Chapter 12

1942 Words
Selembar uang sepuluh pousterling berada dalam genggaman Leary, beberapa kali anak itu membulak-balikannya hanya untuk memperhatikannya di bawah sinar matahari. Dengan erat Leary mengenggam uang itu dan segera menyimpannya di saku. Leary terbaring di atas rerumputan, melihat langit sore yang terlihat indah. “Aku lupa bertanya pada paman baik itu, apa yang di sukai seorang ayah,” pikir Leary dengan tatapan nyalang, dengan lemah Leray berbalik dan terbaring miring, “Mungkin besok aku akan kembali bertemu dengan paman baik itu,” bisik Leary penuh harap. “Siapa nama paman baik itu?” tanya Leary penasaran. Suara mobil yang bergerak terdengar dari kejauhan, Leary kembali duduk dan melihat ke sekitar memperhatikan siapa yang datang. Sebuah mobil hitam berhenti di depan pekarangan rumah utama, kepala pelayan berlari membukakan pintu untuk Darrel yang pulang lebih cepat dari apa yang di jadwalkan. “Ayah..” panggil Leary terkejut, Leary tersenyum lebar seketika. “Ayah pulang.” Leary segera bangkit, dengan tergesa dia berlari pergi memperhatikan Darrel yang berbicara dengan kepala pelayan dan meminta untuk mengeluarkan semua barang bawaannya di dalam mobil. Kedatangan Darrel di sambut oleh Ellis dan Petri. Petri dan seorang pelayan langsung membantu mengeluarkan barang-barang Darrel dan membawanya masuk ke dalam rumah. Ellis tersenyum lebar memeluk Darrel dengan senang, “Bagaimana pekerjaan Ayah?” “Lancar.” Jawab Darrel dengan dingin seperti biasa, “Ada hadiah untukmu dan Petri.” “Terima kasih Ayah.” Ellis tersenyum lebar terlihat berantusias ketika kepala pelayan mengeluarkan kotak hadiah dari bagasi mobil dan memberikannya kepadanya. Petri ikut tersenyum memeluk kotak hadiah yang di berikan Darrel untuknya. “Ayah, terima kasih” ucap Petri. “Ya, itu untuk latihan memanahmu.” Leary bernapas tersenggal karena banyak berlari, langkah cepatnya perlahan berhenti dan berdiri di kejauhan melihat banyak orang yang sibuk dengan urusan mereka masih-masing. “Ayah,” sapa Leary dengan suara yang nyaris tidak terdengar. Darrel langsung melihat ke belakang dan melihat Leary yang kini memberanikan diri semakin mendekat, kepalanya mendongkak menatap Darrel, namun dia berdiri gugup sambil memegang erat gaun yang dia pakai, anak itu tersenyum hangat. “Saya senang Ayah pulang dengan dalam keadaan sehat.” Tidak ada jawaban apapun dari Darrel, pria itu tetap bersikap dingin seperti biasa, Darrel membuang mukanya dan pergi ke dalam rumah tanpa bersuara sepatah katapun. Wajah Leary memucat kaget dan tertekan, reaksi dingin Darrel kembali membuat Leary merasakan sesuatu yang perih di dadanya. Bibir kecil Leary bergetar mempertahankan senyuman lebarnya, “Sepertinya ayah sedang lelah.” Hibur Leary pada hatinya sendiri. Perlahan senyuman lebar di bibir Leary menghilang tatkala dia tidak sengaja pandangannya bertemu dengan Petri yang kini berdiri melihatnya dengan canggung karena sejak kejadian makan malam kemarin mereka tidak bertemu apalagi berbicara. Pandangan Leary jatuh ke lantai, bayangan bentakan Petri dan tamparannya yang keras masih membuat Leary takut. “Kakak, kenapa diam saja?” Ellis menarik lengan Petri, “Ayo masuk.” Petri memaling wajahnya dan segera pergi dalam tarikan Ellis yang menariknya pergi masuk ke dalam rumah. Keramaian di depan teras rumah utama berubah hening dalam waktu cepat karena semua orang sudah pergi. “Tidak apa-apa, aku juga punya Burka, Ferez dan paman baik,” gumam Leary menghibur kesedihan yang di rasakannya sekarang. *** “Besok aku harus datang tidak?” “Tidak usah,” jawab Ferez tanpa pertimbangan. “Memangnya kau tidak ikut berpatisipasi? Setidaknya lakukanlah satu bidang olahraga agar terlihat seperti anak-anak lainnya,” usul Chaning dengan serius. “Aku tidak akan melakukan apapun jika Ayah memintaku mengalah, untuk apa bersenang-senang dalam berkompetisi jika aku kalah.” Chaning mendengus geli mendengarnya, Ferez selalu memiliki tekad yang kuat setiap kali berhadapan dengan tantangan selama tantangan itu dia anggap cukup sebanding dengan kemampuannya. “Aku tidak memintamu untuk mengalah, namun jangan terlalu mencolok karena hal itu akan menarik banyak perhatian.” “Baiklah, besok aku sedikit bermain-main. “ Ferez mengusap bibirnya dengan sapu tangan, anak itu segera beranjak. “Ayah tidak perlu datang, tidak ada yang menarik sedikitpun,” lanjutnya lagi memberitahu. “Kau mau ke mana sekarang?” “Keluar sebentar,” jawab Ferez singkat. “Jadi, besok aku tidak perlu datang?” tanya Chaning lagi. ‘Tidak perlu, aku bukan anak kecil lagi.” “Anak itu benar-benar” desah Chaning dengan berat, mempehatikan kepergian Ferez yang keluar dari ruang makan. *** Malam datang lebih cepat dari biasanya, usai mandi Leary hanya menghabiskan waktunya duduk di ranjang sambil membaca buku. Setelah kejadian tadi siang, Leary semakin tidak ingin muncul di hadapan keluarga McCwin. Leary merasa jika tidak bertemu mereka sama sekali terasa lebih baik dan tidak membuatnya merasa bersedih. Jika memang Leary tidak akan pernah mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari keluarga besar McCwin, kini dia hanya bisa berharap untuk bisa tidur dengan nyaman dan makan dengan benar agar tumbuh sehat saja. Jari mungil Leary membuka lembaran buku dan lanjut membaca, sesekali anak itu melihat keluar jendela, memperhatikan satu persatu bangunan di sekitar kota yang kini mulai terang. Cuaca malam ini terasa lebih hangat dari biasanya, lebih cerah dan menggoda Leary untuk pergi keluar lagi. Mungkin jika nanti malam Leary keluar, dia bertemu dengan temannya yang baru dua kali dia temui. Suara ketukan di pintu terdengar, “Nona, apa saya boleh masuk?” tanya Burka di depan pintu. “Masuklah,” Leary melompat turun dari ranjanganya. Pintu terbuka, Burka tersenyum lebar, “Waktunya makan malam. Ayo turun.” “Di mana?” “Di ruang makan, tuan Darrel dan yang lainnya sebentar lagi akan berkumpul.” Leary terdiam memaku, bibir mungilnya menekan-nekan mencoba mengumpulkan keberanian sampai akhirnya gadis kecil itu berkata. “Anu, Burka, apa boleh aku makan dengan Burka lagi seperti tadi?” Burka segera masuk ke dalam dan membungkuk di hadapan Leary, “Keluarga Anda ada di sini Nona. Bukankah Anda sangat menantikan kepulangan tuan Darrel? Anda jangan takut, di ruang makan, makanan yang di sediakan lebih baik daripada di dapur untuk para pekerja,” hibur Burka mencoa membuat Leary merasa percaya diri. Leary tertunduk sedih mendengarnya, “Jika Burka tidak mengizinkan aku makan di dapur, tolong sampaikan permintaan maafku kepada ayah karena malam ini aku ingin tidur lebih awal dan tidak ikut makan bersama.” Burka tercekat kaget, masalah yang di hadapi Leary rupanya lebih rumit dari apa yang Burka pikirkan. Tidak mungkin tidak terjadi sesuatu jika Leary tidak mau makan malam bersama keluarganya. Leary anak yang penuh semangat dan tidak cengeng, jika kini Leary menghindar dari keluarganya, itu artinya ada kejadian lagi yang mmbuat Leary tidak nyaman berhadapan dengan mereka. Perlahan Burka bangkit, wania itu kembali tersenyum dan mengusap lembut kepala Leary dengan sayang. Jika saja Leary terlahir dari keluar biasa dan bukan dari keluarga McCwin, mungkin Burka akan berusaha memberikan Leary pada keluarga bangsawan yang benar-benar mendambakan seorang anak dan Leary akan hidup dalam pelukan kasih sayang dan limpahan kebahagiaan. “Nona, saya tidak melarang Anda. Jika Anda nyaman dengan kami, saya tidak keberatan.” Tangan mungil Leary terangkat, meraih tangan Burka, anak itu tersenyum lebar terlihat senang. *** “Ayah, besok kami akan tampil. Apa Ayah bisa datang?” tanya Ellis. Darrel memotong daging di piring, tanpa melihat Ellis sedikitpun dia bertanya, “Jam berapa?” “Jam sepuluh pagi.” “Aku akan mengusahakannya.” “Terima kasih Ayah,” Ellis tersenyum terlihat senang, sekilas anak itu melihat Petri yang kini mengaduk-ngaduk makanannya dan sesekali melihat ke kursi Leary yang kini kembali kosong. Anak itu masih tidak datang. Petri menarik napasnya dengan sedikit sesak, dia teringat senyuman lebar Leary dengan mata berkaca-kaca menumpukan banyak kesedihan yang tidak bisa dia katakan dengan mulutnya. Namun tangannya yang kurus itu gemetar mengepal erat berusaha untuk berbesar hati. Bayangan itu mengganggu perasaan Petri seakan dia juga merasakan apa yang Leary rasakan. “Kakak, kenapa diam saja?” Suara Ellis menyentak lamunan Petri. Petri sedikit menggeleng masih diam membisu enggan untuk berbicara. Darrel melirik kursi kosong di sampingnya, pria itu baru menyadari tidak adanya Leary malam ini yang tidak ikut makan malam. “Ke mana anak itu?” tanya Darrel. “Siapa? Leary?” tanya Ellis. “Ya.” “Aku tidak tahu, tadi sepertinya sedang sibuk bermain.” Darrel mengangguk samar terlihat tidak peduli lagi setelah mendengarkan jawaban dari Ellis. Darrel segera beranjak dari duduknya “Petri, setelah makan malam, datang ke ruangan kerja. Ada hal penting yang ingin ayah bicarakan.” “Sekarang saja Ayah, aku juga sudah selesai makan,” Petri segea beranjak dari duduknya dan pergi mengikuti Darrel. *** Ferez menarik ujung lengan coat yang kenakannya untuk melihat arah jarum jam yang terpasang di tangannya. Waktu sudah menunjukan pukul delapan malam. Sudah lebih dari sepuluh menit Ferez berdiri di samping sungai Thames, anak itu menunggu kedatangan Leary yang tidak dia ketahui apakah malam ini Leary akan keluar rumah atau tidak. Suasana malam ini masih ramai membuat Ferez sedikit meneliti ke sekitar dan berjalan-jalan mencari Leary. Sebuah keberuntungan datang pada Ferez karena dengan cepatnya dia melihat keberadaan anak kecil itu yang kini tengah duduk sendirian di depan sebuah toko Koran, memperhatikan para pekerja yang hilir mudik keluar masuk untuk mengambil Koran baru yang akan segera mereka edarkan di seluruh London. Ferez menyebrangi jalan, semakin dekat dia melihat Leary semakin jelas Ferez melihat anak itu tengah merenung. “Kau sedang apa?” tanya Ferez. Leary tersentak kaget, perlahan kepalanya terangkat dan melihat Ferez yang kini berdiri di hadapannya. Leary segera berdiri, dia tersenyum tanpa menjawab, anak itu malu bercerita jika saat ini dia ingi pergi ke sekolah namun tidak memiliki uang. Melihat keterdiaman Leary, Ferez memutuskan berdiri di sampingnya yang kini tidak menunjukan kewaspadaan sedikitpun seperti biasanya. “Apa aku menyelinap kabur lagi?” Leary mengangguk lemah. “Bagaimana jika orang tuamu mengetahuinya?” tanya Ferez lagi dengan cepat. Ferez ingat betul bagaimana ayahnya pernah mematahkan tangan anak buahnya ketika mereka lalai mengasuh Ferez waktu pertama kalinya Ferez kabur menyelinap dari rumah. Mungkin ini juga akan terjadi pada pengasuh Leary jika orang tuanya tahu anaknya pergi keluar dan pelayan lalai menjaganya. Leary tertunduk sedih melihat bayangan tubuhnya sendiri, “Tidak akan, ayah tidak peduli padaku,” jawabnya samar. Ferez terdiam, jawaban Leary terdengar aneh untuknnya. Ferez melihat jalanan di depannya, “Apa yang kau lakukan di sini?” Leary bergeser mendekat, lengannya menyentuh tangan Ferez, kepala Leary mendongkak menatap Ferez dengan serius. “Aku ingin mencari uang, apa kau tahu bagaimana caranya?” “Untuk apa?” “Aku.. aku..” Leary terbata dengan napas bergerak cepat. “Aku ingin sekolah.” Ferez mengerjap bingung, Leary adalah bagian dari keluarga McCwin, mereka orang yang cukup terpandangan dan kaya. Untuk apa anak itu mencari uang untuk sekolah?. “Keluargamu kaya, untuk apa mencari uang untuk sekolah?” ucap Ferez spontan dan ekspresi dingin di wajahnya. Leary kembali tertunduk, melihat bayangannya tubuhnya yang kini berdekatan dengan Ferez. “Itu benar. Namun jika ayahku masih tidak suka padaku, aku tidak bisa meminta sekolah. Bagaimana jika selamanya ayahku tidak menyukaiku?” suara Leary bergetar menahan tangisan yang di penuhi kekhawatiran. “Bagaimana kau tahu jika ayahmu tidak menyukaimu?” “Hari ini dia pulang bekerja. Aku melihat dia memberi hadiah pada tuan Petri dan nona Ellis, aku tidak iri meski ayah tidak memberiku hadiah. Aku hanya ingin dia sedikit tersenyum dan menatapku sedikit hangat ketika aku menyapanya, namun dia tidak melakukannya. Aku sungguh tidak tahu bagaimana caranya agar ayah sayang padaku meski hanya sedikit,” cerita Leary setengah terisak, dengan cepat dia mengusap air matanya dan berhenti menangis. Ferez terdiam membungkam, dia tidak tahu bagaimana perasaan Leary, tangisan anak itu sama sekali tidak menyentuh hatinya karena sejak awal Ferez selalu berpikir wanita adalah mahluk lemah yang mudah menangis. Namun entah mengapa, mendengarkan tangisan Leary, Ferez merasa kesal. “Jika aku yang memberimu hadiah, kau tidak akan menangis lagi kan?” tanya Ferez masih dengan nada dinginnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD