Chapter 7

1832 Words
Wajah Leary pucat pasi, napasnya bergerak cepat dan tanpa sadar anak itu menjatuhkan air matanya beberapa kali karena terlalu ketakutan, bayangan bagaimana Chaning menghabisi seseorang dengan sangat kejam membuat Leary sangat ketakutan hingga membuat seluruh permukaan kulitnya meremang berdigik ngeri. Bibir Leary menekan menahan isakan agar tidak terdengar, cukup lama dia berdiri dan memeluk Ferez, Ferez sendiria tidak bereaksi apapun karena dia mengetahui ketakutan Leary yang kini menggigil mencoba kembali tenang dengan sisa-sisa segukannya. Leary sedikit mundur, anak itu tertunduk menyusut air matanya beberapa kali sebelum melihat Ferez yang kini masih berdiri di tempatnya berekspresi dingin. Di bawah remang cahaya, Ferez dapat melihat wajah mungil Leary yang kini merah bekas menangis, matanya sebab dengan rambut peraknya yang acak-acakan. Anak itu terlihat seperti bunga edelweiss yang terguncang oleh angin. Sekali lagi Leary megngusap air matanya lalu berkata, “Sekarang orang jahatnya sudah pergi, kau bisa pergi,” ucap Leary sambil melihat ke sekitar. Ferez masih tidak berbicara, dia masih terdiam dan mengepalkan tangannya dengan kuat, Ferez baru sadar bahwa beberapa saat yang lalu, untuk pertama kalinya dia memeluk seorang perempuan selain neneknya. Rasanya tidak semenjijikan yang Ferez pikirkan. “Kenapa diam saja? Apa kau masih takut? Tenanglah, aku bisa mengantarmu pulang, percayakan saja padaku,” hibur Leary dengan senyuman lebarnya meski matanya masih berkaca-kaca. Sungguh menggelikan, Leary yang lemah dan penakut, kini dia tengah menghibur Ferez yang tidak mengenal rasa takut sedikitpun hingga membuat Ferez harus menantang apapun hanya untuk mencari adrenalin ketakutan. Tangan mungil Leary terulur, “Namaku Leary, jika kau takut, aku akan menuntunmu sampai ke ujung jalan dekat sungai Thames,” tawar Leary dengan senyuman lebarnya, anak itu sedang berusaha mendapatkan sedikit keberaniannya lagi dengan berpura-pura ingin menolong agar dia bisa pergi berdua karena terlalu takut sendirian. “Aku tidak butuh bantuanmu,” ujar Ferez dengan nada dinginnya. “Benarkah?” “Benar.” “Baiklah” Leary menurunkan kembali tangannya dan menyimpannya di belakang tubuhnya. “Kalau begitu aku akan pergi lebih dulu, sampai jumpa.” Learay segera berbalik dan pergi meninggalkan Ferez yang hanya memperhatikan dia yang kini membelakanginya. Leary tertunduk berjalan sedikit terpincang-pincang dengan bibir gemetar menatap nanar jalanan di depannya yang harus dia lewati. Kurangnya penerangan di sekitar jalan membuat Leary ragu untuk lewat, Leary sangat takut jika ada orang jahat yang akan melakukan hal yang sama kepadanya, seperti apa yang mereka lakukan pada pria asing tadi. Dengan gemetar Leary melangkah, kakinya yang sakit begitu berat untuk melewati jalanan di depannya. Leary tersentak, tiba-tiba saja tangannya ada yang menarik, kepala mungilnya langsung menengadah dan melihat Ferez yang kini berada di sisinya. “Aku takut pergi sendiri” ucap Ferez dengan sedikit dengusan kecilnya karena tidak pandai berbohong. Secara perlahan katakutan Leary sedikit berkurang karena kini dia memiliki teman untuk bisa pergi ke pinggiran sungai Thames. Anak itu akhirnya melangkah mengikuti Ferez yang berada di sisinya. “Siapa namamu?” tanya Leary. “Ferez,” jawab Ferez sambil membuang mukanya menyembunyikan sedikit kekesalan karena tiba-tiba saja dia mengambil keputusan yang memalukan dan tidak terbiasa dia lakukan. Entah mengapa Ferez merasa tidak tahan saja melihat anak yang begitu kurus kecil berkeliaran seperti gelandangan di malam hari dan dengan bodohnya berpura-pura berani, sementara matanya tidak berhenti menjatuhkan air mata karena menangis ketakutan. Ferez tidak tahu, orang tua mana yang membiarkan anak sekecil ini berkeliaran di malam hari. “Di mana sepatumu?” tanya Ferez lagi dengan nada datarnya yang seperti tidak peduli, tapi memperhatikan semuanya dengan detail karena Leary terpincang-pincang terlihat kesakitan. “Sepertinya jatuh ke selokan” jawab Leary dengan terbata karena baru sadar. Leary takut Darrel atau Burka akan memarahinya karena sudah menghilangkan sepatu bagus yang mereka berikan. Tidak ada percakapan apapun lagi yang terjadi di antara mereka sampai akhirnya Ferez dan Leary sampai ke pinggiran sungai Thames dengan kondisi penerangan yang lebih baik. Bola mata Leary berbinar seketika, melihat keberadaan rumah keluarga MeCwin yang hanya terhalang satu rumah saja. “Di sana rumahku,” tunjuk Leary pada rumah keluarga McCwin yang tidak jauh dari keberadaan mereka. “Baguslah,” ujar Ferez terdengar tidak peduli. “Di mana rumahmu? Apa masih jauh?” “Sebentar lagi aku sampai.” Perlahan Leary melepaskan tangannya dari genggaman tangan Ferez, sekali lagi Leary tersenyum lebar menatap Ferez dengan hangat, sikapnya yang tidak waspada membuat Ferez tidak mengerti dengan jalan pikiran Leary. Ataukah memang anak-anak seusianya normal mempercayai siapapun yang bersikap baik kepadanya? “Sampai jumpa” Leary melambaikan tangannya, lalu berbalik dan pergi berlari. “Apa yang sudah aku lakukan?” tanya Ferez pada dirinya sendiri, Ferez mengenyahkan pikirannya yang tidak jelas dan segera pergi, dia harus segera sudah sampai rumah agar tidak di omeli Chaning. *** Leary berlari dengan cepat melewati taman rumah dan masuk ke wilayah perumahan, malam sudah sangat larut, dia harus segera sampai sebelum seseorang menyadari bahwa dia sudah pergi berkeliaran keluar. Langkah Leary terhenti seketika, tubuhnya sedikit terhuyung ke sisi karena berpas-pasan dengan Petri yang baru keluar perpustakaan untuk mengambil buku pelajarannya. Dalam satu langkah Leary langsung mundur menjaga jarak, anak itu tertunduk tidak berani bertatapan dengan Petri yang kini memperhatikan penampilan Leary yang acak-acakan dan satu kakinya tidak mengenakan sepatu. Wajah Leary merah sembab terlihat sudah habis menangis. Apakah anak itu menangis karena kejadian tadi? Batin Petri bertanya-tanya. “Ke mana sepatumu?” tanya Petri dengan dingin. Kaki mungil Leary yang sedikit kotor dan terluka itu bergerak bersembunyi di belakang kaki kanannya yang memakai sepatu, “Saya tidak sengaja menghilangkannya, besok saya akan mencarinya,” jawab Leary terbata. Rahang Petri mengetat, getaran takut dari suara Leary membuat dia teringat apa yang sudah dia lakukan tadi siang, jauh di lubuk hatinya Petri dia mengakui kesalahannya karena sudah menampar Leary begitu saja, namun dia tidak mau mengucapkan kata maaf sedikitpun kepadanya. “Saya permisi, Tuan” Leary membungkuk, dengan cepat dia berlari melewati Petri dengan kaki yang terpincang-pincang. Kepergian Leary tidak lepas dari perhatian Petri, Leary yang kecil dan terlihat rapuh selalu selalu menjadi alasan Petri memperhatikan dirinya. Petri tidak tahu apakah perhatiannya kepada Leary karena kasihan, atau memang karena nalurinya sebagai seorang kakak kandung yang memiliki darah mengalir sama di dalam tubuh mereka. “Bukan urusanku,” gumam Petri yang menyadarkan kembali kebenciannya kepada Leary seperti apa. *** Pagi pertama tanpa Darrel membuat Leary harus kembali di suguhkan dengan pemandangan yang tidak membuatnya nyaman, ruangan makan kembali kosong, tidak ada satupun sarapan pagi yang di sediakan di meja. Ellis dan Petri sudah pergi berangkat sekolah dan mereka makan bersama di luar, Petri masih memerintahkan juru masak untuk tidak membuat apapun seakan makan atau tidaknya Leary, itu bukan urusannya sama sekali. Leary mengusap perutnya yang lapar dan merasakan tenggorokannya yang terasa kering, andai saja Burka sudah kembali, mungkin kini dia tidak akan sebingung ini karena tidak tahu harus melakukan apa. Tidak semua pelayan yang bekerja baik kepadanya, sebagian dari mereka terlihat tidak suka kepada Leary, karena itu Leary sedikit kebingungan dengan situasinya sekarang. Leary memberanikan diri pergi ke dapur tempat khusus memasak, di sana dia bertemu kembali dengan Jimmy yang terlihat memeriksa semua bahan makanan yang baru datang. “Nona,” sapa Jimmy menyambut kedatangan Leary. “Tuan, apa boleh saya miminta minum?” tanya Leary. Jimmy sempat tersentak kaget, sorot mata indah Leary selalu saja membuat Jimmy ingin menangis, Jimmy bertanya-tanya bagaiamana bisa anak sekecil Leary bisa memperlihatkan banyak kesedihan dan rasa lelah, sementara bibir mungilnya tidak berhenti