Chapter 4

2245 Words
Leary terbaring terlentang di tengah-tengah ranjang besar barunya, sangat begitu membuatnya nyaman untuk bergerak ke sana-kemari, permukaan kasur yang sangat lembut dan empuk sudah bisa membuat Leary bisa tertidur pulas meskit tanpa bantal. Perlahan Leary tersenyum lebar, dia tidak pernah menyangka jika dalam hidupnya dia akan memiiki kamar yang nyaman dan ranjang yang sangat besar. Andai saja ibunya masih ada dan ikut tinggal di rumah ini, mereka tidak akan tidur berhimpitan dan bisa bermain dengan puas. Senyuman Lebar penuh kesenangan Leary perlahan menghilang, Leary merindukan ibunya. Sudah dua hari dia dan ibunya berpisah, Leary merasa mash tidak menyangka bahwa kini dia tidak memiliki seorang ibu. “Mengapa ibu pergi begitu cepat?” bisik Leary bertanya pada kesunyian. Leary merangkak, melompat turun dari ranjangnya dan menarik kopernya yang dia simpan di bawah ranjang, Leary membuka koper itu dan mengambil pakaian ibunya yang sengaja dia bawa. Leary kembali naik ke ranjangnya dan terbaring sambil memeluk baju ibunya yang masih terasa hangat dan meninggalkan bau parfume kesukaannya. Satu helai pakaian yang Leary peluk itu berhasil meredakan rasa rindu dan kekhawatiran di hatinya, pakaian itu membuat Leary sudah cukup merasakan keberadaan ibunya di sisinya lagi. Leary kembali tersenyum dan perlahan memejamkan matanya, gadis kecil itu butuh tidur untuk meredakan rasa lelahnya hari ini dengan harapan bahwa hari esok semuanya akan berjalan lebih baik karena sekarang Leary tidak memiliki siapapun lagi, tidak lagi memiliki seseorang yang bisa dia harapkan selain Darrel McCwin. *** “Kenapa kau terlihat gelisah sejak tadi?” Petri bersedekap sambil memperhatikan Ellis yang sejak tadi duduk berdiam diri sambil merenung terlihat sedih, biasanya Ellis akan berceloteh tidak berhenti berbicara, bahkan jika itu sebuah pembicaraan omong kosong. Ellis menautkan kedua tangannya dan tertunduk, “Aku takut” jawab Ellis dengan napas tersenggal. Petri bergeser mendekat, dia meraih wajah Ellis dan mengangkatnya. Ellis menangis dengan bibir gemetar membentuk lengkungan ke bawah. Ellis adalah gadis yang lemah dan juga berhati lembut, dia sangat mudah tersenyum dan juga sangat mudah menangis bila merasa sedih. Jika Ellis gelisah sejak tadi, itu artinya masalah yang dia hadapi lebih berat. “Ada apa? Apa yang kau takutkan?” bisik Petri bertanya sambil mengusap air mata Ellis. “Aku bukan anak kandung ayah dan bukan adik kandung Kakak. Sekarang adik Kakak yang sebenarnya sudah kembali, aku pasti akan di lupakan” isak Ellis terlihat sangat sedih. “Ellis, apa tadi kau tidak dengar apa yang sudah aku katakan kepada anak itu? Kenapa kau masih saja khawatir? Apa kau tidak percaya padaku?” rentetan pertanyaan keluar dari mulut Petri. Petri tidak percaya jika Ellis masih saja menghwatirkan keberadaan Leary yang datang hari ini, padahal sudah Petri tegaskan berulang kali bahwa dia membenci Leary. “Tapi tetap saja..” rengek Ellis kembali menangis. “Ellis, bagiku hanya kau adikku. Dia hanya orang asing di sini, aku juga sangat yakin jika ayah menerima kehadirannya bukan karena ingin, namun terpaksa karena jika dia hidup miskin dan tidak memiliki apapun tetapi menyandang nama McCwin, ayah pasti akan sangat malu” jelas Petri mempertegas keberadaan Leary, bahkan untuk menyebutkan nama Leary saja, Petri tidak sudi. “Hiks..” Ellis menangis semakin keras seakan semua penjelasan Petri masih saja belum cukup untuk menenangkan hatinya yang saat ini takut terbuang. Dengan gusar Petri membuang napasnya, Ellis adalah adik kesayangannya, namun jika Ellis terus menerus menangis dengan keras, kuping Petri terasa pengang dan dia juga akan merasa jengkel. Kesabaran Petri tidak mungkin dia habiskan hanya untuk menghibur Ellis yang terus menerus menangisi hal yang tidak penting. Petri bergeser mundur, menatap Ellis yang kini tertunduk dengan bahu gemetar. “Apa yang harus aku lakukan agar kau percaya dan tidak khawatir lagi?” tanya Petri dengan sisa-sisa kesabaran yang di milikinya. Perlahan Ellis mengusap air matanya dan menatap Petri dengan penuh penilaian, “Apakah Kakak bisa berjanji padaku?” “Janji apa?” “Jangan mengajak bicara Leary dan jangan dekat-dekat dengannya di manapun dia berada.” Petri tersentak kaget, permintaan Ellis terdengar sangat egois untuk anak kecil seusianya, namun jika permintaannya berhubungan Leary, Petri merasa tidak begitu keberatan karena sejak awal dia tidak pernah sedikitpun berpikir untuk memiliki interaksi dalam bentuk apapun dengan Leary. “Baiklah” jawab Petri dengan singkat. “Benarkah?” Petri mengangguk membenarkan, tangisan Ellis langsung mereda dengan cepat, gadis itu langsung melompat ke dalam pelukan Petri dan memeluknya dengan erat. *** Leary terbangun begitu pagi, Burka mengurusnya kembali dengan sangat baik dan lembut, Burka membantu Leary bersiap-siap untuk ikut sarapan pagi bersama keluarganya. Leary merasa senang dan berharap banyak bahwa Darrel McCwin akan bersikap sedikit lebih baik kepada dirinya dan tidak bersikap sedingin kemarin, namun Leary juga merasa risau dan gugup bercampur takut jika sikap Darrel dan Petri akan tetap sama seperti hari kemarin. Begitu Leary sudah siap, Burka langsung mengantar Leary pergi ke ruangan makan, kedatangannya tidak di sambut siapapun karena belum ada yang datang. “Nona, pagi ini saya akan langsung pergi ke toko untuk mengambil pakaian Anda. Apakah Anda bisa saya tinggal sendirian dalam waktu beberapa jam?.” Leary mengangguk dengan senyuman lebarnya, dia sudah bisa menangani dirinya sendiri, lagipula tidak akan ada yang Leary lakukan hari ini. “Baiklah, saya permisi” Burka membungkuk dan segera undur diri meninggalkan Leary seorang diri. Kepala Leary mendongkak, menatap meja yang sudah di penuhi oleh makanan, perlahan bibir Leary menyunggingkan senyuman lebarnya karena sekarang di piringnya sudah di sediakan sandwich buah dengan roti lapis yang besar, mulut Leary terasa sangat basah tidak sabar untuk mencicipinya. Suara langkah seseorang di belakang terdengar membuat Leary menengok, Leary langsung melompat dari kursinya dan tersenyum melihat kedatangan Darrel. “Selamat pagi Tuan” sapa Leary yang kini sudah memiliki sedikit lebih banyak keberanian untuk berbicara. Darrel tidak menjawab, pria itu sedikit mengangguk samar membalas sapaan Leary. Darrel langsung duduk di kursinya dan memilih mengambil segelas kopi bersama Koran pagi yang sudah di sediakan. Sikap Darrel ternyata masih sama dan mungkin, sikap Darrel tidak akan pernah berubah kepada Leary, dia tetap dingin dan acuh. Senyuman Leary sedikit memudar, matanya menyiratkan sebuah kekecewaan karena apa yang dia harapkan tidak terjadi, Darrel McCwin masih bersikap acuh kepadanya seperti hari kemarin. Leary kembali naik ke kursinya dan duduk, meski kecewa dia tidak akan bersedih lagi karena masih ada hari esok dan hari-hari seterusnya yang mungki saja bisa membuat Darrel bisa sedikit lebih bersikap hangat kepadanya. Tidak berapa lama Ellis dan Petri datang menyusul, keduanya memakai baju seragam sekolah dan terlihat sudah rapi. “Selamat pagi Ayah” Ellis melompat memeluk Darrel dan mengecup keningnya sekilas, gadis itu tersenyum cantik terlihat penuh dengan semangat. “Selamat pagi” jawab Darrel terdengar dingin dan tidak mengalihkan perhatiannya dari Koran yang dia baca. Ellis segera duduk di samping Petri, “Hay Leary” sapa Ellis terlihat ramah. Leary terpaku kaget karena akhirnya ada yang menyapanya dengan baik dan tersenyum, Leary balas tersenyum namun dengan cepat gadis itu tertunduk karena Petri yang duduk di sisi Ellis terliat tidak senang. “Cepatlah makan, nanti kita terlambat ke sekolah” kata Petri. Ellis langsung memakan sarapan paginya, sesekali dia bercakap dengan Petri, hubungan mereka yang sangat baik dan terlihat sangat manis juga membahagiakan tidak lepas perhatian Leary yang kini mulai ikut makan, Leary berharap bahwa suatu saat nanti dia ada di antara mereka dan memiliki hubungan yang baik. Leary mengunyah makanannya sambil memperhatikan hiasan indah di rambut Ellis dan seragam sekolah yang dia pakai terlihat sangat cantik. Diamd-diam Leary merasa sedikit iri melihat karena Ellis memakai baju seragam sekolah, andai saja dia juga bisa sekolah seperti Petri dan Ellis. Sekolah? Apakah Darrel akan menyekolahkannya juga?. Leary menggeleng cepat, mengusir rasa iri dan harapan di hatinya. Batin Leary menekan perasaan dan pikirannya agar dia tidak menjadi anak yang serakah karena banyak menuntut. *** “Mulai sekarang kau harus menahan dirimu dan bersikaplah dengan baik karena kau sedang berada dalam lingkungan sekolah, mengontrol diri itu sangat penting,” nasihat Chaning yang kini duduk di samping Ferez. “Aku tahu,” jawab Ferez singkat. Chaning melihat ke sisi, memperhatikan jalanan yang di lewatinya, di belakangnya ada sebuah mobil yang selalu mengikutinya untuk pengawalan seperti biasa. “Untuk satu minggu ini aku akan menunggumu sekolah, saat pulang kau datang ke taman, aku akan menunggu di sana.” “Tidak perlu” “Suka tidak suka, ini harus di lakukan” tegas Chaning tidak mau di bantah, Chaning harus memastikan sendiri jika Ferez melewati harinya dengan baik dan tidak membuat masalah lagi. Ferez langsung bersedekap dan mendengus kesal karena tidak nyaman di perhatikan Chaning. “Kau tidak membawa senjata tajam kan?” tanya Chaning lagi karena kini mereka sudah berada di depan sekolah baru Ferez, Chaning harus memastikan bahwa puteranya sudah benar-benar bersih dan terjauh dari hal-hal yang akan membawa masalah lagi. “Ayah sudah memeriksanya sebelum kita berangkat” dengus Ferez terlihat kesal. “Siapa tahu kau menyimpannya di pakaianmu.” “Aku akan melakukanya jika nanti sudah menemukan musuh baru,” jawab Ferez terdengar serius. “Baiklah, segera masuk dan jangan terlalu mencolok.” “Aku tahu, berhentilah mengulangi semua nasihat itu” Ferez langsung keluar dari mobilnya dengan kesal. Dengan cepat Ferez melewati gerbang sekolahnya, Ferez berekspresi dingin saat semua orang memperhatikan kehadirannya karena dia keluar dari sebuah limousine. Sangat jarang orang kaya naik limousine karena hanya pejabat negara dan sang Ratu Inggrislah yang biasa memakai kendaraan seperti itu. Beberapa gadis terdiam sejenak, mereka tertarik memperhatikan Ferez dengan terpesona, penampilan Ferez terlihat seperti pemeran utama dalam n****+ yang memiliki nilai sempurna seakan tidak ada celah untuk mengomentari dan mencari kekurangan di dalam dirinya. Kehadiran Ferez yang baru di lihat cukup menghebohkan banyak orang, sayangnya hal itu membuat Ferez sangat marah dan terganggu karena dia benci perhatian. “Siapa anak itu?” tanya Ellis yang ikut memperhatikan, sangat jarang ada anak yang bisa langsung menjadi pusat perhatian banyak orang karena selama ini Petri adalah anak paling populer di antara anak perempuan, karena itulah Ellis memiliki banyak teman perempuan. Mereka berlomba-lomba mendekati Ellis dan mencoba mengakrabkan diri agar bisa dekat dengan Petri juga. “Aku tidak tahu, sepertinya anak baru. Ayo masuk, nanti kita terlambat” jawab Petri terlihat acuh. *** Sudah tiga hari Leary tinggal bersama keluarga McCwin, keadaan yang dia alami masih sama. Semua orang mengacuhkannya, tidak ada yang mengajaknya berbicara, keberadaan Leary seperti ada dan tidak ada. Leary tidak ingin meminta apapun, dia takut menjadi anak yang serakah, namun hatinya tetap sedih bila semua orang tidak pernah menganggap keberadaannya. Darrel maupun Petri, tidak ada satupun dari mereka yang berbicara padanya, meski Leary ingin memulai lebih dulu berbicara, tatapan mereka yang tajam penuh kebencian itu seakan langsung memperingatkan Leary untuk tidak dekat dengan mereka. “Burka” panggil Leary yang kini tengah duduk di bangku, memperhatikan Burka yang tengah merawat tanaman di depan kamar Leary. “Ada apa Nona?” Kepala Leary mendongkak, menatap langit yang cerah sangat menggoda dirinya untuk bisa bermain, sayangnya Leary tidak memiliki keberanian untuk keluar meski dia merasa kesepian. “Apa aku sudah membuat kesalahan besar?” “Apa maksud Anda?” “Tuan Darrel terlihat sangat tidak menyukaiku, sepertinya aku sudah membuat kesalahan yang sangat besar kepadanya,” cerita Leary setengah merenung bertanya-tanya pada dirinya sendiri kesalahan apa yang sudah dia buat. Burka terdiam, menatap Leary dengan tidak percaya karena gadis itu sudah salah memanggil nama ayahnya sendiri. “Nona, Anda tidak memiliki salah apapun, dan Anda harus tahu juga, tuan Darrel itu ayah Anda, panggilah beliau ayah.” Alih-alih merasa senang, Leary justru merasa ragu apakah Darrel memperbolehkannya memanggil ayah atau tidak. Leary khawatir jika Darrel akan seperti Petri yang tidak ingin di panggil kakak. “Apakah tuan Darrel masih ada di rumah?” tanya Leary. “Ya, beliau masih ada di rumah dan akan pergi bertugas beberapa hari ke luar kota, beliau berangkat nanti setelah jam makan siang.” “Baiklah” Leary melompat turun dari kursinya. “Anda mau ke mana?” “Aku ingin ingin bertemu tuan Darrel dan menanyakan apa beliau mengizinkan aku memanggilnya ayah,” Leary tersenyum lebar terlihat senang, anak itu berlari dengan cepat pergi meninggalkan Burka yang kini mematung harus di buat terkejut lagi karena kata-kata sederhana yang keluar dari mulut Leary membuat hati Burka terluka. *** Darrel terduduk di tempat kerjanya, membaca satu persatu surat yang di terima, kesibukan selalu harus dia hadapi setiap harinya tanpa hentinya, Darrel tidak beristirahat meski terkadang kini dia sering sakit. Petri masih sangat muda, Darrel harus menunggunya tumbuh dewasa, setidaknya sepuluh tahun lagi agar Petri bisa menerima semua tanggung jawab pekerjaannya. Suara ketukan di pintu terdengar beberapa kali, Darrel mengangkat wajahnya dan melihat ke arah pintu. “Masuk” perintahnya dengan suara yang sedikit serak karena lelah. Pintu di depan Darrel terbuka perlahan, pria itu langsung melihat kehadiran Leary yang kini membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan kerjanya. Dengan sesak Darrel menarik napasnya dalam-dalam, Darrel sedikit muak melihat wajah Leary yang terlalu mirip dengan Olivia, bahkan meski Leary memiliki warna mata yang sama seperti Darrel, namun tatapan cerah penuh ketulusan dan kecerdasan milik Olivia terpancar jelas di mata Leary. Memuakan untuk Darrel harus menerima kenyataan bahwa Olivia yang sangat di cintainya kini telah tiada, dan secara bersamaan dia harus menerima kehadiran anak yang selama ini menjadi alasan kepergian Olivia dari dari sisinya. “Tuan” panggil Leary dengan tubuh yang sedikit gemetar karena menerima tatapan tajam Darrel lagi, tangan mungil Leary saling bertautan dengan kuat mencari-cari kekuatan untuk bisa berdiri sedikit lebih lama lagi di hadapan Darrel McCwin. “Ada apa?” Leary tertunduk dan menelan salivanya dengan kesulitan, “Apa boleh saya memanggil Anda, Ayah?” bisik Leary nyaris tidak terdengar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD