Burka mendorong lembut bahu Leary, menuntunnya masuk ke ruangan makan. Sekilas Burka tersenyum ke arah Leary, menyiratkan bahwa semuanya baik-baik saja. Leary tidak perlu mengkhawatirkan apapun karena sekarang dia berkumpul dengan keluarganya.
Di meja makan sudah ada dua orang anak yang duduk, mereka terlihat berceloteh melemparkan candaan yang akrab dan menyenangkan untung di dengar. Seketika kedua anak itu berhenti berbicara begitu melihat kedatangan Leary.
“Selamat malam” sapa Burka pada kedua anak itu.
“Hay Burka” anak cantik berambut pirang tersenyum lebar pada Burka, dengan sopan Burka mengangguk kecil dan membalasnya dengan senyuman tipis.
Burka menarik kursi untuk Leary dan membantunya naik, “Saya akan kembali setengah jam lagi, nikmatilah makan malam Anda” ucap Burka sebelum berpamitan pergi pada kedua anak yang duduk hadapan Leary.
Ketinggian meja makan di hadapan Leary setinggi dagunya, Leary langsung dapat melihat semua makanan yang di hidangkan di meja untuk di santap malam ini, semuanya terlihat lezat dan indah.
Perlahan Leary memberanikan diri menatap dua anak yang kini duduk di hadapannya dan memperhatikan Leary.
Sebuah perasaan gugup dan takut kembali di rasakan Leary, tangan mungilnya mencengkram erat permukaan gaun yang dia kenakan karena kedua anak di hadapannya menunjukan wajah yang tidak bersahabat kepadanya.
“Kakak, dia anak yang di ceritakan Paman Andrew?” tanya Ellis terlihat tidak tenang.
“Benar”
Ellis, anak itu seumuran dengan Leary, namun tubuhnya lebih tinggi dan jelas lebih sehat, dia memiliki rambut yang pirang dengan mata berwarna cokelat. Di sisinya ada Petri, kakak Leary, Petri memiliki rambut sama peraknya dengan Leary, namun bola matanya berwarna biru sangat begitu mirip dengan warna mata Olivia.
“Hay, aku Leary” sapa Leary nyaris tidak terdengar.
“Tidak ada yang ingin tahu namamu” komentar Petri dengan dengusan kesalnya.
Wajah Leary langsung pucat, perlahan Leary menarik napasnya dalam-dalam mencoba untuk tetap duduk meski sudah mendengar jawaban yang tidak membuatnya nyaman.
Petri bersedekap, manatap tajam Leary penuh permusuhan. Perti baru berusia sebelas tahun, ketika dia berusia lima tahun, ibunya pergi meninggalkan dirinya demi menyelamatkan kandungannya, kini anak yang ibunya selamatkan datang, namun ibunya sudah meninggal.
Petri merasa sangat kesal, masa kecilnya suram tanpa sosok seorang ibu, dia tidak bisa menyalahkan siapapun selain Leary yang sudah merenggut kebahagiaan keluarganya.
“Aku dengar dari paman Andrew jika mulai sekarang kau akan tinggal di sini. Aku ingin, mulai sekarang dan selamanya, jangan mengajakku berbicara, jangan memanggilku kakak karena aku bukan kakakmu bukan juga keluargamu, adikku hanya Ellis. Satu lagi jangan pernah ganggu Ellis, kau paham?.”
Leary tercekat semakin kesulitan untuk bernapas, semua kata-kata indah yang di ucapkan Burka mengenai keluarganya ternyata tidak benar, rupanya Burka sama dengan bibi Willis, mereka suka berbohong kepada Leary.
Leary mengangguk tanpa kata untuk menyetujui keinginan Petri.
Derap langkah sepatu di lantai terdengar, tidak berapa lama Darrel datang. Darrel menarik kursinya dan segera duduk, sikap dinginnya rupanya tidak hanya pada Leary saja, namun berlaku untuk Petri dan Ellis juga. Darrel tidak menyapa siapapun.
Semua orang mulai memakan makanan yang di sediakan, Leary hanya memakan sup yang ada di depannya, dia tidak terbiasa mengambil apapun yang ada di sekitarnya sebelum di perbolehkan.
Meski kini segelas cream dan buah terlihat menggoda Leary karena di letakan di depannya, namun anak itu memilih menjaga pandangannya dan hanya memakan supnya.
“Ayah” panggil Ellis begitu selesai makan.
Darrel langsung mengangkat wajahnya dan melihat Ellis yang ingin berbicara.
“Aku dan Kakak akan ikut perlombaan di acara amal sekolah akhir pekan ini, apa Ayah bisa datang?”
“Akan aku usahakan” jawab Darrel dengan cepat.
“Acaranya satu minggu lagi, aku akan berlatih memanah, jadi kurangi jam belajarku, Ayah setuju kan?” tanya Petri.
“Kau belajar di malam hari saja, ubah saja jadwal guru privatmu” jawab Darrel.
“Apa aku juga seperti itu? Aku akan berlatih menari, jika kami belajar di malam hari, itu sangat melelahkan” ungkap Ellis terdengar seperti sedang menahan rengekan.
“Itu benar, kami membutuhkan waktu istirahat di malam hari” timpal Petri.
Darrel membuang napasnya dengan kasar, “Belajar di malam hari atau tidak ikut perlombaan sama sekali.”
Seketika Petri dan Ellis bungkam tidak memiliki pilian lain selain mengikuti perintah Darrel.
