Darrel menelan salivanya dengan kesulitan, ekspresi dingin di wajahnya berubah suram karena tersadar, walau bagaimanapun Leary adalah anak kandungnya, meski dia tidak menyukai Leary, tes medis sudah membuktikan jika Leary memang anaknya.
Melihat ketediaman Darrel yang merenung membuat Leary gelisah, Leary menarik napasnya dengan cepat, pupil matanya melebar melihat lantai yang di pijaknya. Leary bertanya-tanya apakah dia sudah lancang berbicara kepada Darrel karena dia baru datang ke rumah ini.
Dengan kesulitan Leary mengangkat wajahnya dan memaksakan diri untuk tersenyum, “Jika Anda tidak mengizinkannya, itu tidak apa-apa Tuan.”
“Terserah” jawab Darrel terdengar acuh.
Senyuman Leary memudar, jawaban Darrel menggantung membuat Leary bingung apakah Darrel mengizinkan atau menolak. “Anu, maksud Anda, saya boleh memanggil Anda, Ayah?” tanya Leary dengan takjub.
Darrel membuang mukanya, melihat ke arah jendela, memperhatikan taman bunga milik Olivia yang tidak pernah berubah dan selalu di rawat dengan baik, tidak hanya taman, struktur rumah dan semua dekorasinya tidak pernah dia ubah karena semua itu rancangan Olivia.
Darrel kembali melihat Leary yang saat ini tengah menunggu jawabannya. “Terserah kau mau memanggilku apa” jawab Darrel lagi masih sama dinginnya seperti sebelumnya.
Tangan mungil Leary saling bertautan dengan kuat, kakinya sedikit gemetar karena terlalu takjub dan senang meski jawaban Darrel adalah sebuah kepastian yang samar. Bola mata Leary yang berwarna hijau itu berkilauan tersapu air mata karena terlalu senang, bibir mungilnya kembali mengukir senyuman lebar yang membuat Darrel kembali harus terpaku merasakan perasaan bergejolak memenuhi hatinya karena untuk pertama kalinya dia melihat sebuah kebahagiaan yang begitu hebat terlukis dari seorang anak kecil.
“Terima kasih banyak” ucap Leary hampir berteriak, Leary langsung berbalik dan berlari pergi keluar ruangan dengan senyuman lebarnya.
Darrel yang masih duduk di kursinya, memperhatikan tempat Leary berada beberapa saat yang lalu. Perasaan kesal, terganggu dan juga tersentuh berkecamuk di dalam hati Darrel, hal itu membuat Darrel merasa ingin memilih tidak mengenal Leary sama sekali.
Darrel merasa muak karena hanya dengan melihat sosok anak itu satu detik saja, semua bayangan Olivia yang ingin dia lupakan langsung muncul memenuhi kepala dan hatinya seakan keberadaan Leary adalah sebuah siksaan yang sengaja Olivia kirimkan kepadanya.
Darrel membuang napasnya dengan kasar, kepalanya terjatuh ke sandaran kursi. Darrel menatap nyalang langit-langit ruangan kerjanya, samar dia teringat bagaimana sedih dan tersiksanya wajah cantik Olivia yang menangis karena mendengar permintaan Darrel agar Olivia menggugurkan kanduangannya.
Olivia salah memahami permintaan Darrel, dia ingin Olivia menggugurkan kandungannya karena kondisi tubuh Olivia yang sakit-sakitan dan beberapa kali pendarahan, hingga demam dan sering mengeluh sakit kepala, dokter sendiri mengatakan bahwa tidak memungkinkan untuk Olivia mempertahankan kehamilannya karena itu sangat berbahaya untuk dirinya.
Namun sayangnya Olivia menolak keinginan Darrel, Olivia berpikir jika Darrel tidak mencintainya lagi dan tidak peduli pada anak yang di kandungnya.
Olivia tidak sadar betapa Darrel mencintainya, karena itu dia tidak Olivia sakit apalagi harus kehilangan Olivia hanya karena demi mempertahankan janin di dalam kandungannya.
Suatu waktu, saat Darrel mengantar Olivia ke rumah sakit untuk memeriksa kandungannya yang berusia empat bulan, diam-diam rupanya Darrel berencana untuk menahan Olivia di rumah sakit dan melakukan melakukan aborsi. Sayangnya, Olivia mengetahui rencana Darrel, Olivia kabur dari rumah sakit dan pergi jauh.
Olivia menolak bertemu Darrel, dia langsung pergi begitu jauh dari Darrel dan tetap bertahan dengan kehamilannya. Dengan bantuan seseorang yang misterius dan memiliki banyak kekuasaan, Olivia kabur dari Inggris dan menetap di Romania selama beberapa tahun agar Darrel tidak dapat membawa dirinya kembali sewenang-wenangnya.
Sejak saat itu, Darrel tidak pernah mengetahui kabar Olivia lagi, selama tujuh tahun menunggu, dia berusaha mencari Olivia, namun Darrel tidak pernah sekalipun berpikir untuk mencari apalagi penasaran dengan anak yang Olivia pertahankan hingga membuat Darrel dan Olivia terpisah.
Suara hembusan napas kasar terdengar dari mulut Darrel, Darrel menekan batang hidungnya dengan pijatan kuat. Darrel beranjak dari duduknya dengan perasaan yang tidak begitu menentu, dalam langkah gontainya Darrel pergi keluar dari ruangan kerjanya untuk bersiap-siap pergi karena sebentar lagi Darrel harus pergi ke luar kota.
Ketika Darrel keluar dari rumahnya hendak pergi, dia melihat kehadiran Leary lagi yang berdiri di lantai dua tengah menopang dagu, Leary tersenyum lebar melihat Darrel yang kini tengah menyeret kopernya hendak masuk ke dalam mobilnya.
Tangan mungil Leary terangkat, gadis kecil itu melamabaikan tangannya “Semoga pekerjaan Ayah berjalan lancar, cepatlah kembali” ucap Leary dengan tulus.
Darrel sempat terpaku karena ini untuk pertama kalinya Leary memanggilnya ayah, tanpa memberikan jawaban apapun Darrel langsung memalingkan wajahnya dan segera masuk ke dalam mobilnya.
Leary yang masih berada di tempatnya tetap melambaikan tangannya meski kini mobil yang Darrel tumpangi sudah berjalan pergi.
“Nona, Anda terlihat sangat begitu senang” komentar Burka sedikit menggoda, sejak Leary masuk ke dalam rumah beberapa hari yang lalu, ini untuk pertama kalinya Burka melihat Leary tersenyum begitu lebar, wajah cantiknya dengan kulit seperti porselen itu kini bersemu bahagia.
“Aku memang sedang sangat senang Burka karena tuan Darrel mengizinkan aku memanggilnya ayah, sepertinya tuan Darrel sedikit menyukaiku,” cerita Leary dengan menggebu penuh dengan kebahagiaan.
Burka yang semula tersenyum langsung merenung penuh penilaian, Burka tidak mengerti jika ternyata hal sekecil dan sesederhana ini begitu membuat Leary sangat bahagia.
Betaapa polos dan sederhananya Leary
***
Ferez duduk di bangku kayu dengan sebuah buku di tangannya, angin sejuk dan suara dedaunan yang bergerak di sekitarnya membuat Ferez merasa sedikt tenang.
Beberapa hari menjalani kehidupan di sekolah barunya membuat Ferez sedikit bosan tidak menemukan sesuatu yang menarik sedikitpun. Ferez belum menemukan satupun anak yang cocok untuk berteman dengannya, dia juga belum menemukan seseorang yang mengajaknya bermusuhan, Ferez merasa menjalani kehidupan sekolahnya dengan monoton tanpa tantangan.
Ferez menghabiskan waktu istirahatnya dengan membaca buku untuk mengisi waktu luangnya, membaca buku juga membuat Ferez memiliki alasan untuk menolak berbicara dengan beberapa gadis yang terus menerus menyapanya dan mencoba mengajak bicara.
Keluarga Benvolio sangat anti berhubungan dengan wanita, begitu pula dengan Ferez.
Ferez menyadari betul kelebihannya, meski tidak ada yang tahu bahwa dia adalah anak seorang peminpin mafia, gaya hidupnya yang mewah, berpenampilan sempurna dan juga cerdas, hal itu sudah cukup membuat banyak orang tertarik ingin mengenalnya.
Dengan malas Ferez beranjak dari duduknya dan menempatkan bukunya di sisi, bosan membaca buku membuat Ferez ingin tidur.
Suara bising anak-anak yang berada di pinggiran halaman terdengar, mereka tengah bermain lempar bola untuk mengisi waktu mereka sebelum pula sekolah.
Tanpa rasa minat Ferez pergi tanpa menengok.
Di detik selanjutnya langkah Ferez terhenti karena sebuah bola bergerak begitu keras melintas di depannya, bola itu membentur dinding dan berakhir dengan menggelinding di depannya.
Ferez yang sempat terkejut langsung tersenyum lebar begitu dia tahu jika Petri yang melemparnya, dengan tenang Ferez mengambil bola itu.
“Maaf aku tidak sengaja, bisa kau berikan bola itu?” tanya Petri sambil bertolak pinggang, ada sebuah senyuman mengejek yang terlukis di bibir Petri saat anak itu meminta maaf. Jelas Petri sengaja melempar bola itu hanya untuk mengganggu dan menggertak Ferez.
“Menarik sekali” gumam Ferez dengan alis sedikit terangkat, anak itu sudah bisa merasakan ketidak sukaan Petri kepadanya sejak pertama masuk sekolah dan satu kelas dengannya, Petri bersikap seolah keberadaan Ferez akan mengalahkan dirinya.
“Kau bisa melemparkan bolanya atau aku ke sana?”
“Aku bisa melemparnya.”
“Apa tanganmu kuat?” Tanya Petri masih dengan senyuman mengejeknya yang menyiratkan kebiasaan Ferez yang hanya membaca buku dan tidak melakukan permainan seperti anak laki-laki lainnya membuat Ferez lembek.
“Tanganku memang lemah, karena itulah tengkaplah dengan mudah” Ferez menggerakan tubuhnya dan mengayunkan tangannya di udara, melemparkan bola dengan cepat kearah Petri yang sudah bersiap menangkapnya.
Alih-alih dapat menangkapnya, bola yang Ferez lempar itu memukul d**a Perti dengan keras hingga Petri sedikt mundur terhuyung ke belakang, teman-teman Petri yang berada di sekitar langsung menutup mulut mereka karena terkejut melihat Petri meringis kesakitan merasakan pukulan keras dari bola.s
Masih dengan ekspresi dinginnya, Ferez hanya sedikit menyeringai, tanpa berkata-kata Ferez langsung pergi dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Ferez tidak ingin terlibat masalah apapun di sekolah karena dia sudah berjanji kepada ayahnya, merepotkan untuk Ferez jika dia kembali di keluarkan dari sekolah dan harus pindah keluar kota sendirian.
***
Leary bersenandung bahagia berlari keluar dari ruangan perpustakaan keluarga McCwin, Leary tidak menyangka karena keluarga McCwin memiliki perpustakaan pribadi dan memiliki begitu besar bahkan tidak sebanding dengan toko buku milik bibi Willis.
Selama dua tahun terakhir ini Leary bekerja di toko buku bibi Willis, setiap hari dia merapikan, membersihkan dan menyusun satu persatu buku di setiap rak, Leary akan datang di pagi hingga sore hari karena bibi Willis terkadang sibuk pergi untuk berjudi atau menemani beberap pria kaya untuk jalan-jalan.
Membantu menjaga buku bibi Willis membuat Leary yang masih sangat kecil kesulitan karena di tidak tahu banyak hal, bibi Willis sering kali marah dan mengomel karena Leary kerap kali tertipu, untuk menghindari omelan kemarahan bibi Willis dan kerugian toko bukunya, mau tidak mau Leary harus segera belajar membaca dan berhitung mengenal uang, dengan begitu jika ada pengunjung yang membutuhkan buku, Leary langsung bisa menunjukannya dan dia tidak lagi tertipu.
Setelah Leary bisa membaca, untuk mengurangi rasa bosan saat dia menunggu pengunjung datang, kerap kali dia membaca. Karena itu, saat Leary mengikuti Burka dan membereskan perpustakaan keluarga McCwin, betapa senangnya Leart karena dia kembali menemukan banyak buku. Dengan begitu, meski Petri dan Ellis sekolah, Leary yang berada di rumah bisa belajar sendiri.
Tangan mungil Leary memeluk erat buku yang dia pinjam dari perpustakaan, senyuman lebar terus menghiasi wajah cantik mungilnya. Leary tidak sabar ingin pergi ke kamar dan membacanya.
Langkah Leary terhenti perlahan saat sepasang mata indah itu melihat Ellis yang kini tengah berdiri di jembatan kayu tengah menangis.
Leary melihat ke sekitar dan tidak menemukan siapapun yang ada di sekitar Ellis, dengan ragu akhirnya Leary mendekati Ellis yang kini masih menangis.
“Kau kenapa?” tanya Leary pelan.
“Bonekaku jatuh ke kolam, aku tidak bisa mengambilnya” tangis Ellis menunjuk boneka beruangnya yang seputih salju itu kini berada di kolam.
Leary melihat ke sekitar lagi mencari-cari pelayan untuk dia minta tolong, namun karena mereka tidak terlihat, Leary merasa sedikit bingung karena Ellis masih saja menangis.
Leary menggaruk pipinya yang tidak gatal, “Mau aku bantu?” tawar Leary.
“Benarkah?” tanya Ellis seraya mengusap air matanya.
Leary mengangguk, gadis kecil itu membungkuk meletakan bukunya di atas jembatan kayu, Leary segera turun mendekati kolam ikan yang terlihat dalam, Leary mengambil sebuah ranting kayu untuk menjangkau boneka yang berada di kolam dan membawanya ke tepian.
Dengan senyuman lebar Leary mengambil boneka itu dan segera naik ke jembatan kayu lagi, “Bonekamu” Leary mengembalikan boneka Ellis yang kini basah kuyup.
Ellis tersenyum lebar dengan penuh air mata, namun belum sempat dia mengambil boneka itu, Ellis langsung berteriak. “Leary, kau merusak bonekaku.”
“A..apa?” tanya Leary terbata terlihat bingung.
“Bonekaku robek” teriak Ellis semakin keras sambil menjunjuk belakang kepala boneka itu yang kini Robek mengeluarkan beberapa helai kain.
Leary mengerjap bingung karena dia ingat betul tidak merobeknya apalagi boneka mahal Ellis mustahil mudah robek karena terbuat dari bahan bagus.
“Tadi aku mengambil dengan hati-hati, tidak merobeknya, aku berani bersumpah” jawab Leary mulai panik.
“Itu boneka baru yang di beli satu minggu lalu, tidak mungkin robek jika kau mengambilnya hati-hati, tadi boneka itu baik-baik saja,” ucap Ellis lagi terdengar memojokan.
“Ada apa ini?” suara Petri terdengar, dia datang karena mendengarkan teriakan dan tangisan Ellis.
Melihat kedatangan Petri, Ellis langsung tertunduk dan kembali menunjukan boneka yang masih di pegang oleh Leary. “Leary merobek bonekaku” ungkap Ellis dengan tatapan terintimidasi seakan dia takut dengan Leary.
Wajah Leary memucat, gadis itu terpaku kaget karena Ellis menuduhnya begitu saja, padahal Leary hanya berniat membantu Ellis agar berhenti menangis.
Pandangan Petri langsung tertuju pada boneka yang Leary pegang, boneka itu basah dan robek, dengan kasar Petri merebut boneka itu dan mengambilnya untuk memastikan. Tatapan tajam penuh kekesalan tersirat di mata Petri.
“Kakak” rengek Ellis mengguncang lengan Petri.
Leary tertunduk, seluruh tubuhnya gemetar di selimuti oleh ketakutan karena Petri terlihat sangat marah kepadanya.
“Aku..” Leary bernapas dengan tersenggal mencoba menyelesaikan ucapannya untuk meluruskan apa yang terjadi. “Aku membantu Ellis mengambil boneka itu di kolam, aku”
Leary tidak dapat menyelesaikan perkataannya karena Petri menjawabnya dengan tamparan keras di pipi Leary.
“Jangan pernah ganggu Ellis” titah Petri terdengar tajam menusuk, Petri langsung berbalik menarik Ellis pergi.
Leary terpaku di tempatnya dengan sebelah wajah yang sudah sangat merah bekas tamparan.
Bibir mungil Leary gemetar merasakan lelehan air mata yang membasahi pipinya, tamparan Petri sangat menyakiti wajahnya, namun entah mengapa hati Leary lebih sakit hingga membuat Leary harus mengusap dadanya karena merasakan ada sesuatu yang sobek di dalam dadanya.