“Nona, kenapa Anda tidak sarapan pagi bersama tuan Petri dan nona Ellis?” tanya Burka penasaran.
Sejak tadi pagi Leary hanya mengikuti Burka dan ikut sarapan pagi dengan para pelayan, dan kini Leary duduk di atas rerumputan, melihat Burka yang kini tengah menjemur seprai.
Sikap Leary yang mencurigakan memunculkan kekhawatiran pada Burka, walau bagaimanapun Leary adalah anak kecil. Anak itu membutuhkan pendampingan dan perhatian khusus karena mental dan hatinya yang rapuh.
Leary baru kehilangan ibunya, dalam waktu singkat dia juga pergi jauh dari rumah tempat dia tumbuh. Kini Leary harus tinggal dan menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya di keluarga McCwin, alih-alih bisa menyembuhkan hatinya atas kepergian ibunya, sayangnya di sini Leary juga bertahan dari keluarganya yang tidak mempelakukan dia dengan baik.
Sudah beberapa hari Leary tinggal di kediaman McCwin, namun kemurungan masih dapat Burka lihat sepanjang waktu. Burka tidak tahu seberapa rusaknya hati Leary saat ini, jika ini di biarkan terus menerus, ini akan menyiksa Leary.
“Aku senang keramaian,” jawab Leary dengan berbohong.
“Apa tidak ada hubungannya dengan makan malam Anda kemarin? Saya dengar tuan Petri marah, jika tuan Petri marah kepada Anda, saya akan menegurnya dan mengingatkannya.”
“Tidak, tuan Petri marah karena aku yang membuat kekacauan,” jawab Leary dengan gelengan di kepala. Kejadian makan malam tidak mengenakan kemarin tidak sedikitpun Leary ceritakan kepada siapapun, Leary hanya mengaku bahwa dia tidak hati-hati hingga tidak tanpa sadar makan makanan laut, lalu alergi dan berlari pergi keluar meminta pertolongan.
Burka membungkuk, mengambil keranjangnya yang kini sudah kosong karena semua cuciannya sudah di jemur.
Burka terduduk di sisi Leary dan memperhatikan anak itu dengan seksama. “Nona, sebenarnya tidak masalah jika Anda ingin berkata jujur kepada saya.”
Leary tertunduk sedih, dia tidak bisa mengatakan apapun karena dia sama sekali tidak dapat mengartikan situasinya seperti apa. Leary masih kecil, dia baru berusia enam tahun, Leary hanya tahu sedih, senang, bahagia, takut, berani, dia tahu perasaan itu karena bisa dia ekspresikan di wajahnya. Selain dari itu, Leary masih meraba mencari tahu sendiri karena tidak ada yang membimbingnya.
“Nona” Burka mengusap kepala Leary dengan sayang, perlahan Leary mengangkat wajahnya dan menatap Burka. “Apa Anda masih tidak nyaman dengan keluarga baru Anda di sini?” tanya Burka hati-hati.
Mata Leary berkaca-kaca, “Tuan Petri sering marah dan tidak senang saat dekat-dekat denganku, karena itu aku tidak ingin dekat-dekat dengannya.”
Burka menarik napasnya dalam-dalam, wanita itu tidak habis pikir dengan jalan pikiran keluarga McCwin yang masih saja bersikap tidak masuk akal dengan melimpahkan kebencian mereka pada anak kecil yang tidak tahu apa-apa.
Sayang sekali Burka tidak memiliki kekuasaan apapun, andai saja ada seseorang yang bisa menyadarkan mereka mengenai kesalahan yang terjadi.
Burka terperanjat, tiba-tiba saja dia teringat ibu Darrel McCwin, yaitu Mirels McCwin. Dulu, Mirels sangat menyayangi Olivia, begitu Olivia pergi dari kediaman McCwin, Mirels juga pergi karena dia kecewa dengan Darrel yang memaksa Olivia menggugurkan kandungannya.
Andai Mirels tahu anak yang Olivia perjuangkan masih hidup dan telah tumbuh mengesankan sangat mirip dengan ibunya, mungkin Mirels bisa memberikan kebahagiaan kepada Leary. Kini Mirels berada di Jerman, Burka perlu mengirimkan surat kepadanya hari ini.
***
Leary kembali keluar dari rumah selagi semua orang sibuk dengan pekerjaan mereka, sementara Petri dan Ellis pergi ke sekolah.
Tujuan Leary masih ke tempat sama, yaitu taman yang ramai karena di sana dia bisa bertemu banyak orang dan anak-anak seusianya. Leary dapat melihat orang-orang menghabiskan waktu dengan bersantai di atas rerumputan beralaskan karpet, bermain dengan keluarga dan hewan peliharaan mereka.
Leary merasa senang meski hanya duduk memperhatikan dari kajauhan.
Di antara keramaian yang ada, Leary tidak berhenti mengedarkan pandangannya mencari Chaning yang dua hari lalu dia temui. Anak itu ingin kembali bertemu dengan Chaning karena ingin menanyakan sesuatu.
Setelah puas melihat keramaian taman, Leary memutuskan mencari Chaning.
Cukup lama Leary mencari hingga harus berjalan sedikit jauh dari taman, akhirnya dia menemukan Chaning yang keluar dari sebuah sebuah kantor media cetak. Chaning keluar berjalan bersama Romero yang dan beberapa orang lainnya yang mengikutinya.
Chaning pergi menyebrang jalan, pria itu masuk ke dalam sebuah café kecil.
Leary berlari dengan gesit mengikuti ke mana Chaning pergi, Leary mengintip di balik jendela kaca, memperhatikan Chaning yang kini tengah memesan kopi sambil berbicara melalui telepon.
“Kapan kapalnya datang?” tanya Chaning pada seseorang yang berbicara dengannya melalui telepon. “Aku akan menyuruh seseorang ke sana dan memeriksa langsung keaslian lukisannya.” Chaning segera menutup sambungan teleponnya.
Pria itu berbalik hendak pergi, namun pandangannya langsung tertuju pada Leary yang kini berdiri di luar café, anak itu berdiri melihatnya dengan senyuman lebar layaknya seekor anak anjing jalanan yang bertemu kembali dengan seseorang yang sudah memberinya makan.
Untuk apa dia ke sini?
Chaning segera pergi keluar dan berbicara dengan Romero, Chaning meminta Romero pergi bersam beberapa orang yang lainnya ke luar kota untuk menyambut kedatangan kapal yang membawa lukisan berharga yang hilang.
Romero segera pergi meninggalkan Chaning sendirian. Begitu anak buahnya pergi, Chaning segera menyebrang jalan lagi, pria itu pergi tanpa mempedulikan Leary yang sejak tadi memperhatikannya.
Chaning berjalan pergi di antara keramaian sambil menyesap kopi dalam gelas cup. Insting Chaning yang tajam bisa merasakan kehadiran Leary yang kini terus mengikutinya di belakang, anak itu berlari terus mengikutinya tanpa alasan yang Chaning ketahui.
Chaning memutuskan untuk duduk di depan kantor percetakan itu lagi. Masih dengan acuh dan berpura-pura tidak tahu, Chaning menikmati waktu duduk santainya sambil meminum kopi.
Melihat Chaning yang kini duduk cukup lama, akhirnya Leary memberanikan diri untuk semakin mendekat untuk bisa berbicara dengannya.
“Paman, selamat siang” sapa Leary berdiri di samping Chaning. Leary tersenyum lebar terlihat bahagia dan tidak sabar untuk bertanya.
“Kenapa menemuiku lagi?” tanya Chaning terdengar dingin dan memasang ekspresi suram meski Leary menyapanya dengan senyuman manis yang cerah.
Leary merangkak kesulitan naik ke kursi dan duduk di samping Chaning, anak itu tidak menjawab apapun, namun matanya bergerak teliti memperhatikan Chaning yang kini mengeluarkan sebuah bungkus rokok. Tanpa pertimbangan Chaning merokok di samping Leary.
“Paman,” panggil Leary lagi.
Chaning tidak menjawab, namun kali ini Chaning mengeluarkan dompetnya dan mengambil selembar uang satu lembar dengan nilai sepuluh pousterling, lalu memberikannya kepada Leary.
Tanpa melihat sedikitpun wajah Leary, Chaning langsung berkata, “Ambilah, beli ice cream lagi dan jangan ganggu aku.”
Leary terdiam, dia menemui Chaning karena ingin bertanya, apakah paman baik itu memiliki anak. Jika paman baik itu memiliki anak, Leary ingin tahu apa yang Chaning suka dari anaknya. Leary ingin sedikit lebih dekat lagi dengan Darrel, jika dia tahu apa yang di sukai dari seorang ayah, Leary akan berusaha melakukannya.
“Ambilah!” Titah Chaning lagi dengan sedikit membentak.
“Tapi Paman, uhuk,” Leary menutup mulutnya seketika karena tidak sengaaja menghirup asap Rokok Chaning.
“Sialan” maki Chaning terlihat kesal, namun tanpa terduga Chaning memutuskan melemparkan rokok di tangannya ke lantai dan menginjaknya. “Ambil dan cepat pergi,” sekali lagi Chaning memerintah, dia sangat tidak suka jika ada sesuatu yang mengganggu waktu bersantainya.
Leary menelan salivanya dengan kesulitan, anak itu mendongkakan kepalanya, menaap Chaning dengan lekat. Sorot mata Chaning yang tajam dan terlihat marah entah mengapa tidak membuat Leary takut sedikitpun.
“Paman, apa Anda punya banyak uang?” tanya Leary spontan, anak itu melupakan ujuannya menemui Chaning.
Uang dalam genggaman Chaning di letakan di sisi Leary. “Ya, tentu saja. Hanya dengan diam dan bernapas saja, aku bisa menghasilkan uang,” jawabanya dengan angkuh.
Bola mata Leary berbinar penuh kekaguman, “Bagaimana caranya agar mendapatkan uang? Bisakah Anda memberitahu saya?”
“Tumbuhlah dewasa dan bekerjalah dengan baik.”
“Tapi, apa anak-anak juga bisa bekerja dan mendapatkan uang?” Tanya Leary lagi yang masih tidak kehilangan harapan.
Spontan Chaning berdecih geli, sangat langka mendengar anak kecil menanyakan bagaimana cara mendapatkan uang. Chaning segera beranjak dari duduknya, “Ambilah uang itu,” titahnya lagi sebelum memutuskan pergi. Tidak ada gunanya Chaning berbicara dengan anak kecil.
Leary mengambil uang itu dan melihatnya dengan teliti. Bola mata Leary berbinar senang, hatinya kembali di penuhi harapan oleh uang yang Chaning berikan kepadanya. Dengan cepat Leary melompat turun dari kursi dan berlari mengejar Chaning yang belum terlalu jauh.
“Paman, Anda serius ingin memberikan ini kepada saya?”
Chaning sedikit menggeram kesal karena anak kecil itu masih saja mengejarnya dan mengganggunya. Seketika Chaning membalikan tubuhnya dan melihat Leary yang kini berada di hadapannya tengah mendongkakan kepala.
Chaning bersedekap menatap tajam Leary penuh peringatan agar anak itu berhenti mengganggu waktunya karena Chaning tidak akan segan-segan melenyapkannya jika dia benar-benar sudah marah. Namun, alih-alih takut, Leary membalasnya dengan tatapannya dengan penuh kekaguman.
Bola mata berwarna hijau milik anak itu terlihat berbinar seperti daun yang di hiasi embun di pagi hari. Sebuah perasaan terganggu langsung memenuhi hati Chaning saat melihat sepasang mata Leary yang terlihat polos tanpa setitikpun dosa.
“Kenapa kau mengikutiku terus? Pergilah dan berhenti bertanya,” usir Chaning mulai jengkel.
Raut di wajah Leary berubah, anak itu langsung tertunduk sedih mendengarnya. “Maafkan saya,” lirihnya terdengar menyedihkan.
Hembusan napas kasar terdengar keluar dari mulut Chnaing, keberadaan Leary yang bersikap lembut dan polos berhasil membuat pria itu gusar dan tidak nyaman. Reaksi takut dan sedih Leary karena ucapannya membuat Chaning merasa seperti penjahat yang biadab karena berurusan dengan orang yang tidak salah.
Ketegangan di bahu Chaning sedikit menurun, begitu pula dengan ekspresi di wajahnya.
“Apa maumu sebenarnya Nak?” tanya Chaning melunak dan menurunkan sisi egois di dalam dirinya. Jika dia memenuhi keinginana anak itu, maka anak itu tidak akan lagi menggangunya.
Perlahan Leary mengangkat wajahnya lagi, dengan napas tersenggal Leary pun bertanya, “Paman, apa uang ini cukup untuk bisa masuk sekolah?” tanya Leary penuh semangat.
Chaning terdiam seribu bahasa, seluruh tubuhnya menegang kaget mendengarkan pertanyaan aneh anak kecil itu. Chaning kebingungan harus menjawab apa karena selama ini dia tidak pernah melihat berapa biaya sekolah Ferez.
Namun untuk apa anak sekecil itu menanyakan biaya sekolah? Apa karena dia gelandangan?, Chaning bertanya-tanya.
“Siapa namamu?” Chaning balas bertanya.
“Leary.”
“Leary, dengarkan aku. Aku tidak tahu berapa biaya sekolah, namun yang jelas, uang yang aku berikan itu tidak cukup sama sekali untuk biaya sekolah,” jawab Chaning dengan jujur.
Bibir Leary sedikit mengerut, harapan besar yang tergambar di mata Leary berubah di penuhi kekecewaan dan kesedihan, kali ini anak itu tidak berbicara apapun lagi, kaki kecilnya bergerak lemah membalikan badan dan segera pergi meninggalkan Chaning.
“Apa aku salah berbicara?” Bisik Chaning bertanya, pria itu memperhatikan Leary yang kini semakin jauh dari pandangannya. Namun langkah lemah dan bahu rapuh Leary yang gemetar membelakanginya, hal itu membuat Chaning merasa sedikit iba kepadanya.
Suara deringan telepon terdengar di saku jaket Chaning, beberapa detik dia Chaning meluangkan waktunya melihat pesan masuk, ketika dia hendak melihat kearah Leary, anak itu sudah menghilang dari pandangannya.