Tanpa di sengaja, Darrel melihat Leary duduk termenung karena sudah selesai memakan supnya, anak itu terdiam karena tidak ada yang mengajaknya berbicara. Tidak berapa lama Leary memutuskan untuk melompat turun dari kursinya, Leary yang terlihat tidak berani menatap mata Darrel hanya tertunduk menatap lantai. “Aanu Tuan” panggil Leary dengan napas tersenggal.
Darrel menatapnya tanpa ekspresi, memperhatikan Leary yang tertunduk dengan tangan gemetar berusaha memberanikan diri berbicara kepadanya.
“Terima kasih atas makan malamnya, saya permisi” ucap Leary dalam satu tarikan napas panjangnya.
Tanpa menunggu jawaban Darrel, Leary segera pergi berlari pergi keluar dari ruang makan itu.
***
Seorang pria berjubah hitam berjalan di sebuah lorong rumah, pria itu berpenampilan sangat rapi dengan pembawaan yang tenang, rambutnya hitam legam, memiliki sepasang mata yang tajam, setiap garis tulang di wajahnya terpahat sempurna di tunjang dengan tubuh yang tinggi tegap.
Di belakang pria itu terdapat dua orang pengikutinya yang berpakaian seperti seorang eksekutif, namun siapa sangka di balik pakaian indah dan penampilan menarik mereka, mereka adalah sekelompok mafia yang sangat terkenal berkuasa di London hingga wilayah kota Bristol.
Chaning Benvolio, dia adalah sang peminpin kelompok itu. Segala sesuatu yang berhubungan dengan perdagangan pasar gelap, obat-obatan terlarang, jasa pembunuhan dan pencarian orang, dia yang menangani semuanya.
Chaning adalah pria berdarah dingin di balik sikap tenang dan elegantnya, dia tidak pernah ragu untuk menyingkirkan siapapun yang menghalangi jalannya. Dalam bertransaksi, Chaning menghargai kejujuran dan loyalitas, namun dia tidak akan pernah memberi sedikitpun rasa ampun apalagi sebuah kesempatan kedua pada orang yang sudah mengkhinatinya.
Chaning mengangkat tangannya, jarinya bergerak memberi isyarat pada anak buahnya jika mereka sudah boleh pergi.
Chaning mendorong pintu di depannya dan membukanya, dia langsung melihat keberadaan puteranya yang kini tengah duduk di sisi jendela sambil membaca buku.
“Aku mendengarkan laporan dari gurumu jika hari ini kau memukul temanmu” Chaning langsung memulai pembicaraan tanpa basa-basi.
Ferez segera menutup buku yang di bacanya dan melihat ke arah Chaning, rambut hitam legam Ferez sangat kontras dengan bola matanya yang berwarna hazel. Tidak ada perasaan bersalah sedikitpun yang tersirat di matanya seakan apa yang sudah dia lakukan adalah bagian dari hasil keputusan dan tidak di lakukan semerta-merta ingin memukul saja.
“Aku sudah pernah bilang padamu, jangan melukai orang dengan bruntal, kau hanya di perbolehkan memukulnya sekali.”
“Aku juga memukulnya hanya sekali” bela Ferez.
“Sekali?” ulang Chaning yang tidak percaya.
“Ya, dengan tongkat baseball.”
Chaning berdecih kesal sambil melipat tangannya di d**a, pantas saja orang yang di hajar Ferez terluka parah hingga kehilangan lebih dua giginya, meski hanya dengan sekali pukulan, jika melakukannya dengan tongkat baseball, siapapun bisa terluka parah.
Sejak kecil, Chaning sudah mengajarkan Ferez untuk bisa memakai senjata dan beberapa ilmu bela diri, hal itu bertujuan untuk keadaan mendesak saja jika nanti ada musuh Chaning yang mengganggu Ferez saat dia sendirian. Namun siapa yang akan menyangka jika semua hal yang sudah dia ajarkan kepada Ferez selama ini hanya akan membentuk Ferez menjadi seperti dirinya di masa lalu.
“Aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa padamu Nak” dengus Chaning terlihat kesal sekaligus geli karena Ferez terlalu mirip dengannya. Jika Chaning menyalahkan Ferez, itu sama saja dengan menyalahkan diri sendiri.
“Kenapa kau melakukannya?” tanya Chaning.
“Kenapa aku harus memberitahu Ayah alasannya?” tanya balik Ferez.
“Kau di keluarkan lagi dari sekolah, ini adalah sekolah ke enam yang mengeluarkanmu karena alasan kekerasan juga. Jika nanti kau pindah sekolah lagi, dan kau melakukan hal yang sama lagi, tidak akan ada satu sekolahpun yang menerimamu di London. Kau harus sekolah privat” jelas Chaning mengingatkan.
Ferez langsung mendengus kesal, “Dia menindas anak disabilitas di sekolah, aku tidak tahan melihatnya.”
Chaning terdiam, pria itu bergelut dengan pikirannya sendiri dan bertanya-tanya apakah pola pikir Ferez yang salah atau sebaliknya dirinyalah yang salah karena terlalu cepat menunjukan hal yang kejam pada Ferez.
“Kedepannya kau harus tenang. Pria sejati tidak pernah mengayunkan tangannya lebih dulu meski dalam hal membela, kau harus berbicara dan menunjukan kelasmu untuk menghentikan apa yang tidak kau suka, jika orang yang kau ajak bicara tetap menolak berkompromi, kau baru bisa mengayunkan tanganmu padanya. Besok kau pindah sekolah, jika sekali lagi kau melukai anak-anak di sekolah, aku akan mengirimu ke Rusia.”
Chaning segera berbalik dan pergi meninggalkan Ferez yang kini kembali membuka bukunya melanjutkan apa yang sudah tertunda, ancaman Chaning terlihat tidak begitu membuat Ferez ketakutan.