Akan sangat mudah untuk Ferez mematahkan tangan Leary, atau menggores wajah cantiknya dengan beberapa sayatan.
Bayangan-bayangan dan rencana buruk muncul mengganggu pikiran Ferez untuk melakukan sesuatu yang kejam pada Leary hanya karena di dasari rasa penasaran dengan reaksi Petri.
Tubuh Ferez menengan, anak itu sedikit tersentak kaget dengan pikirannya sendiri yang liar dan tidak semestinya. Dengan cepat Ferez mengenyahkan pikiran buruknya, ini bukan saat yang tepat untuk dia mencari masalah karena Ferez baru pindah sekolah, selain itu Ferez merasa harga dirinya akan terluka jika dia melukai seorang anak perempuan.
Lama mereka berdiri di sisi sungai, waktu sudah bergerak sedikit lebih jauh mendekati tengah malam. Jarum jam di menara sudah mendekati tepat jam dua belas malam.
Kaki Leary mulai merasa pegal, namun malas rasanya untuk dia kembali. Jika pulang, Leary benar-benar merasa sangat kesepian karena harus segera tidur.
Setiap hari Leary merasa bosan karena dia hanya di temani Burka, tidak ada juga mainan yang bisa menemani waktu kesendiriannya. Jika Leary banyak bicara pada Burka, maka dia akan mengganggu pekerjaan Burka.
Jika saja Leary masih berada di desa, mungkin dia sibuk menjaga toko sambil berbicara dengan beberapa orang yang datang berkunjung, lalu pulang pergi sejauh dua kilometer untuk pulang ke rumah, itu lebih menyenangkan untuk Leary daripada harus diam di rumah keluarga McCwin.
Seandainya saja, Petri dan Ellis mau berbicara dengannya beberapa kali saja karena mereka seumuran, mungkin Leary tidak merasa terlalu kesepian.
Sayangnya, Leary tidak boleh berharap sedikitpun kepada mereka, apalagi jika mengingat kejadian tadi saat makan malam bersama Petri.
Seluruh tubuh Leary masih merinding merasakan takut dan terintimidasi membayangkan bagaiaman sorot mata Petri menatap dirinya dengan marah dan penuh dengan kebencian. Ucapan Petri yang dingin dan terkadang menyelak meruntuhkan seluruh harapan Leary untuk bisa dekat dengannya.
Kini, jangakan untuk berharap bisa berdekatan dengan Petri, untuk menatap matanya saja, Leary sudah tidak berani lagi.
Leary segera membelakangi sungai dan bersandar pada tembok pembatas, Leary mengusapkan tangannya yang kini merasa sedikit kedinginan.
Leary menengadahkan kepalanya sambil menutup mata, anak itu menyimpan tangannya di d**a sambil menarik napasnya dalam-dalam. Hembusan dingin udara malam, kesunyian, dan pemandangan malam kota London membuat Leary merasa bahagia dan bebas bermimpi indah seperti dongeng-dongeng anak yang sering di bacanya. Leary tidak tahu akan menjadi apa dia di masa depan, satu hal yang pasti di inginkan anak itu, dia hanya ingin bahagia dan keluarganya menjadi sedikit lebih hangat kepadanya.
Jika keluarga McCwin masih tidak suka padanya dan mengasingkannya, Leary hanya bisa berdo’a kepada Tuhan agar dia bisa kembali ke desa. Meski miskin dan harus bekerja keras, di sana dia merasa bahagia.
Perlahan Leary kembali membuka matanya, anak itu membuang napasnya dengan penuh kelegaan. Ada sebuah perasaan senang di hati Leary meski dia sudah membayangkan hal yang mungkin mustahil terjadi. Yaitu kasih sayang dari keluarga McCwin.
Apa yang di lakukan Leary tidak lepas dari perhatian Ferez yang berdiri di sisinya, sikap Leary berhasil membuat Ferez merasa ingin tahu apa yang sebenarnya ada di kepala Leary saat anak itu sedang merenungkan sesuatu.
Aneh rasanya untuk Ferez melihat anak sekecil Leary menghabiskan malamnya hanya untuk merenung sedih, matanya yang indah jarang memancarkan kebahagiaan meski bibirnya banyak tersenyum.
Ferez berdeham canggung karena sejak tadi mereka saling diam. Pada akhrinya Ferez memutuskan untuk bertanya dan membangun percakapan lagi. “Kenapa kau berkeliaran tengah malam?” tanya Ferez lagi dengan nada yang terdengar sedikit lebih akrab dan formal.
Leary tertunduk, “Aku rindu ibu,” lirihnya terdengar lembut dan menyakitkan.
Ferez kembali di buat terpaku di tempatnya. Jawaban singkat Leary membuat Ferez kehilangan kata-kata karena Ferez tidak tahu apa rasanya merindukan sesuatu, apalagi seorang ibu.
Cukup lama Ferez kembali di buat diam, namun dia masih memperhatikan setiap gerak tubuh kecil Leary, memperhatikan setiap detail ekspresi di wajahnya yang terlihat seperti sebuah lukisan, setiap sudut wajah Leary membuat Ferez merasa tertarik memperhatikannya dengan baik.
Ferez tidak tahu, mengapa dia ingin berbicara dengan Leary, padahal perbincangan mereka hanya sebatas obrolan anak kecil biasa, tidak ada tantangan apapun yang membangun ardenalinya, namun Ferez tetap ingin berbicara dengan Leary seakan anak itu bisa menghibur perasaannya yang saat ini sedang mencari-cari tahu apa yang harus dia lakukan dengan kehidupannya selain belajar dan mempersiapkan diri menjadi penerus keluarga Benvolio.
“Namamu Leary kan?” tanya Ferez ragu.
“Benar.”
Kaki mungil Leary bergeser mengikis jarak di antar dirinya dengan Ferez. Jika di lihat dengan teliti, tinggi tubuhnya hanya sebahu Ferez, sementara postur tubuh mereka sangat kontras berbeda karena beda asupan gizi.
Leary mendongkakan kepalanya, “Apa kau sekolah?” tanya Leary tiba-tiba.
Ferez mengangguk sambil membuang mukanya seketika, Ferez tidak terbiasa berkontak mata dan berinteraksi dengan perempuan. Perempuan adalah jenis mahluk yang paling di hindari di keluarga Benvolio, sekalipun itu bayi, jika dia perempuan, keluarga Benvolio akan hati-hati.
“Jika kau sekolah, sebaiknya kau pulang agar besok tidak terlambat,” nasihat Leary.
“Kau sendiri? Bukankah seharusnya kau sudah pulang karena besok sekolah?”
“Aku tidak sekolah,” jawab Leary sambil memperhatikan lampu di atas kepalanya yang kini sedikit meredup.
“Kenapa?” tanya Ferez lagi dengan suara yang sedikit pelan dan terlihat malu karena banyak bertanya.
“Setelah ibuku meninggal, aku pindah ke sini beberapa hari yang lalu. Sepertinya ayah belum begitu menyukaiku, tuan dan nona juga belum menyukaiku. Jadi aku tidak berani lancang meminta sekolah.”
Samar kening Ferez mengerut, cerita aneh Leary membuat Ferez harus mecerna setiap kata-katanya agar tidak menimbulkan kesalah pahaman. Di detik selanjutnya akhirnya Ferez tahu, kenapa Leary merindukan ibunya, rupanya ibu Leary sudah meninggal.
Bibir Ferez sedikit terbuka hendak bertanya lagi, namun dia mengurungkan niatnya begitu melihat Leary mengencangkan tali jaketnya dan menudungkan kembali ciput jaketnya. “Sepertinya aku harus segera kembali,” ungkap Leary sambil melihat ke arah rumahya.
Ada sedikit perasaan kecewa yang Ferez rasakan karena kini teman berbicaranya harus pergi.
Kaki kecil Leary yang hendak melangkah pergi tertahan sejenak karena anak itu ingin melihat Ferez kembali, “Kita teman kan?” tanya Leary tiba-tiba.
Hembusan angin yang kencang menggerakan tudung jaket yang Leary gunakan, tudung itu kembali jatuh ke belakang, membuat helaian rambut berwarna perak anak itu kembali terlihat dan melambai indah di udara, terlihat berkilau dan lembut saat mengusap sisi wajah mungil Leary. Rambut Leary sangat kontras dengan bulu matanya yang hitam lentik di tambah dengan sepasang bola mata yang berwarna hijau seperti batu permata peridot.
Ferez menelan salivanya dengan kesulitan, rasa hangat tiba-tiba menyentuh pipinya saat memperhatikan bibir mungil Leary yang terbuka menunggu jawaban Ferez.
Ferez ingin melihat sebuah senyuman dari bibir Leary untuk menutup malamnya.
Jika Ferez menjawab ya, akankah Leary akan tersenyum untuknyas?
Ferez berdeham malu, anak itu sedikit mengangguk samar mengiayakan.
Sebuah senyuman yang Ferez nantikan langsung dia lihat, Leary tersenyum lebar sambil bertepuk tangan dan tertawa, Leary merasa senang karena kini dia menemukan teman pertamanya.
“Karena kita teman, besok kita bertemu lagi kan?” tanya Leary lagi penuh harap.
Sekali lagi Ferez mengangguk dengan ekspresi dinginnya, namun telinganya yang memerah dapat terlihat samar di bawah sinar lampu.
“Sampai bertemu besok,” Leary langsung melambaikan tangannya dan berlari pergi menyebrang jalan, meninggalkan Ferez yang kini memperhatikan kepergiannya.
Napas Ferez tertahan di d**a, interaksi dirinya dengan Leary tiba-tiba menguras tenaganya tanpa alasn.
“Apa yang sudah aku lakukan barusan? Memalukan,” maki Ferez sambil menutup wajahnya yang tiba-tiba saja terasa sedikit lebih panas dari biasanya. Ferez tidak tahu arti perasaannya, kepalanya tidak dapat mengidentifikasi karena perasaannya sekarang seperti melebihi sebuah ketakutan dan adrenalin. Ini untuk pertama kalinya Ferez merasakan perasaan seperti ini.
***
“Kakak, kenapa kita sarapan di sini?” tanya Ellis sambil bersedekap, melihat meja makan sudah penuh dengan sarapan. Padahal Petri dan Ellis sudah sepakat akan makan di luar selama Darrel tidak ada, kini tiba-tiba saja Petri mengajak Ellis makan sarapan bersama di rumah.
“Kakak! Kenapa diam saja?” desak Ellis yang tidak sabar dengan keterdiaman Petri yang kini sibuk membaca buku.
Petri menutup bukunya seketika dan memasukannya ke dalam tas, “Ayah akan marah jika tahu kita terus menerus makan di luar.”
“Tapi aku tidak mau bertemu Leary,” cemberut Ellis terdengar merajuk.
“Jika kau tidak suka padanya, abaikan saja Ellis. Lagi pula, tidak ada yang perlu di risaukan.”
“Aku tidak mau bertemu dengan dia Kakak, bagaimana jika kita meminta dia makan di luar bersama para pelayan?”
“Tidak bisa, kepala pelayan bisa melaporkannya kepada ayah. Kita tidak boleh membuat masalah Ellis, aku tidak ingin ayah marah.”
Alih-alih paham dengan apa yang di katakan Petri, Ellis semakin cemberut tidak senang, namun anak itu segera memakan sarapan paginya bersama Petri yang kini sesekali melihat ke arah pintu menunggu kedatangan Leary.
Menit demi menit sudah lewat, sarapan Petri dan Ellis sudah hampir habis, namun Leary tidak datang sama sekali.
Ke mana anak itu? Apakah dia tidak datang karena marah dengan kejadian semalam? Ataukah dia sakit? Petri bertanya-tanya.
Sikap Petri yang tidak terlalu fokus membuat Ellis mau tidak mau ikut memperhatikannya juga, Ellis bisa memahami kemana pikiran kakaknya sekarang.
“Apa sekarang Kakak sudah peduli dengan Leary dan melupakan aku?” tanya Ellis dengan suara samar.
Dengan cepat Petri melihat adiknya, pertanyaan Ellis yang seperti tuduhan membuat Petri merasa sedikit tidak senang.
“Kau jangan berbicara seperti itu, hanya karena aku memintamu kembali makan di rumah, dengan cepatnya kau berasumsi seperti itu,” jawab Petri tidak suka.
“Lalu kenapa?”
Petri membuang napasnya dengan kasar, Petri terlihat gusar karena sedikit-sedikit Ellis menuntut darinya. “Ellis, bisakah kita makan saja dan segera berangkat sekolah, kenapa hanya karena sarapan pagi saja, ini semua menjadi masalah? Anak itu tidak ada di sini sekarang, apalagi yang menjadi masalahmu?”
Ellis mendengus kesal, anak itu segera melompat turun dari kursinya dan menggendong tasnya. “Aku sudah selesai sarapan, ayo berangkat sekarang.”
Sikap Ellis yang manja dan terlalu rapuh selalu tidak pernah di jadikan masalah oleh Petri karena dia berpikir, sikap Ellis seperti ini karenakan anak itu kehilangan sosok orang tuanya, karena itu Ellis selalu ingin selalu bermanja-manja pada Petri. Namun bila Ellis terus seperti ini sampai dewasa, Petri akan santa measa kesal karena tidak mungkin selamanya Petri terus berada di sisi Ellis.
“Kakak, kenapa diam lagi? Kakak sudah sarapannya kan?” tanya Ellis bersedekap.
Petri tersenyum simpul menyembunyikan perasaannya, Petri segera turun dari kursinya menuntun Ellis pergi keluar dari ruang makan.