mengumbar sebuah senyuman. Keluarga McCwin sama sekali tidak memperhatikanya, Jimmy tidak bisa membantah apapun karena dia hanya bekerja di sini. Dengan cepat Jimmy berlari, lalu menarik kursi. “Duduklah di sini, tadi saya membuat pancake cream, ada buah segar juga yang baru datang juga, Anda mau?” Leary langsung mengangguk cepat, “Terima kasih, Tuan.” “Nona, Anda bisa memanggil nama saya, anda tidak perlu seformal itu kepada para pekerja di sini.” “Baiklah” Leary merangkak naik dan duduk di kursi kayu memperhatikan Jimmy yang menuangkan minuman dan memberikannya pancake cream bersama beberapa buah segar segar yang baru datang. Leary tersenyum lebar begitu senang, anak itu memakan semuanya dengan lahap tanpa sisa, Leary harus memenuhi perutnya karena dia tidak tahu apakah nanti siang atau nanti malam Jimmy masih bersikap baik kepadanya atau tidak. *** Hangat sinar matahari di rasakan Chaning, pria itu duduk di bangku taman sambil membaca Koran. Suara sirine polisi terdengar di telinganya karena menginvestigasi beberapa orang yang di temukan meninggal dengan luka yang mengerikan. Chaning sengaja duduk di taman hanya untuk melihat orang-orang yang sedang berusaha menjatuhkan dirinya dan mensabotase beberepa pekerjaannya, karena itulah semalam Chaning sedikit turun tangan semalam. Chaning sengaja membiarkan korbannya di temukan polisi karena dia tahu ada beberapa pihak kepolisian yang terlibat dan pencobaan mensabotase bisnisnya. Chaning selalu bebas muncul di depan public karena hanya sedikit orang yang mengenal wajahnya, selama ini Chaning memiliki kaki tangan yang dia percaya untuk berpura-pura menjadi dirinya dan memerankan tugasnya dengan baik. Hal itu Chaning lakukan bukan karena dia takut, namun itu semua dia lakukan demi melindungi Ferez, Chaning ingin memberikan kehidupan yang sedikit lebih normal kepada puteranya agar dia tidak merasa tertekan. Chaning adalah peminpin mafia, namun dia berkedok pengusaha beberapa pabrik tekstil. Koran yang di baca Chaning sedikit menurun, matanya yang tajam itu melihat lurus ke depan, melihat anak kecil kurus lemah dan mencolok karena berambut perak panjang, anak itu tengah menyusuri selokan dan beberapa sudut tempat sampah seperti tengah mencari sesuatu. Tidak salah lagi. Anak itu adalah anak yang semalam melihat perbuatan Chaning. Leary pergi memberanikan diri untuk keluar lagi karena dia harus mencari sepatunya yang semalam hilang, sepatu itu di beli Burka. Leary tidak ingin membuat Burka marah dan kecewa apalagi jika Burka tahu bahwa Leary sudah pergi keluar, selama ini Burka adalah seseorang yang paling baik kepada Leary, karena itu Leary tidak boleh membuat Burka bersikap berbeda kapadanya karena kenakalan yang sudah dia perbuat. Leary sudah mengintip lubang selokan yang dia lihat, dia juga membuka satu persatu tempat sampah yang di lihatnya meski sebagian tempat sampah itu sudah kosong di tarik petugas. Sepatunya sama sekali tidak dia temukan. Leary berlari menyebrang jalan dengan rasa lelahnya, anak itu memutuskan duduk di sisi pagar memperhatikan keramaian di depannya. Kebingungan terlukis jelas di depan matanya, Leary sungguh tidak tahu apa yang dia harus katakan kepada Burka jika sepatunya benar-benar tidak di temukan. Semua yang Leary lakukan, kebingungan yang di rasakannya, semua itu tidak lepas dari perhatian Chaning yang saat ini duduk tidak jauh darinya. Chaning penasaran apakah anak kecil yang semalam di temuinya itu mengenal wajahnya atau tidak. Tangan Chaning terangkat, pria itu memberikan isyarat kepada anak buahnya untuk mendekat. “Ada apa Tuan?” tanya Romero. “Cari sesuatu yang bisa aku berikan pada anak itu” tunjuk Chaning dengan dagunya. Romero langsung melihat ke arah leary, sontak saja dia langsung teringat anak kecil semalam yang sudah melihat aksi Chaning. Tanpa bertanya apapun lagi, Romero mengangguk dan pergi mencari sesuatu yang bisa dia berikan kepada Leary. Tidak berapa lama Romero datang, dia membawa sebuah Ice cream dan memberikannya kepada Chaning. Romero kembali membungkuk, “Tuan, saya tidak memiliki racun di sini, Anda bisa membawanya ke tempat sepi.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD