai sedangkan kedua kakinya di borgol. Sepertinya lelaki itu pingsan karena dehidrasi. Sean memang tidak pernah memberikan makan atau minum pada tawanannya. Lelaki itu mendongakkan kepalanya perlahan saat Sean berjalan mendekatinya.
Sean tersenyum miring melihat ekspresi lelaki itu. Wajahnya sudah dipenuhi dengan peluh dan bibirnya mengering. Tatapan lelaki itu juga sayu. Tapi, itu tidak akan melunakkan hati Sean yang sudah menjadi batu saat emosi menguasainya.
"Sebelumnya, aku akan berterima kasih padamu lebih dulu karena kau pernah bekerja untukku." Sean memulai ucapannya.
"Dan aku menyesal bekerja untukmu, kau adalah iblis." Suara Marvin terdengar serak dan lemas.
Sean kembali tersenyum. "Aku tidak akan melakukan ini kalau kau tidak mengkhianatiku."
Marvin hanya diam dan memalingkan wajahnya, itu adalah hal yang dibenci Sean. Sean mengepalkan kedua tangannya dan menatap tajam kearah Marvin.
"Kau tahu, aku akan memberikan hadiah untukmu." Geram Sean dan menyeringai.
Sean melirik kearah kanan dan melihat banyak sekali alat pukul berjejer rapi diatas meja. Dia menghampiri meja itu dan berdiri didepan jejeran palu. Banyak sekali jenis palu diatas meja itu, mulai dari ukuran kecil sampai ukuran yang paling besar.
"Ini akan menjadi pagi paling panjang untuk kita." Gumam Sean dan disusul senyuman khasnya lalu mengambil sebuah palu yang mempunyai ukuran besar nomer dua dari semua palu yang ada disana.