Chaning berdecih, anak buahnya sudah berpikir terlalu jauh menilai dirinya.
“Aku tidak ingin membunuhnya, aku hanya ingin memastikan sesuatu saja,” ujar Chaning menjelaskan.
Romero semakin membungkuk terlihat malu karena sudah berpikiran lancang. Romero berpikir sedikit lebih ekstrim tentang Chaning, hal itu di karenakan Chaning memanglah seseorang yang sangat berdarah dingin tanpa melihat siapa sasarannya.
Chaning beranjak dari duduknya membawa ice cream di tangannya dan perlahan mendekati Leary yang kini duduk memeluk lututnya terlihat sedih kelimpungan, Leary tidak tahu lagi harus ke mana lagi dia mencari satu sepatunya yang hilang karena penjuru selokan dan tempat sampah sudah dia cari. Tidak mungkin seseorang mau mengambil sepatu sebelah.
Bayangan tubuh tinggi menjulang Chaning meneduhi tubuh mungil kecil Leary, perlahan anak itu mendongkakan kepalanya dan menatap Chaning dengan penuh tanya.
Chaning membungkuk di hadapan Leary dan menyodorkan ice creamnya, “Kau mau Ice cream?” tanya Chaning.
Leary mengerjap, bola matanya melebar terlihat terkejut sekaligus senang karena ada orang asing yang tiba-tiba saja begitu baik kepadanya apalagi dia mau membagikan ice cream. Raut kesedihan di wajah mungil itu langsung sirna, kebingungannya memikirkan sepatunya yang hilang telah tiada, Leary langsung tersenyum lebar.
“Benarkah?” tanya Leary seraya berdiri dan menepuk-nepuk pakaiannya yang berdebu.
Reaksi Leary membuat Chaning langsung berasumsi, jika sebenarnya semalam anak itu tidak melihat wajah Chaning dengan jelas.
“Ambillah, kau suka Ice cream?”
“Aku suka!” seru Leary penuh tawa hampir melompat senang, tangan mungilnya mengambil Ice cream itu, “Terima kasih Paman baik.”
Chaning terdiam sejenak, memperhatikan kesenangan anak kecil di hadapannya yang langsung menjilati Ice creamnya tanpa memiliki sedikitpun kewaspadaan jika orang yang memberinya adalah orang jahat. Chaning heran, orang tua mana yang tidak mengajarkan anaknya untuk berhati-hati pada anak orang asing?.
Meski begitu, kini Chaning tidak perlu lagi penasaran apalagi khawatir.
Chaning langsung berdiri dan membalikan badannya, pria itu segera pergi meninggalkan Leary seorang diri yang kini sibuk menikmati Ice cream pemberiannya.
“Kita pulang,” kata Chaning.
Romero mengangguk paham, pria itu langsung menghubungi sopir untuk segera membawa mobilnya karena Chaning akan segera pergi. Dengan langkah lebarnya Romero mengawal Chaning dan berdiri di sisinya yang kini tengah menunggu mobil datang.
“Paman!”
Chaning menengok ke sisi, merasakan tarikan tangan kecil Leary yang nyaris tidak memiliki tenaga. Anak itu menengadahkan kepalanya untuk menatap Chaning, wajahnya yag pucat sedikit bersemu itu kini di hiasi oleh noda dari Ice cream yang di makannya.
Dengan cepat Leary mengambil sesuatu dari saku roknya dan memberikan sebuah permen di bungkus plastic putih, “Karena Anda baik dan memberikan sesuatu kepada saya, saya juga ingin membalas kebaikan Anda.”
Chaning sedikit terpaku, melihat permen di telapak tangan Leary.
Karena tidak mau membuang waktu dan berbasa-basi, akhirnya Chaning mengambil permen itu.
Seluruh tubuh Chaning meremang merasakan perasaan hangat begitu tidak sengaja dia menyentuh tangan mungil Leary dan melihat senyuman tulusnya.
“Tuan, mobil Anda sudah datang,” perkataan Romero langsung membuyarkan pikiran Chaning yang saat ini tengah tertegun. Dengan cepat Chaning membalikan badannya dan segera masuk ke dalam mobilnya.
Sekilas pria itu kembali melihat ke arah Leary yang masih berdiri di tempatnya, Leary tersenyum lebar melambaikan tangannya.
***
Siang telah datang, Burka dan para pekerja lainnya sudah datang, begitu pula dengan Leary yang sudah kembali sejak setengah jam yang lalu sebelum orang-orang kembali.
“Nona, bagaimana keadaan Anda?” tanya Burka yang kini merapikan pakaian Leary dan menyusunnya di lemari.
“Baik,” jawab Leary dengan senyuman lebar.
“Syukurlah jika Anda baik-baik saja.” Burka segera menutup pintu lemari, dan melihat ke sekitar.
“Burka, aku ingin ke perpustakaan, apa kau bisa menemaniku ke sana? Aku takut ada yang marah jika nanti masuk sendirian.”
“Dengan senang hati, Nona.”
Leary mengangguk segera melompat turun dari ranjang, “Ada buku yang harus aku kembalikan.”
“Ayo, Nona,” Burka menuntun pergi Leary pergi menuju perpustakaan.
Suasana kediaman keluarga McCwin terasa tetap sama meski kini ada anggota baru yang bergabung, sebelumnya Burka sempat melayani Petri hingga Ellis sebelum dia melayani Leary.
Burka merasakan perbedaan besar sifat Leary dan Ellis saat dia tangani, keduanya memiliki sifat yang sangat bertolak belakang. Burka yang terbiasa melakukan apapun, hal sekecil apapun untuk melayani Ellis, bahkan Ellis membutuhkan lebih dari dua pelayan karena dia manja dan rewel, rasanya aneh kini untuk Burka karena saat bersama Leary, Burka merasa tidak melayani siapapun.
Leary lebih suka melakukan semuanya sendiri, anak itu sangat mandiri, dan kebiasaan itu tidak di buat-buat melainkan seperti sebuah kebiasaan. Leary akan memperhatikan dengan teliti orang yang membantunya ketika dia tidak tahu, dan ketika dia sudah bisa, dia ingin melakukannya sendiri.
Burka dan Leary melewati banyak ruangan untuk bisa sampai ke perpustakaan, begitu sampai, Burka langsung membuka pintu dan membiarkan Leary masuk lebih dulu.
Tanpa mereka ketahui, di dalam perpustakaan ada Petri yang kini tengah belajar. Anak itu sedikit mengangkat kepalanya dan berhenti sejenak menulis begitu tahu ada yang masuk. Petri sedikit bertanya-tanya, siapa yang masuk ke perpustakaan di siang hari seperti ini? Tidak mungkin Ellis yang masuk ke dalam perpustakaan karena Ellis kini sedang berada di rumah temannya.
Leary sedikit berlari menuju lemari buku dan menaiki tangga untuk menyimpan kembali bukunya ke tempat semula.
“Burka, apa aku boleh meminjam buku lain?” tanya Leary penuh harap.
Kepala Burka menangadah, melihat Leary yang kini masih berada di atas tangga. “Anda boleh mengambilnya Nona.”
Leary tersenyum lebar begitu senang, tanpa ragu dia melihat satu persatu buku yang berjajar rapi.
“Ngomong-ngomong Nona, kenapa Anda memilih buku tanpa melihat gambarnya?” tanya Burka yang kini penasaran.
“Aku sudah bisa membaca.”
Burka tersentak kaget, begitu pula dengan Petri yang sejak tadi diam mendengarkan. Mengejutkan sekaligus membanggaka bagi anak seusia Leary sudah bisa membaca dan memilih buku sendiri.
“Benarkah? Bagaimana bisa?” tanya Burka lagi yang penasaran dan sedikit tidak percaya.
“Saat aku berusia tiga tahun, ibu mengalami kecelakaan saat bekerja, dia tertabrak dan mengalami kelumpuhan, selama satu tahun penuh aku mengurusnya, namun karena ibu tidak bekerja lagi, kami kesulitan untuk bisa makan. Jadi aku bekerja membantu bibi Willis di toko buku miliknya, di sana aku belajar membaca di bantu beberapa pengunjung yang baik. Selama dua tahun terakhir aku bekerja di sana.”
“Apa Anda tidak sekolah?”
“Tidak,” jawab Leary masih dengan senyuman.
Burka terpaku di tempatnya, memandangi Leary yang tersenyum lebar menceritakan hal yang menyedihkan dalam hidupnya seperti sesuatu yang indah untuk dia kenang.
“Mengapa Anda tersenyum saat menceritakan semuanya?”
“Semua hal yang aku lakukan bersama ibu adalah hal yang membahagiakan Burka.”
Mendadak mata Burka memanas, wanita itu terdesak ingin menangis mendengar jawaban Leary yang terdengar sederhana namun dalam. Sulit di percaya untuk Burka, anak sekecil Leary bisa menyusun kata-kata hingga mengeluarkan ucapan yang terdengar lebih dewasa dari anak-anak seusianya.
Petri yang semula diam akhirnya beranjak, dengan langkah tanpa suara Petri mendekat dan berdiri di balik lemari buku lainnya yang tidak dapat di lihat Leary maupun Burka. Petri tertunduk melihat buku di tangannya, namun telinganya jelas tengah menunggu apa yang ingin di katakan Leary selanjutnya.
“Apa Anda ingin sekolah?”
Leary terdiam sejenak, anak itu mengangguk namun juga menggeleng. “Aku sudah bersyukur bisa makan enak di sini dan tidak bekerja, aku tidak ingin menjadi anak yang serakah karena meminta di sekolahkan. Biaya sekolah kan mahal.”
Burka tercekat, jawaban Leary semakin suram untuk Burka. “Nona, apa yang di lakukan nyonya saat masih sehat?”
Leary terdiam sejenak untuk mengingat-ngingat, “Ibu pergi bekerja selalu lama dan kembali terkadang satu minggu sekali.”
“Apa Anda tidak kesepian?”
Kali ini Leary benar-benar terdiam karena tidak bisa menjawab, jelas hatinya kesepian namun Leary selalu di ajarkan untuk tidak mengeluh.
Melihat keterdiaman Leary yang menyembunyikan kesedihan membuat Burka tidak enak hati, Burka tersenyum kaku membantu Leary yang kini berusaha turun dari tangga. Burka merasa bersalah dan tidak ingin mengorek luka di dalam hati Leary.
“Jika sudah selesai, kita keluar Nona,” ajak Burka dengan canggung.
“Burka, anu,” Leary berdiri di hadapan Burka.
“Ada apa Nona?”
“Anu, aku mau membuat pengakuan.” Ucap Leary dengan suara gemetar terlihat takut, Leary sedikit mundur memberi jarak, anak itu tertunduk menatap lantai sambil memeluk buku baru yang baru di ambilnya.
“Apa maksud Anda? Pengakuan apa?”
“Aku.. aku tidak sengaja menghilangkan sepatu yang sudah Burka belikan, aku sudah lalai menjaga sepatunya dan berbuat nakal.” Isak Leary yang kini mulai menangis, Leary langsung membungkuk dan tiba-tiba saja bersujud di lantai, tepat di depan sepatu Burka. “Burka boleh memukulku dan memarahiku, aku salah, maafkan aku. aku tdak akan mengulanginya lagi.”
Burka menutup mulutnya melihat apa yang di lakukan Leary, dengan terburu-buru Burka membungkuk membantu Leary untuk bangun, namun Leary menggeleng enggan untuk bangkit.
“Nona apa yang Anda lakukan? Kenapa Anda bersujud di lantai? Jangan menangis.”
“Aku tidak akan bangun sampai Burka memaafkan aku, aku sudah mengecewakan Burka. Jangan membenciku karena hanya Burka dan Jimmy yang baik padaku. Jangan membenciku, aku mohon,” isak Leary dengan air mata berjatuhan membasahi lantai.
“Nona, saya tidak akan memarahi Anda. Berhentilah menangis, Anda juga tidak sepantasnya meminta maaf. Bangunlah Nona, saya mohon.”
Perlahan Leary bangun sambil mengusap air matanya, “Bagaimana dengan ayah? Apa aku harus bekerja untuk mengganti uangnya? Sepatunya pasti mahal,” kata Leary lagi dengan sisa-sisa tangisannya.
“Tidak Nona, tuan Darrel tidak akan marah. Jadi berhentilah menangis, jangan khawatirkan apapun.”
“Benarkah?”
“Benar,” jawab Burka dengan mata berkaca-kaca mencoba menahan tangisannya sendiri, tidak pernah sekalipun Burka melihat seorang anak seperti ini. Bahkan Burka tidak memahami pola pikir Leary, Burka menjadi bertanya-tanya, hal berat apa yang sudah Leary jalani selama ini ketika bersama ibunya hingga membuat gadis itu selalu merasa berkecil hati.
Dengan hati-hati Burka mengusap air mata Leary dan memeluknya, dengan mudah dia menggendong Leary. “Mari kita kembali ke kamar Anda. Tenangkan diri Anda.”
Leary mengangguk kecil tanpa suara, anak itu terlihat lelah untuk berbicara karena masih menangis, dengan erat Leary memeluk Burka yang menggendonnya dan membawanya pergi.
Petri melempar buku di tangannya ke lantai begitu pintu perpustakaan tertutup. Mendengarkan Leary yang bercerita mengenai ibunya, dan mendengarkan pengakuannya yang hanya karena menghilangkan sepatu, anak itu meminta maaf dan bersujud di lantai.
Apa yang telah Petri dengar dan apa yang telah dia lihat barusan, hal itu berhasil membuat Petri merasa gelisah seperti terbawa suasana dan terpengarus semua perkataan Leary.
Petri kesal, padahal dia membenci Leary, tidak seharusnya dia terpengaruh apalagi menyimpan setitik simpati di hatinya pada Leary.
“Dia berbohong, aku yakin itu,” gumam Petri membohongi perasaannya sendiri untuk tetap membenci Leary.